Satu
kata: panas.
Tanggal
di kalender bulan Juni menunjukkan angka dua puluh empat, sementara angka
termometer digital menampakkan angka di atas dua puluh lima derajat selsius. Di
Indonesia itu termasuk sejuk, sedangkan di belahan bumi ini, itu artinya panas.
Tidak ada satu awan pun mampu menghalang-halangi semangat
sang matahari di langit Paris yang bersih dan begitu biru. Warga kota Paris,
yang dengan mentereng disebut sebagai Parisien, dapat dipastikan tidak lagi
mendekam di apartemennya melainkan akan mengisi tiap jengkal dan pelosok
taman-taman umum seperti Champs de Mars atau Jardin du Luxembourg atau jardin-jardin yang lain ; bersantai dan berjemur, tidur-tiduran di atas hamparan rumput hijau
segar seusai piknik makan siang berupa kombinasi salad dengan pasta atau sandwich
baguette.
Menikmati
perjumpaan berharga mereka dengan sang mentari dalam kurun waktu dua belas
minggu. Apalagi tiga hari yang lalu di seluruh penjuru kota secara serentak
dilaksanakan Fête de la Musique, acara tahunan dalam rangka menandai dimulainya
musim panas di kota Paris di mana penduduk kota dapat menonton atau sekaligus
menjadi pemain musik di acara yang secara teknis dilaksanakan di, seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya, tiap penjuru kota. Euforia musik itu masih
berlanjut, tidak sulit menemukan sekelompok pemusik sedang beraksi di beberapa
tempat strategis untuk mengamen. Musik, sinar matahari, berkumpul bersama-sama
menikmati santapan dan bersantai menikmati hidup; singkatnya, suasana ini otomatis
membuat orang merasa gembira dan penuh gairah.
Oh, dan jangan lupa tambahkan latar musik akordeon ketika
membayangkan pemaparan di atas, très
Parisien. Sangat Paris.
Ze
merasakan hangatnya pancaran cahaya matahari di atas kulitnya, mengangkat
tangan kanannya sembari meneduhkan pandangannya, memandang langit dari pintu
bus 67 yang membuka. Hari yang sangat ceria dan menyenangkan, wajah-wajah orang
yang ditemuinya sepanjang perjalanan ini pun berseri-seri riang, tak ragu untuk
menyunggingkan senyum atau mengangguk kecil jikalau tak sengaja bertemu mata.
Hari
yang tepat untuk melaksanakan ujian thesis.
“Kampusnya Elia di mana sih, Ze?“ tanya
Tania ketika mereka sudah turun dari bus dan menyeberang jalan, melintasi depan
tangga masuk stasiun metro Jussieu.
“Ini tinggal jalan dikit aja, belok ke
kanan, terus ke pojokan jalan, di sana dah kampusnya,“ tanpa berhenti, Zefanya
berjalan bergegas.
“Dia defense jam berapa sih?“ Tania bertanya lagi, mengecek arloji di
pergelangan tangan kirinya; jarum menunjukkan nyaris pukul setengah enam sore.
“Jam setengah lima.“
“Lah, trus?“
“Kan
aku baru pulang kerja tadi jam lima, Tan. Sudah hari-hari terakhir di UNESCO, masak mau bolos? Aku sudah bilang juga
ke Elia kalau kita telat dateng.“
Di ujung
trotoar, berdirilah gedung kampus Elia, Institut Physique du Globe de
Paris : bangunan persegi berdinding putih, barisan jendela-jendela lebar
berderet-deret dengan desain sangat moderen minimalis, tidak seperti kebanyakan
gedung universitas klasik di Paris, layaknya kampus Zefanya di Panthéon-Sorbonne.
Menyelusuri jalan setapak kecil lalu melewati pintu masuk, sejenak kedua gadis
itu berhenti. Tidak begitu banyak orang yang lalu-lalang di lobi itu, dan di
meja yang tampaknya seperti meja resepsionis terlihat kosong.
“Di mana
aulanya?“ gumam Tania, lehernya berputar, mencari-cari papan penunjuk atau
apapun yang bisa menjadi indikator keberadaannya.
“Bentar,“
tanpa berpikir Ze mengeluarkan ponselnya dari saku, mencari pesan singkat yang
dikirimkan Elia kepadanya pagi tadi. Seingatnya Elia sudah memberi arahan jalan
menuju aula tempatnya ujian.
“Kayaknya
di sebelah sini,“ Tania berputar ke kiri seraya menarik lengan blazer biru Zefanya kemudian mendorong
pintu kayu besar berwarna marun. Tanpa disengaja mereka berusaha berjalan tak
bersuara saat menyadari bahwa ruangan minim cahaya itu nampaknya benar-benar
aula. Suara laki-laki berbahasa Prancis terdengar menggema dari mikrofon. Lorong
berukuran tidak begitu besar yang beralaskan karpet itu berujung di tangga yang
harus mereka naiki. Melongok ke sisi kirinya, Zefanya dan Tania melihat kursi
bersusun ke bawah seperti dalam ruangan bioskop dan di lantai paling bawah ada
podium besar. Deretan-deretan kursi di bagian bawah penuh terisi orang-orang,
yang ditebak Zefanya, mahasiswa dan dosen jika memperhatikan pakaian mereka.
Tidak
ada penampakan Elia di podium presentasi.
Ragu-ragu, kedua gadis itu memilih
untuk duduk di deretan kursi teratas, dengan sedikit rasa panik Zefanya mengetik
SMS.
Tu es où?
Tania melirik heran, “Mana bisa dia
bales SMS lagi di mana, pasti dia gak bakalan ngecek ponselnya.”
“Setidaknya aku ngontak dia lah,”
Zefanya memasukkan ponselnya kembali ke saku celananya seraya mengedarkan
pandang ke bawah, berusaha mengenali tampak belakang Elia di antara
kepala-kepala orang-orang di sana.
“Aku roaming sama presentasi bule di depan nih,” komentar Tania,
memutuskan untuk membuat posisi duduknya lebih nyaman di kursi, memperhatikan slide yang sedang dipresentasikan. “Adrien
Sautelet, nama orang Prancis, tapi bahasa Inggrisnya bagus ya ;
jarang-jarang aku denger yang aksen Inggrisnya rapi kayak ini.”
“Dia ngomongin apa sih? Aku gak
merhatiin. Tapi iya, Bahasa Inggrisnya bagus.”
“Kayaknya sesuatu yang berhubungan sama
prediksi tsunami dan gempa, banyak tabel-tabel rumitnya.”
“Kita nanti bulan September defense thesis gak pakai acara sidang
terbuka macam begini kan ya?” Zefanya mulai merasa sedikit grogi akibat
membayangkan ujian thesisnya nanti, tidak yakin mentalnya akan siap. “Laporan stage-nya belum kelar, ngerjain
thesisnya apalagi. Cukup apa enggak ya nanti, dua bulan ngerjain thesis... Kamu
gimana, Tan? Laporan stage udah beres?”
“Gimana
kelar itu laporan magang,” sahutnya dengan keluhan yang sangat kentara, “bosku kayaknya
bener-bener mau memanfaatkan tenagaku sampai hari terakhir. Ini aja aku disuruh
handle grup baru lagi. Nunggu enam
hari lagi rasanya lamaaaa... banget.”
“Ya gak apa-apa kan, juga kamu dapet
jalan-jalan sama makan-makan gratis,” Ze menimpali, tersenyum kecil.
“Ngurusin orang, Ze, gak ada
enak-enaknya sama sekali deh.”
“Setidaknya
kamu dapet jalan-jalannya. Plus dapet gaji lumayan.”
“Iya
sih. Begitulah ya, gede ombak gede angin.”
“Sabar lagi dikit, enam hari lagi kita
bebas.”
Tania hanya merengut, dengan membayangkan
teriakan-teriakan liar bosnya di kantor sudah membuatnya muak sekali. Masa
magang selama empat bulan terasa begitu panjang, seolah-olah menyita seluruh
energi jiwa dan raganya. Beban kerjanya sebenarnya tidak akan terlalu
memberatkan jika seandainya saja si bos bukanlah orang yang emosinya sangat
labil dan tidak mudah membentak-bentak bawahan; dia akan menyukainya malahan,
karena dia sendiri sangat suka pergi berjalan-jalan. Sangkanya dia akan
mendapat pengalaman magang yang normal di agen perjalanan ini, namun ternyata
segala hal yang tersaji di mejanya jauh dari perkiraannya, bahkan dari
perkiraannya yang paling buruk sekalipun.
“Kalau aku inget-inget materi thesis
kita, aku yang mestinya stage di
UNESCO,” gumamnya, matanya mengarah lurus ke bawah, mengamati presentasi Adrien
Sautelet, tanpa berniat memahami. “Nanti sungguhan ya, bantuin aku wawancara
Pak Joseph untuk materi Creative City UNESCO.”
“Gampang, Tan, sudah aku bilang ke Pak
Jo. Katanya kabari aja kapan mau wawancara, kalau jamnya pas, bisa langsung
ketemu.” Ze mengernyit. “Orang Prancis ini cuma perasaanku aja, atau memang
mereka presentasi thesis pakai baju kaos dan celana jeans?”
“Mata minusmu gak salah,“ seraya
menyeringai Tania menjawab. “Bayangin di Indonesia kita masuk ruang ujian cuma
pakai kaos, sudah diusir dari ruangan, ujian ditunda.”
“Oh tapi gak semua orang kayaknya, itu
di sana ada yang pakai kemeja putih sama celana hitam,” kata Ze, melongokkan
kepala supaya bisa melihat lebih jelas. Dalam cakrawala berpikirnya, kemeja
putih dilengkapi celana atau rok hitam adalah pakaian default seseorang jika akan mengikuti ujian. Tidak wajar rasanya
jika melihat orang bisa begitu santainya berpakaian untuk momen penting macam
presentasi plus sidang terbuka thesis. Tidak sopan, seolah-olah kesannya
begitu. Apa barangkali budaya di negeri ini sejatinya demikian? Ze menepis
prasangka tersebut, tidak baik terlalu cepat menilai. “Oh, orang India, kirain
orang Eropa. Tapi kalau dilihat-lihat lagi, banyak yang bajunya bebas santai
ya.“
“Trus
si Elia sudah bales SMS-mu, belum?”
Keasyikan
curhat dan bergosip membuat Zefanya sejenak melupakan keberadaan Elia. Padahal
tujuan mereka datang ke sini adalah untuk menjadi penyemangat moral, atau
paling tidak dalam kasus keterlambatan mereka, menyelamati ketika sidang
terbuka thesis ini sudah selesai. Dia mengambil ponselnya dari saku, memeriksa
apakah sekiranya sudah ada balasan.
Nihil.
Harus berapa lamakah menunggu jika
begini?
Orang-orang di bawah bertepuk tangan,
dan kedua gadis itu memperhatikan bahwa lelaki bernama Adrien Sautelet telah
selesai mempresentasikan thesisnya, juga sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan penguji serta beberapa penonton. Tampaknya presentasinya adalah
presentasi terakhir, karena begitu dia turun dari podium, orang-orang mulai berdiri
dan sebagian dari mereka telah berjalan menuju pintu keluar.
“Eh, sudah selesai tuh!” kata Ze,
sontak berdiri, menajamkan pandangannya mencari kawannya di antara kerumunan
orang. “Yuk kita turun juga sekalian,” dia menarik Tania bangkit, menggeret lengan
bajunya, setengah menyeret agar Tania mempercepat langkahnya.
Begitu keluar dari aula, Zefanya bisa
melihat sosok belakang Elia yang mengenakan blus batik jingga dan rok selutut
dengan warna senada di lobi yang penuh sesak dan sedang tertawa-tawa bersama
temannya yang, tadi dilihat Zefanya, berkemeja putih dan celana hitam. Obrolan
mereka dilanjutkan dengan berfoto selfie,
cengiran super lebar dengan deretan gigi putih tercermin di layar depan ponsel,
kebahagiaan karena sudah selesai ujian tergambar nyata. Merasa sama senangnya
dengan Elia, Zefanya dan Tania menunggui mereka selesai hingga kemudian Elia
memutar tubuh dan menangkap keberadaan teman-temannya.
“Ze! Tania! Sini, sini!” dihampirinya
mereka dengan girang, lalu menarik mereka masing-masing dengan satu tangannya,
ke arah teman berkemeja putih yang menunggu tak jauh dari meja resepsionis. “Javi, here, they are my friends from
Indonesia, Zefanya and Tania. Girls, he’s my classmate, Javi.“
“Enchantée,“
kata Zefanya spontan berbahasa Prancis, membentuk sebaris senyum.
“Pleasure,“
kata Javi, menjawab dalam versi Bahasa Inggris.
“Can
you take a picture for me?” seraya menyodorkan kamera digitalnya Elia
bertanya pada Javi yang menjawab dengan anggukan semangat pun ditambahi senyuman
manis.
Ini
tidak luput dari perhatian Zefanya. Hmm,
gumamnya dalam hati. Hmm.
Memutuskan untuk tidak membahas apapun,
Zefanya berdiri bersisian dengan Elia sementara Tania ada di sisi lain. Javi
menghitung mundur dari tiga ke satu dalam Bahasa Inggris, serempak ketiga gadis
ini tersenyum. Jepretan foto diambil rupanya tidak hanya sekali, dan Elia
mengajak keduanya untuk berganti gaya dan pose. Zefanya berusaha tidak
tersenyum canggung, dia selalu mudah merasa malu difoto; lain dengan Tania yang
dengan aktif mengubah gaya dan mengatur sudut kemiringan wajahnya, agar
terlihat sempurna hasilnya di foto. Elia berpendapat hanya orang yang sering selfie yang tahu dengan baik sudut prima
wajahnya ketika dipotret.
Jepretan terakhir, yang kelima
ngomong-ngomong, dan Zefanya sudah merasa mati gaya saat Elia mencukupkan sesi
foto-foto tersebut. Javi mendekati mereka bertiga, menyodorkan kamera kembali pada
pemiliknya, senyumnya tidak pernah lepas.
“Thanks,
bro,” kata Elia, menerima kamera kesayangannya. “Are you leaving now?”
“Nope,
in ten minutes probably. The rest of the boys still have some matters to deal
with, gotta wait for them. I will text you about our celebration party tonight
okay, you know, discussing the details.“
“Sure
thing. Have fun then. I’m sorry I can’t join you guys.”
“It
will be better actually if you could come... but no worries. We still have the
party.”
Zefanya dan Tania tak bersuara walaupun
jelas diam-diam interaksi kedua insan ini diperhatikan dengan sangat seksama,
berkali lipat lebih menarik dibandingkan presentasi tentang pergeseran lempeng
bumi yang tadi mereka tonton.
Javi memajukan tubuhnya seraya memegang
bahu Elia, otomatis melakukan ritual perpisahan ala orang Prancis,
cipika-cipiki. “See you soon.”
“Yeah,
bye for now, Javi.”
Elia melambaikan tangannya ketika teman
sekelasnya berjalan menjauh, masuk lebih dalam ke bangunan kampus. Saat dia
berbalik menghadap Zefanya dan Tania, ada cengiran usil yang terpajang di wajah
keduanya, sangat menyebalkan sampai-sampai ingin rasanya Elia menjotos mereka
satu-satu.
“Alors?“
Ze memulai.
“Alors
quoi?”
balas Elia, tanpa sadar jadi defensif seperti anak SD yang tertangkap basah
berbohong karena belum mengerjakan pekerjaan rumah di depan gurunya.
“Rien, rien.
Si tu veux pas nous dire,“ ringan Ze menimpali. “pas
de problème.”
Cengiran
menyebalkan itu belum juga terhapus, Elia mati-matian berusaha supaya wajahnya
tidak menunjukkan gejala memerah. Dia memalingkan muka, menyahut dengan lagak
tidak terpengaruh, “Aku gak ngerti maksudmu apa, Ze.”
“Alah, sidang thesis di negara orang aja
bisa diselesaikan dengan baik, masak perkara
sepele macam ini bisa ndak ngerti?”
Kumat sudah
penyakit-mengejek-teman-sampai-mampus milik Zefanya. Bisa memojokkan temannya
hingga membuat mereka malu kemudian memerah padam dan akhirnya kesal karena
ketahuan merupakan kesenangan tersendiri baginya. Tania menyikutnya, tapi
cengiran itu masih terpampang.
“Congratulations,
Elia!” Tania mengganti topik, meraih Elia lalu memeluknya hangat. “Selamat ya
sudah lulus ujian, maaf kita enggak bisa on
time dan kasih semangat selama presentasi.”
Zefanya menimbrung, turut memeluk kedua
temannya, “Satu lagi anak hebat Indonesia sudah lulus! Félicitations! Aurelia Komala Koentjaraningrat, M. Rech., keren
banget! Yang pertama di antara kita lulus demi kemajuan bangsa!”
Meski
tadinya manyun, mau tak mau senyum sumringah tersungging di bibir Elia.
Ada momen penuh haru yang tidak bisa ia
sangkal. Tinggal jauh di negeri orang selama satu setengah tahun lebih,
terseok-seok hingga berdarah-darah supaya bisa mendapat beasiswa pemerintah
Indonesia untuk meneruskan pendidikan level master di Prancis, juga hampir
gagal berangkat karena drama kekonyolan miskomunikasi tidak penting yang terjadi;
dan banyak peristiwa-peristiwa lain yang mengantar Elia sampai di titik ini.
Tidak merasa betah, berpisah akomodasi dengan teman-teman yang diajaknya
berangkat bersama, merasa jadi alien tapi perlahan-lahan bisa bertemu
orang-orang ajaib yang kemudian menjadi dekat, jatuh cinta dan patah hati,
berbagai pertemuan dan perjalanan, penghiburan dan penguatan, masa-masa galau
nan kritis saat menulis thesis...
“Merci,”
gumam Elia sungguh-sungguh berterima kasih, “Kalau gak ada kalian, aku sudah jadi jamur di
kamarku sendiri, teronggok nggak guna, cuma bisa guling-guling tanpa niat dan
motivasi.”
Itu memang benar. Kondisi fisiknya
sehat walafiat, tidak menderita gangguan penyakit apapun, batuk atau gastritis
pun tidak. Namun ternyata sesehat apapun seseorang, jika kondisi emosi
kejiwaannya tidak begitu stabil dan dipengaruhi pikiran-pikiran negatif terlalu
banyak, sugesti itu mewujud di level fisik. Merasa tidak enak badan
terus-terusan, belum lagi ditambah perkara hati yang sebisa mungkin
dikesampingkan demi masa depan akademiknya, ada malam-malam yang dilalui Elia
hanya dengan memandangi layar laptop tanpa membaca materi. Ingin mengetik tapi
tidak tahu ingin mengetik apa. Sudah selesai tapi tak kunjung merasa puas. Makan,
mandi, dan magang di kampus dilewatinya seperti kewajiban tak sarat makna.
Dia merasa tertekan, tapi tidak sanggup
membagi bebannya ini pada siapapun. Bukannya tidak percaya, tapi dia merasa
permasalahan yang dihadapinya terlalu trivial untuk didiskusikan dengan
teman-temannya, ujung-ujungnya hanya membuat mereka tak nyaman. Skenario
menulis thesis sambilan patah hati tidak pernah terbayangkan olehnya sewaktu
masih di Indonesia; jujur saja, rasanya benar-benar buruk. Kalau bukan karena
Ze mengingatkannya berulang-ulang mengenai tanggungan beasiswa dan keyakinannya
bahwa Elia mampu menuntaskan kewajibannya, serta bantuan Genta mendengarnya
latihan presentasi dan memberinya tambahan semangat, dia sungguhan hanya akan
teronggok seperti jamur yang bermunculan di kamar gelap dan dekil tak tersentuh
cahaya kehidupan.
“Gak masalah, memang sudah seharusnya
begitu,” Ze menimpali, tulus.
Mereka melepas pelukan ala telletubies
tadi, lalu Elia mengecek arloji putihnya, “Yuk, cabut. Jamnya pas nih, begitu
kita sampai di sana restorannya sudah buka.”
“Kita doang nih?” cepat Ze menyahut, suaranya
sarat keinginan meledek. Cowok kemeja putih celana hitam tadi sudah siap
dijadikan kartu ledekan baru.
“Lah iya, kan aku sudah bilang, hari
ini spesial makan-makan for the ladies,”
alis Elia terangkat, “lagian mau ngumpul bareng sama anak-anak cowok sulit,
kalian tahulah kenapa.”
Tania
mencibir, mengerti arah yang dimaksud Elia secara tersirat. “Ya gak mesti ada
dia juga toh? Kita bisa kumpul sama Iwan dan bli Genta, mau repot ngumpulin yang tercecer lagi satu itu sulit.”
Elia
mengangkat bahu.
Menyebut namanya saja tidak ingin, sudah
seperti kata yang terlalu tabu. Sebenarnya tidak apa-apa, tidak ada masalah.
Dia tidak merasa tersinggung atau terluka atau apapun jika teman-temannya
menyebut nama dia. Hanya saja, ia
tidak sanggup menyebut nama panggilan yang khusus dibuatnya itu.
Masihkah hatinya terasa seperti teriris
jika dia mendengar nama itu?
Masihkan ada gaung kekosongan
menyedihkan yang sama bersarang di hatinya?
Memanggilnya dengan nama itu seolah-olah menegaskan fakta akan perasaannya
yang belum berubah. Tapi Elia berpikir bahwa jika nantinya perasaan tersebut
bisa dinetralkan, menyebut nama itu barangkali tidak memberikan efek samping
apa-apa. Salah satu langkah menuju kedewasaan, batinnya. Namun belum sekarang
waktunya, belum bisa.
“Ini kok malah jadi ngomongin si Loki,“
tukas Ze, tidak sabar, “wong aku mau
ngeledekin soal Javi, yang dibahas malah Loki.”
Kebiasaan para gadis: memberikan nama
kode sesuka hati jika ingin membicarakan-garis-miring-menggosipkan orang-orang
tertentu. Fungsi nama kode ini yang terpenting, tentu saja, adalah agar orang
yang mendengarnya tidak serta-merta tahu siapa yang sedang digunjingkan.
Lalu siapakah Loki? Di mitologi Norwegia, dewa satu ini sering muncul dan menimbulkan permasalahan. Dewa
kekacauan. Zefanya dengan tepat guna sekali memilih nama kode ini bagi dia, karena kekacauan yang
ditimbulkannya bagi Elia. Dan bukan hanya karena itu, nama lengkapnya sendiri
adalah Gde Avalokiteswara Eka. Tidak salah jika Ze memotong namanya di bagian
Loki.
Jadi, biarkanlah asal-usul nama panggilan
Alva itu Elia sendiri yang menyimpannya. Sekarang, yang ada hanya Loki, bukan
lagi Alva.
“Kamu sih gara-gara, Ze,” kata Tania,
melirik memperingatkan, “nyamber-nyambernya ambigu banget.”
“Udah ah, jangan dilanjutin dibahas,”
Elia menyergah, mengibaskan rambut dengan gaya lebih percaya diri dari
sebelumnya, “Ini harinya pemenang, kita harus bersenang-senang! Yuk, cabut,
lapar banget nih!”
***
Pemandangan sungai Seine di kala
mentari bersinar cerah tidak begitu memiliki kesan indah di mata Elia. Airnya
kadang kala terlihat biru kehijauan, namun sayangnya lebih sering tampak
berwarna biru kecokelatan keruh. Sedikit memberikan ilusi optik seakan-akan dia
tidak mengalir jikalau tidak diperhatikan dengan seksama. Bantaran sungai Seine
di Paris cukup lebar dan sengaja didesain demikian, agar warga sipil dapat
berjalan-jalan di tepi sungai atau melakukan aktivitas apapun yang mereka sukai
semacam duduk santai sekalian piknik, berolahraga, atau spesial di musim panas,
konser musik mini gratisan alias ngamen.
“Es krimmu enak nggak?” Ze bertanya
sambil menjilati es krim rasa hazelnut
yang hampir melesak setengah ke dalam kojong, kakinya terayun-ayun di tepi
sungai. Bantaran sungai itu cukup tinggi, permukaan air sungai ada di bawah
sekitar dua meter jauhnya.
“Lumayan,“ sahut Elia, mengernyit,
“agak sedikit terlalu asam sih, sebenarnya. Yaaa tapi gak apalah,”
dihabiskannya es krim rasa rasberi itu tanpa terburu-buru. “Murni buah aja
mungkin.”
“Bisa
jadi.”
Sinar
matahari terpantul dalam rupa bias-bias sewarna pelangi di permukaan riak-riak
air. Senja belum juga menjelang meskipun waktu telah menunjukkan pukul sembilan
malam lebih, tapi mereka juga masih menganggap waktu belum beranjak dari pukul
enam sore. Mentari musim panas yang begitu ceria, bertahan menerangi langit
hingga malam. Elia dan Zefanya tidak hanya berdua duduk di bantaran sungai, ada
banyak sekali orang di sana. Botol
bir yang bersinggungan di dalam tas jinjing terdengar ketika pendatang baru
berjalan di sela-sela orang yang duduk sembari sibuk berkata permisi atau maaf,
suara-suara gelak tawa ringan terbawa angin. Atmosfer kebahagiaan terlalu
kental untuk diabaikan, ditambah lagi Elia yang sukses menyelesaikan ujian
thesisnya, semuanya terasa sempurna.
“Sayang
juga si Tania harus balik ke kantor.”
“Yah, kau
tahulah, perkara pekerjaan. Apalagi bosnya itu yang... ” Ze tidak meneruskan,
memilih menggigiti pinggiran kojong esnya. Hampir saja keceplosan menggosipkan
orang, padahal dia sendiri belum pernah bertemu bos Tania yang dirumorkan
begitu galak dan agak di luar batas.
“Kenapa
memang bosnya?”
“Nanti
kalo ketemu dia, tanyain aja langsung,” itu jawaban terbaik tak memihak
yang bisa diberikan Zefanya. “Ngomong-ngomong mie daging babi tadi,
sumpaaaaah, enak banget! Langsung jatuh cinta!”
“Iya kaaaaan?” dengan antusias Elia
menimpali, senang karena mie yang direkomendasikannya disukai temannya.
“Aku belum pernah makan daging babi
dengan tiga gaya masak, paling enak yang digoreng kering,“ matanya mengawang,
sisa sensasi kelezatan mie bertajuk Trois Trésors, alias tiga harta karun dalam
Bahasa Indonesia, itu tidak juga hilang. Dia berjanji dalam hati sebelum hari
kepulangannya kembali ke tanah air, restoran Laos itu wajib dikunjunginya
kembali! “Sebelum kamu pulang ke Indo, kalau ada waktu, makan ke sana lagi
yuk!”
Elia mengangguk-angguk, walaupun dalam
hati dia tak yakin waktu yang tersisa akan cukup. “Tadi kenapa kamu telat sih
sebenarnya?” mendadak dia teringat Zefanya belum bercerita.
Sedari tadi di restoran yang mereka
bertiga bahas adalah ujian thesisnya, juga tetek-bengek alur dan proses, serta
wawancara mendalam tentang bagaimana kesan-kesannya setelah melalui sidang
terbuka di depan publik internasional. Dengan jujur ia mengaku masih tidak
paham mengapa thesisnya itu bisa lulus, ditambah dengan fakta (seingatnya) dia
hanya bisa menjawab separo dari pertanyaan-pertanyaan tim penguji. Berkeras dia
seharusnya bisa menjawab dengan lebih baik tapi kebanyakan grogi hingga
mencapai titik blank. Masih sering
tidak percaya thesis versi Eropanya hanya setebal tiga puluh halaman, dan
pembimbingnya dengan tegas melarangnya menulis melebihi batas jumlah itu.
Singkatnya, Elia (ngotot) merasa semuanya bagaikan keajaiban.
“Oh ya,“ barangkali ia salah lihat,
tapi rasanya dia melihat ujung-ujung bibir Zefanya berkedut, “Hari ini aku diminta
menemani mbak Veronika pergi ke KBRI.”
“Oh, tumben. Memangnya ada acara apa?
Biasanya kamu nggak pernah ikut ke KBRI kan?”
Ia menelan ludah mendengar pertanyaan
Elia. Untung sekalian makan es krim, setidaknya bisa tersamarkan. Untunglah
pula usaha Zefanya mengatur agar ekspresi wajahnya tetap sedatar sebelumnya
berhasil, “Ada pesta. Pemberian penghargaan Mahar Schützenberger. Mungkin mbak
Vero beranggapan aku bakal suka acara makan-makan gratisnya, makanya aku
diajak.“
Kegiatan menghabiskan es krim
rasberinya tidak berhenti, tidak serta-merta pula ia mengalihkan pandangannya
dari Zefanya. Oh, dia tidak mau sok pura-pura tidak tahu. Elia tahu betul akan
bermuara ke mana pembicaraan ini, dia bisa mengerti kenapa Zefanya tidak
bercerita apapun dari awal.
“Kamu
ketemu dia?”
Pertanyaan
itu tercetus begitu saja.
“Oui.”
Ze menyahut
kasual, senormal menjawab pertanyaan apakah cuaca besok akan sama cerahnya
seperti hari ini.
“Oh.”
Elia
mencoba untuk menerjemahkan ‘oh’-nya barusan.
Terdengar bagaimana?
Kesenyapan
Elia diisi dengan tepuk tangan riuh dari orang-orang di sekelilingnya ketika
sekelompok grup yang duduk di bagian bantaran sungai yang berbentuk seperti
tanjung kecil, berdiri. Mereka membawa alat musik tiup mereka sendiri-sendiri:
saksofon, terompet, piccolo, klarinet, French horn, trombone, dan tuba. Seusai membungkuk memberi hormat sambil cengar-cengir
kepada para penonton, mereka mulai bermain musik. Lagu-lagu instrumental yang
tak bisa dikenali, namun berirama riang. Menggugah. Menyemangati.
“Hebat juga
dia, bisa menang,” lanjut Ze tanpa beban, “Penelitiannya di biologi molekuler
inspiratif dan cerdik.”
Elia
mengerjap pelan. Aku tahu, lebih dahulu
daripada kalian, batinnya. Lalu ia teringat obrolannya di musim dingin
lalu.
“Kamu tahu penghargaan Mahar Schützenberger?”
“Hm? Apa
itu?”
“Haha,
bukan apa-apa.”
“Ih,
sok, emang apaan sih?”
“Coba
search di google.”
“Sombong banget gak mau cerita
langsung!” Elia menggerutu, tapi tetap saja setelah itu dia langsung membuka
laman internet dan mencari penghargaan dengan nama asing tersebut. Tanpa
mencapai satu detik, google memamerkan hasilnya. Beberapa ketukan dan membaca
kilat, mata Elia langsung membulat. Cepat dia berpaling pada laki-laki yang
berjalan di sampingnya, yang semenjak dia mencari jawaban di internet sudah
menantikan dengan tidak sabar. “Sungguhan nih?!”
“Hebat kan aku?”
Elia tak tahan untuk tidak melirik
sekaligus menyeringai mendengar gurauan berlapis kebanggaan yang
dilontarkannya. “Sombong.“
Beberapa koran atau media-media
daring menyatakan bahwa musim dingin di Paris tahun tersebut bisa disebut musim
dingin terpanas yang terjadi sepanjang sejarah. Meskipun demikian musim dingin
tetaplah musim dingin. Mantel tebal, syal, dan sarung tangan lengkap Elia
kenakan, jikalau tidak makhluk tropis ini barangkali sudah terkena masuk angin
level akut. Laki-laki itu melingkarkan lengannya di bahu Elia, menariknya
mendekat. Puncak kepala gadis itu bahkan hanya mencapai ujung bawah telinganya
walau telah menggunakan sepatu bot. Dia merasa pipinya menghangat.
“Shouldn’t
you be proud of your boyfriend winning a science prize?”
Elia mendengus geli. Tanpa menjawab dia
lanjut berjalan, menembus kerumunan orang di Marché de Noel, melewati
deretan toko yang menjual anggur panas, churros, dan berbagai jenis sosis panas
mengepul.
“Come
on, admit it,” katanya, belum melepas rangkulannya, membuat suaranya
terdengar seperti anak kecil yang sedang merajuk.
Elia menelengkan kepalanya, menatap
langsung ke bola matanya, “How cannot I
be proud of you, Alva? Of course I do.“
Urusan
menyetel ulang potongan-potongan memori seperti ini, otaknya adalah ahlinya.
Elia membiarkannya terjadi, tidak memaksa untuk memblokirnya atau mati-matian
menghindari. Sudah terbiasa, dan makin ke belakang rasanya tidak lagi
mengiris-iris pedih. Seandainya saja menjawab pertanyaan penguji tadi semudah
mengingat kembali hal-hal yang seharusnya tidak gampang diingat ini, rutuknya
dalam hati.
“Ya, penelitiannya bagus memang,”
komentarnya pendek. Lebih karena tidak tahu harus berkata apa lagi, bukannya
karena sengaja.
“Loki
tadi kelihatan sangat gembira, menurutku.”
“Mana
mungkin nggak, kan dia menang. Kesempatan seseorang untuk dapat kuliah ke
luar negeri dengan beasiswa kan gak gampang. Sudah begitu, penelitiannya dapat
penghargaan pula dari asosiasi peneliti Indonesia-Prancis. Itu bisa jadi nilai
lebih di CV.”
Suara-suara alat musik tiup yang riuh
rendah pun belum bisa menyamarkan nada iri sekaligus bangga yang tersirat samar
di suara Elia. Bagaimana pun memahami Elia tidaklah sulit, pikir Zefanya.
“Aren’t
you going to ask me more about him?”
Elia mengguratkan sebaris senyum tipis,
“Gak perlu, lagian aku tahu kamu gak ada ngomong banyak sama dia kan?”
“I
did, actually,” tepis Zefanya, enteng. Sengaja memancing Elia. “Sungguhan
nih gak mau denger?”
Elia mengangkat bahu, terlihat lebih
pasrah dan tegar daripada yang Zefanya perkirakan. “Sudahlah. Cukup aku tahu
dia menang. Nanti barangkali... kalau ada kesempatan bertemu, aku bisa kasih
dia selamat langsung.“
Dirinya sendiri terkejut, sejujurnya.
Jawaban tadi ia berikan tanpa berpikir dua kali, dan anehnya tidak ada beban
baginya, dan benar-benar tidak ada keinginan untuk tahu lebih banyak lagi dari
Zefanya. Dulu jika dia mendengar Ze tidak sengaja bertemu dengan Alva,
mendengar celotehan sekilas lalu mengenai hal-hal yang mereka obrolkan, ada
percikan kecemburuan kecil muncul namun terasa sangat-sangat mengganggu. Memikirkan
dirinya cemburu pada Zefanya sekarang terdengar teramat absurd. Membahas
perkara ini juga tidak lagi terasa penting dan relevan.
“Balik yuk,” gumam Elia, dia memeriksa
arloji putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Sudah jam segini.“
Dari ekor matanya Zefanya turut melirik
arloji Elia. “Walah, cepatnya waktu berlalu. Gak kerasa, euy!”
Keduanya bangkit berdiri. Sembari
berjalan menuju tangga naik untuk kembali ke jalan raya, Zefanya mengibaskan
debu-debu tipis yang menempel di celana jins hitamnya sementara Elia sudah
melenggang lebih dahulu darinya. Semakin malam menjelang bantaran sungai Seine
itu bukannya bertambah sepi malahan semakin ramai. Mereka sudah tidak
lagi heran melihat pemandangan tersebut.
Kedua
gadis tersebut berjalan pelan tanpa bicara menuju jembatan yang menghubungkan Île
Saint-Louis dengan Île de La Cité yaitu Pont Saint-Louis. Tujuan utama mereka
mengunjungi Île Saint-Louis adalah demi mencari es krim yang digadang-gadang
sebagai es krim terenak di seantero Paris, dan tidak memakai embel-embel
istilah gelato Italia : Glaces Berthillon. Ini kali pertama mereka
mengunjungi toko tersebut dan menemukannya sangatlah mudah. Tinggal
di Eropa mempertajam keahlian spasial mereka, cukup melihat Google Map dan
semua permasalahan selesai. Papan nama kafe Berthillon ini menggunakan kayu dengan
cat tulisan berwarna emas. Ketika mencari alamat kafe ini di internet, mereka
melihat foto-foto yang dipajang oleh orang-orang yang pernah berbelanja di
sana, sebagian besar menunjukkan antrian yang sangat panjang mengular di tepi
jalan. Mereka sangat bersyukur ketika sampai di sana keadaan tidak seheboh yang
ditampilkan internet, dan sukses membeli es krim rasa hazelnut dan rasberi untuk diri masing-masing.
Pont
Saint-Louis adalah jembatan besar penghubung kedua pulau kecil alami yang ada
di Seine. Dikarenakan tidak ada jalur metro yang masuk di Île Saint-Louis,
mereka harus kembali ke Île de La Cité untuk menemukan metro terdekat. Jika
berjalan terus dari ujung akhir Pont Saint-Louis menuju arah barat, mereka akan
sampai di katedral besar yang menjadi latar belakang kisah cinta tragis
Esmeralda dan Quasimodo : Notre-Dame de Paris. Saat Elia dan Zefanya telah
mencapai ujung barat jembatan, langit yang membentang di hadapan mereka telah
mulai merona jingga kemerahan.
“Très belle, comme d’habitude,”
desah Zefanya dengan mata penuh kerinduan. “Di saat-saat seperti ini aku selalu
gak pernah bawa kamera.”
“Mau pakai
kameraku ndak?” Elia menawarkan.
“Enggak
usah dulu deh. Nanti sudah mau dekat Notre-Dame aja, sekalian blue hour.”
Mereka
lanjut berjalan di jalur pejalan kaki bersama turis-turis yang entah seberapa
banyak jumlahnya. Di sungai Seine di sisi kiri bawah, bateau mouche tidak henti-hentinya berlayar membawa rombongan turis.
Quartier Saint-Michel Notre-Dame ini memang salah satu quartier yang padat disesaki turis. Tidak akan heran jikalau akan
ada saja orang yang meminta bantuanmu untuk memotret saat kau berdiri diam di
satu lokasi wisata terlalu lama.
“Kapan
rencana pulang?”
Elia tidak segera menyahut. “Barangkali
akhir Juli. Masih belum pasti, ijazah kelar sekitar akhir Juni. Dengar-dengar
gosip dari anak beasiswa yang lain di PPI, ngurus tiket kepulangan juga
prosedurnya agak panjang dan merepotkan. Harus dapat surat kelulusan dulu dari
kampus, ijazah, setelah itu kita minta surat keterangan dari KBRI.”
“Bentar, buat apa kita minta surat
keterangan ke KBRI?” potong Ze, panik. “Surat dari kampus itu wajar, tapi KBRI?
Apa hubungan KBRI dengan kelulusan kita?”
“Sepertinya penyandang dana beasiswa
kita memang meminta prosedur itu,” tandas Elia. “Kamu tahulah. Nah, setelah itu, setelah kita dapat surat dari KBRI baru
kita bisa mengajukan surat permohonan tiket kepulangan kita ke Indonesia.“
Elia membuatnya terdengar sangat mudah,
padahal kenyataannya proses mendapatkan tiket kepulangan berdasarkan gosip dari
senior-senior terdahulu itu terkadang agak dipersulit. Intinya, semuanya
tergantung nasibmu. Zefanya menghela
napas berat.
“Untung aku dapat warisan printer dengan scanner. Ngebayangin repotnya nge-print di luaran sama scan
pasti mahal banget.”
Elia tertawa, “Untung kantorku murah
hati, aku dikasih untuk print kertas
sesuka hati. Sudah gitu tintanya juga
gratis lagi, ah… ba-ha-gi-a.”
“Jangan
pulang duluan laaah. Sekalian sama aku aja.”
“Nunggu kamu selesai ujian? Alamak,
lama amat Oktober!”
“Teganyaaaa, padahal visamu masih bisa
sampai September,” keluh Ze, bermanja-manja.
“YAKALIK, nanti mau tinggal di mana awak sampai September? Akhir bulan ini
aja udah mau pindah ke apartemenmu, terus kamu musti keluar dari apartemen
akhir September. Mau ke mana kita? Jadi SDF?!
Zefanya, Zefanya...” Elia menggeleng-gelengkan kepalanya, dramatis.
Malah karena mendengar omelan Elia barusan,
tawa Zefanya justru tersembur.
“Laaah, dianya ketawa,“ rutuk Elia,
setengah tidak percaya, setengah geli, sengaja menggunakan logat Jawa. “Serius iki awak
bicara.”
“Nasib anak beasiswa, begitu kontrak kelar
langsung ditendang keluar,” dia makin terbahak-bahak.
“Pikirinlah dirimu, Nak,“ Elia
menambahkan. “Aku sih baik-baik aja sekarang soalnya bisa numpang di kamu. Nah
ntaran kamu mau numpang di mana? Temenmu yang orang Prancis itu bisa?”
“Auré maksudmu? Dia liburan ke
Indonesia,” sahutnya santai.
“Loh? Terus kamu piye dong? Temen laen ada nggak?” di titik ini Elia mulai merasa
khawatir, mulai mengingat-ingat anggota PPI Paris yang barangkali bisa Zefanya
hubungi jikalau memang tidak ada pilihan lain untuk menumpang. “Mana si Dewi bulan Agustus nanti juga pulang ke Indonesia...
Apa sama uni Deni?”
“Bisa
diatur atuh, Teteh,“ kata Ze dengan nada menenangkan, “aku sudah bicara sama
seniorku di kantor UNESCO, mbak Shieni. Kayaknya aku bisa numpang tinggal di
apartemennya nanti. Si mbak juga sudah mengiyakan. Aman.”
Sepanjang
mengobrolkan soal beasiswa dan kelanjutannya, mereka telah tiba di Pont de
l’Archevêché, penghubung Île de la Cité dengan Quartier Saint Michel. Seperti
Pont des Arts, pada kedua dinding jembatan ini pun turut rapat digantungi kunci
atau gembok beraneka ragam ukuran dan warna. Mitosnya pun sama, dengan
menautkan gembok bertuliskan nama sepasang kekasih selamanya cinta mereka akan
abadi. Menurut cerita yang didengar Elia dari temannya, jembatan cinta
legendaris yang asli adalah Pont des Arts. Akan tetapi, konon katanya, karena
orang-orang kekurangan tempat untuk menggantungkan gemboknya, maka akhirnya di
jembatan satu ini juga mulai digunakan sebagai tempat pemasangan gembok cinta.
Asalkan jembatan, pokoknya langsung diberdayakan!
Kedua gadis
ini berhenti. Elia kemudian mengeluarkan kameranya, sementara Zefanya bersandar
ke dinding jembatan. Katedral Notre-Dame de Paris berdiri menjulang di sisi
barat laut jembatan dilatari langit yang sudah berubah warna kebiruan, menyisakan
sedikit awan tipis transparan berwarna merah jambu keunguan di ufuk. Lampu-lampu
di tepi jalan dan sungai telah menyala.
Blue hour yang sempurna, batin Elia,
waktunya untuk diabadikan.
“Do you miss home?” Zefanya
bertanya di tengah-tengah kegiatan Elia menyesuaikan bukaan diafragma,
kecepatan, dan ISO kamera.
“Maksudmu rumah? Atau Indonesia?”
“Hmm... keduanya?“ sahut Ze ragu-ragu.
“Kenapa
kamu, Non?” balas Elia, mulai memotret pemandangan cantik di depannya. “Tiba-tiba
nanyain kangen rumah, kangen Indonesia. Korslet?”
Ze memilih membisu. Elia melanjutkan
memotret. Seliweran turis-turis di sekeliling membantu mengisi keheningan yang
tumbuh.
Lebih muda dua tahun dari Elia, Janneke
Zefanya Gita Rorimpandey, lahir dan besar di Bali; berkeras bahwa meskipun
setengah darah leluhurnya berasal dari Denpasar dan Manado, lebih suka disebut
anak Indonesia daripada harus memilih asalnya dari Bali atau dari Sulawesi
Utara. Salah satu dari sedikit teman suka duka Elia selama di Prancis yang
doyan sekali makan kebab dan mudah terbawa perasaan alias baper. Contoh nyata
tipe ambivert, di sebagian besar waktu lebih sulit ditebak isi kepalanya apa
dan seakan-akan mudah baginya untuk menerka tanpa bersusah-susah apa isi hati
orang lain. Kebiasaan buruknya yang sangat disebalkan Elia: terlalu banyak
berpikir dan berasumsi sehingga kadang jadi lambat mengambil keputusan.
“Ono
opo tho, nduk?” ulang Elia, menggantungkan kameranya di leher, mencoba
sekali lagi. Mungkin sedang baper, batinnya sangsi.
Ze mengigit bibir. “Yah, enggak ngerti
juga sih aku. Cuma aku tiba-tiba kepikiran aja. Setelah pulang nanti mau apa di
Indonesia.“
“Kerja lah. Kamu udah ambil master
gini, jadi dosen toh?”
“Dosen? Huh,“ gumamnya, sedikit lesu.
Ekspresinya menyiratkan keengganan, “Itu mah kamu. Begitu pulang, karir sudah
pasti bakalan jadi dosen. Atau paling nggak, peneliti. Bisa berlayar ke
sana-sini untuk ngumpulin data lapangan.”
“Cieee, anak muda galau soal karir,”
Elia menggodanya, kembali mengambil kameranya untuk memotret. Untuk saat ini
dia merasa temannya akan lebih nyaman bercerita jikalau dirinya tidak sengaja
memfokuskan perhatian seutuhnya, memandang langsung ke mata contohnya.
“Shit,
sial,” balas Zefanya, nyengir. “Sungguhan nih awak. Ngerasain nggak sih, kayak baru mulai kerasan di sini, banyak
yang rasanya masih bisa digali¾”
“Masalahnya,” potong Elia, belum usai
memotret, “ini momen kebebasanmu. Pertama kalinya kamu bisa bebas bertindak
sendiri, tahu semua konsekuensi pilihanmu, hidup dengan pilihan-pilihanmu. Aku
ngerti, makanya kamu gak mau pulang,“ diturunkannya kameranya lalu ia menoleh
pada Zefanya, “Bener kan?”
Air muka Zefanya berubah masam. “Kayaknya gitu.”
“Lantas
habis ini kamu maunya apa?”
Tidak
dijawab.
“Cari
beasiswa lagi gih.”
“Buat apa?
Lanjut kuliah doktor? Thesis beres aja belom. Ngebayangin kuliah lagi,
baru ngebayangin aja udah eneg.”
“Kan usul,” sahut Elia, kalem. “Anak
muda dengan segala permasalahan hidup. Menurutku sih,” lanjutnya, “kalau
keputusan itu nggak diambil, kita gak bakalan tahu itu salah atau enggak. Kalau
pun akhirnya ternyata salah, ya wajar. Ya gimana, apa boleh buat. Terima
kesalahan itu, introspeksi, kemudian move
on. Tugas manusia kan gitu, belajar untuk bertumbuh ke arah positif dalam
hidup.“
Zefanya terkekeh, iseng dia berkata,
“Curcol ya?”
“Sempet aja nyamber-nyamber ke Alva,“
komentarnya cuek.
“Aku
uda boleh bilang namanya nih?”
Gantian
Elia yang tidak menjawab.
“Aku
malas pulang.”
“Sama.”
“Nginep di
apartemenku yok. Cointreau.“
“Ada Sprite ndak?”
“Kagak ada.”
“Yaaah, lambungku… Gak apa-apa dah,
bersihin cacing-cacing di perut.”
Dan berakhirlah aktivitas memotret
senja malam itu, pembicaraan mengenai karir masa depan yang belum tercerahkan
sama sekali, ditutup dengan persetujuan minum alkohol bersama. Zefanya
menunggui Elia mengemasi kameranya kembali ke dalam tas sembari memperhatikan
deretan gembok-gembok yang ada di balik punggungnya. Berapa pasangan yang sudah
memasang di sini namun kandas di kehidupan nyata?
“Mereka yang putus,“ Ze menyuarakan isi
pikirannya, “kira-kira kepikirannya enggak ya, untuk melepas gembok yang mereka
pasang di sini?”
Hanya ada respon berupa gelengan kepala
tak setuju dari Elia.
Ingatannya terbang ke masa-masa di mana
ia hampir mengaitkan gembok di sana bersama Alva. Jikalau dibayangkan sekarang,
seandainya memang mitos itu benar... seandainya waktu itu dia mau memasangnya,
apakah keadaan akan jadi berbeda?
Sejak kapan dia jadi percaya mitos?!
Disingkirkannya
bayangan tersebut dari kepalanya. Apa gunanya berandai-andai di atas
permasalahan yang sudah lewat? Tidak relevan. Sama sekali tidak. Tidak ada
penyesalan sama sekali, semua sudah selesai.
Kedua gadis itu melangkah meninggalkan
jembatan menuju arah metro Saint Michel, menyeberangi Quai de Montebello
bersama ratusan turis yang lalu-lalang. Deretan toko-toko pengrajin dan suvenir
berderet-deret, berdampingan dengan bermacam-macam kafe, bistrot, dan restoran
di sepanjang jalan. Turis-turis juga turut memenuhi kursi-kursi yang ada di
depan kafe, bersantai menyesap secangkir kopi, teh, atau minum bir sambil
menikmati pemandangan malam yang memesona terhampar di depan mereka. Pelayan dengan setelan resmi bolak-balik masuk dan
keluar, membawakan pesanan para tamu; bonsoir,
s’il vous plait,
dan merci terdengar dari mana-mana,
bersahutan. Setelah melewati Lapangan René Viviani, mereka berbelok, mengambil
arah Rue de la Bucherie, melewati toko buku Shakespeare & Company.
Memutuskan untuk memotong jalan, mereka memilih memasuki Rue de la Huchette
agar lebih cepat mencapai stasiun metro Saint Michel. Menyelip-nyelip
di antara lautan wisatawan, segera saja bau beraneka ragam masakan masuk di
indera penciuman mereka.
“Jujur aja, aku laper lagi,“ kata Ze,
tak jauh dari tempat mereka berjalan, restoran makanan Yunani yang papan
kayunya dicat biru bersinar begitu terang di antara tempat makan maupun pub
yang lain. Matanya tertuju pada daging kebab yang berputar sangat pelan
ditiangnya, terjaga agar suhunya tetap panas dan matang.
“MASIH MAU MAKAN LAGI? YANG BENER AJA, PERUTMU ISINYA BLACK HOLE ATAU APA?!”
Dua puluh menit kemudian, sembari
menanti kedatangan kereta di belakang garis kuning di stasiun metro bawah tanah
Saint Michel, Elia dan Zefanya berdiri tak berjauhan di bawah papan bertuliskan
Montrouge; di lengan kiri Ze tergantung tas plastik putih kecil yang dari
dalamnya meliuk keluar uap tipis sewarna susu.
“Kapasitas perutmu memang luar biasa
mengagumkan,” gerutu Elia.
“Gak usah iri begitu.”
Keduanya saling menyeringai mengejek,
lalu tertawa kecil.
Kereta yang mereka tunggu tiba. Waktu
telah menunjukkan lebih dari pukul setengah sebelas malam, namun situasi
belumlah menjadi sepi-sepi amat. Begitu arus penumpang dari dalam kereta habis,
mereka cepat-cepat masuk ke dalam, bersamaan dengan bunyi alarm yang menandakan
pintu akan segera ditutup oleh masinis. Karena akan turun di stasiun
Montparnasse Bienvenue untuk berganti metro, keduanya tidak duduk di kursi
bagian dalam, melainkan memutuskan untuk duduk di bangku lipat yang ada di
samping pintu.
“Ngomong-ngomong soal pulang ke
Indonesia,” cetus Ze sedikit keras, dalam upayanya menghalau suara mesin
kereta. “Al¾Loki bilang dia bakal
pulang awal Juli.“
Mata Elia berkedip. Pelan dan bimbang.
“Kamu enggak tahu?”
“Menurut ngana? Mana mungkin awak
tahu, Ze.”
“Oh, ya¾bisa aja
kamu dengar dari Genta, kan kemarin kalian ketemu?”
Elia mengangkat bahu. “Perhatianku
terpusat ke ujian, seratus persen, Non. Genta juga kayaknya pilih-pilih situasi
mau kasih tahu berita macam begini. Ya bukan berarti aku perlu tahu juga
sih...”
Zefanya sontak merasa bersalah,
keceriaan Elia merosot cepat dengan sangat jelas. Akan tetapi dia tidak yakin
apa yang harus dia katakan. Atau barangkali apa yang mau Elia dengarkan. Atau
apa yang Elia ingin dia katakan padanya.
“Menurutmu,“ bisiknya lirih, “kalau aku
pingin ketemu dia lagi sekali aja, dia mau nggak?”
“Menurutku mestinya pertanyaanmu jangan
gitu, kalau kamu tanya dia mau apa enggak, aku yakin dia sepenuh hati mau tapi
logikanya menolak. Sama aja artinya dia gak bakal mau ketemu. Masih ingat kan,
dia bilang iya waktu kamu ajak dia nonton bareng sama kita ramai-ramai tapi ending-nya enggak nongol?”
Kereta
berhenti di stasiun Odéon. Obrolan terhenti sejenak. Prosesi keluar-masuk
penumpang terjadi. Tidak banyak yang naik, jadi keduanya tidak perlu berdiri
dari kursi lipat mereka.
“Ya ingat
lah, itu perasaan terkhianatinya terlalu parah. Masih mending dia
sekalian bilang gak usah dateng, daripada jadi PHP.”
Ze
mendengus geli, “Posisinya serba salah. Dia tahu kamu bakalan bad mood kalau dia directly bilang gak mau datang, terus ekspresimu bakal jadi sendu
dan galau. Semua orang bakalan jadi ngerasa gak enak walaupun kamu tidak
bermaksud untuk bikin suasana jadi kelam. Menurutku sih, dia milih kamu marah
sama dia daripada galau berkepanjangan.“
Biasanya Elia akan menyahut dengan nada
sarkas, tapi kali ini tidak.
“Are
you trying to make him look good?”
“Nope,
ma belle,
you know I like observing. I simply observed both of your actions, and those
lead me to this conclusion.”
“Merde-toi,
Alva.”
“You
love him too much.”
“I
used to.”
“Sorry,
wrong tenses.”
Pemberhentian berikutnya adalah Saint
Germain des Près. Masih duduk di posisi
yang sama, tidak berpindah.
“Menurutmu begitu?”
“Apanya?”
Elia menarik napas berat. “Dia masih
mempertimbangkan perasaanku? Dalam arti yang tadi, daripada aku sedih, lebih
baik marah.”
Zefanya memilah-milah kata-kata yang
akan diucapkan, agar tidak terkesan memihak dan berlogika. Dan utamanya, tidak
terkesan memberi harapan. “Itu hasil pengamatanku. Bisa jadi di dalam kepalanya, itu adalah tindakan murni
pertahanan diri. Lebih baik enggak usah ketemu kamu, takutnya kalau ketemu
perasaan lama kebawa terus malah ndak bisa move
on.
“Aku
yakin tipe orang macam-macam,” lanjutnya, “untuk dia barangkali lebih baik
putus hubungan total. Menghilang. Lebih baik begitu.”
Kebisuan Elia diisi oleh bunyi
roda-roda kereta yang bergaung di lorong bawah tanah.
“Cuma menurutku lagi,“ imbuh Zefanya
lebih tegas, “kalau memang buatmu akan lebih melegakan dan rela untuk move on setelah ketemu dia sekali lagi,
aku mendukung.”
“It’s
been months since our breakup,“ Elia berujar getir, “masa iya dia belum move on?”
“Memangnya
kamu udah?” tangkis Ze.
“Paling
enggak reaksiku gak lebay waktu ndak
sengaja ketemu, enggak pakai acara menghindar.“
“Dia belum
siap waktu itu, El, kalian baru putus dua minggu dipaksa ketemu. Ingat kan
Genta cerita apa? Lagipula ingat isi beberapa status facebook-nya, kan pesan
berkode semua itu. Buat kamu, siapa lagi memangnya kalau bukan kamu?”
Keduanya
mengembuskan napas. Satunya karena kesal, satunya lagi karena agak lelah.
Ze berkata jujur, “Kalian mestinya gak
usah jadian. Sudah tahu ujungnya gak bisa sama-sama.”
Elia tidak berkomentar.
“Sudah sama-sama lebay, sama-sama susah move
on pula. Aduh, Ratu Betara,”
keluhnya setengah pilu. “Untuk tipe manusia kayak dia, lebih baik memang gak
usah ketemu lagi.” Kemudian Ze berdecak,
“sudah berapa kali aku mengulang kalimat ini.”
Pintu kereta terbuka, beberapa penumpang ke
luar, beberapa masuk. Kereta melanjutkan perjalanannya setelah alaram berbunyi
nyaring dan pintu menutup.
“I
might not be able to see him again, Ze, at least once before he flies home.“
Zefanya memperhatikan roman wajah Elia
saat mengucapkan kalimat tadi. Cinta yang masih tersisa, keras kepala dan rasa
peduli yang berimbang. Langkah terakhir yang dia butuhkan agar mampu menapaki
jalan baru, memastikan semua selesai tanpa dendam amarah. Keegoisan terakhir
yang diharapkannya dikabulkan Tuhan.
“Barangkali jangan berharap kalian bisa
ketemu, Elia,“ ujar Ze tawar, “kadang-kadang kita terlalu berharap lantas jadi
kecewa. Kadang-kadang terlalu berharap malah enggak kesampaian. Biarkan
sajalah, siapa tahu kalian malah papasan gak sengaja di jalan, macam yang
sering terjadi di film-film.”
Kali ini giliran Elia yang mendengus,
menempelkan kepalanya di jendela metro. Dia merasa sudah terlalu banyak mengungkapkan
bagaimana sesungguhnya isi hatinya.
Sudah cukup, batinnya.
***
Metro
10 memang tidak seramai dan sepadat metro 6. Seramai-ramainya pun, Elia tidak
pernah merasa sampai sesak tergencet di antara kumpulan lautan manusia, seperti
yang sering dialaminya jika bepergian dengan metro 6. Sensasi tergencet di
antara campuran manusia dengan berbagai latar belakang kebangsaan berbeda itu
luar biasa. Hal paling menyebalkan yang pernah dialaminya adalah ketika
terimpit di antara tubuh-tubuh dengan bau spesial menguar, memenuhi satu
kompartemen kereta ; bahkan dia tidak bisa mengidentifikasi bau asam,
kecut, busuk, dan apak itu tercipta akibat mengonsumsi apa. Hampir satu jam
lebih, bayangkan bahagianya rasa tersiksa itu. Untungnya sore itu, kondisi
penumpang di dalam kompartemen yang dinaikinya di metro 10 jurusan Boulogne
cukup aman dan kondusif. Ada beberapa turis dari Inggris (Elia mengenalinya
tentu dari aksen bahasa Inggris-nya yang begitu kental), beberapa turis dari
Cina, sisanya hanyalah penduduk lokal dan imigran yang terdiri dari campuran
pekerja kantoran dan pelajar dari berbagai tingkatan antara SMA hingga
universitas.
Sembari
tanpa sengaja menguping perdebatan satu keluarga turis dari Inggris, antara
ingin turun di Cluny La Sorbonne atau Odéon, Elia mengetik sebuah pesan singkat
di ponselnya untuk Ze karena sudah tiga puluh menit belakangan ini ia
bolak-balik menanyakan sudah sampai di mana Elia sekarang.
Ketikannya
selesai. Elia melirik dari ujung matanya ke arah jam tangannya.
Menggigit bibir.
Sepertinya
dia sudah dalam perjalanan ke bandara.
Kekosongan itu entah dari mana
datangnya, tiba-tiba saja muncul.
Ekspresinya memuram.
***
“Sudah sampai di mana dia, Ze?” Troy
bertanya seraya asyik memainkan melodi di gitarnya.
“Katanya sih baru jalan dari kampus,”
sahutnya, membaca pesan yang dikirimkan Elia. “Dia naik metro 10, palingan bakal turun di La Motte
Piquet Grenelle trus jalan kaki ke sini.”
“Kabarin
aja kita tungguin dia di sisi mana Champ de Mars,” Tania menimpali, sibuk
selfie dengan Menara Eiffel sebagai latarnya.
Troy mulai
memainkan melodi lagu Mirror dari Justin Timberlake, diikuti Ze yang bernyanyi
dengan suara kecil. Tania kemudian iseng-iseng merekam mereka.
“Eh,
ngomong-ngomong,” Tania berkata, teringat, posisi tangan masih merekam, “si
Loki bukannya balik ke Indonesia hari ini ya?”
Tanpa berhenti bersenandung, Zefanya
hanya manggut-manggut.
“Kok kalian gak nganterin dia ke
bandara? Bukannya dulu kalian dijemput sama dia di bandara waktu baru sampai
Paris?” ujar Troy, lebih ke penasaran daripada menuduh.
Ze memanyunkan bibir sementara Tania
mengangkat bahu.
“Yaaah, mau gimana lagi,” Tania berkata
datar, menghentikkan rekamannya, “dianya menjauh begitu. Kita bisa bilang apa.
Kita tahu dia bakalan pulang juga gara-gara obrolannya sama Iwan di wall Facebook tadi malam. Aku cuma bisa message bilang hati-hati di jalan aja.”
“Lagian setelah dia keluar dari
apartemen, dia tinggal di rumah Ibu Angga, di luar jalur metro/RER di wilayah
selatan. Paling dia diantar mereka ke bandara dengan mobil. Kita mau antar ya
gimana...” imbuh Zefanya.
“Kok pahit gitu sih hubungan kalian
jadinya?” decak Troy, heran.
Zefanya dan Tania kompak menghela
napas.
“Tahu tuh. Dianya lebay.”
***
Tangannya hanya tinggal memencet tombol
hijau di ponselnya agar tersambung. Namun apalah dayanya. Apa juga yang ingin
dia katakan? Dahi Elia mengernyit dalam.
Dia duduk di salah satu kursi dekat
jendela, terkoyak dengan keinginan dan ketakutan yang tak pasti. Berbagai
nasihat yang diberikan Zefanya terulang-ulang terus di kepalanya, tapi hatinya
memberontak.
Alva
akan pergi.
Alva akan
pulang.
Meskipun
Elia tahu Alva akan pulang ke kota yang sama dengannya tapi dia menerka bahwa
itupun tidak akan mengubah apapun dalam hubungan mereka yang telah rusak.
Pulang ke Indonesia pun tidak berarti akan bertemu. Setengah bagian hatinya
meyakini bahwa ini adalah kali terakhir dia bisa berbicara dengan Alva. Dia
tidak lagi berharap agar bertemu, sudah lama ia ketahui bahwa harapan itu
semestinya dilupakan dan dihapus total.
Waktu terus
berjalan, kurang dari tiga stasiun lagi Elia akan sampai di tujuan. Dia tidak
ingin menelepon atau menampilkan jejak apapun yang ada hubungannya dengan Alva
di depan teman-temannya.
Sekarang,
atau tidak sama sekali.
Terakhir
kali mereka berbicara adalah di perpisahan kikuk yang diadakan oleh Genta, yang
sudah pulang duluan ke Indonesia seminggu lalu di tanggal 4 Juli. Perpisahan
itu diadakan Genta di apartemen Alva, entah apa pertimbangannya. Zefanya,
Tania, dan Iwan tentu saja diundang ; formasi lengkap dari geng mereka
yang dulu. Elia berupaya keras untuk bertingkah normal, sementara
teman-temannya yang lain juga nampaknya bersikap senormalnya mereka biasanya.
Tapi tentu tidak bisa dipungkiri, ada celah dan kerenggangan yang tercipta.
Kaku dan kikuk yang diusahakan menjadi sesamar mungkin. Mereka
tertawa-tawa, makan bersama masakan Alva dan Genta, bersulang meminum bir dan
anggur lalu makan kue penutup. Tak lupa berfoto-foto sambilan merekam video
kesan dan pesan. Semestinya itu menjadi momen yang penuh kenangan manis, tapi
bagi Elia, yang tersisa baginya adalah jarak.
Namun, apalah dayanya?
Itu pilihannya. Keputusan mereka.
Episode itu seharusnya sudah selesai,
akan tetapi egonya belum bisa menerima. Dia ingin memberikan penutup yang
pantas bagi kisahnya. Penutup yang dikiranya baik bagi dirinya.
Memberanikan diri, dipencetnya tombol
hijau itu, agar tersambung panggilannya pada si empunya nomor telepon: Gde
Avaloki.
Jantungnya
mulai berdegup keras di luar kendalinya.
Tuuut.
Apa yang
harus dikatakannya? Haruskah dia menanyakan kabar dulu sebagai pembuka
pembicaraan?
Tuuut.
Setelah itu
mau bilang apa? Pura-pura tidak tahu kapan dia pulang?
Tuuut.
Bodoh, itu
terlalu kelihatan jelas.
Tuuut.
Jujur
sajalah sudah, katakan langsung untuk berhati-hati di jalan. Sekalian pesan
sampai jumpa di Indonesia mungk¾
Le numéro d’appel que vous avez demandé
n’est pas accessible.
Segera
Elia memutuskan sambungan teleponnya.
Terdiam.
Pikirannya yang semula panik dikejar
rasa gelisah, mendadak berubah senyap.
Matanya ia alihkan ke luar, memandang
gelapnya lorong kereta bawah tanah Paris. Dindingnya yang dipenuhi
coretan-coretan graffiti. Kekacauan. Berantakan.
Merasa kesal sekaligus bodoh.
Nasihat orang bijak memang sebaiknya
selalu didengarkan. Ditariknya napas dalam-dalam, agar ketenangannya kembali.
Memejamkan matanya sejenak, meluruskan keningnya yang berlipat. Berusaha menepis
emosi negatif yang pelan-pelan naik menggerogoti isi kepalanya.
Papan nama stasiun tujuannya muncul
begitu keluar dari lorong. Kereta mulai melambat.
“Excusez-moi, pardon,” ujarnya, berdiri
lalu berjalan menuju pintu. Menunggu pintu terbuka di belakang beberapa orang
yang sudah terlebih dahulu mengantri di depannya.
Dia
berjalan pelan-pelan, tanpa memakai headset,
walaupun jarak tempuh dari stasiunnya menuju Champ de Mars bisa memakan waktu
yang agak lama. Hanya mengamati orang-orang yang berjalan lalu-lalang di
sekelilingnya, sengaja menjauhkan pikiran mengenai telepon yang tadi. Apakah
itu tersambung lalu kemudian diputus atau memang sudah sedari awal akan
dialihkan, dia tidak mau menebak-nebak.
Langit
musim panas yang begitu cerah tak berawan diamatinya. Rasanya dia jarang sekali
melihat pesawat terbang komersil terbang melintasi langit ibu kota, kalaupun
ada pesawat, biasanya itu pesawat militer yang sedang latihan terbang,
meninggalkan jejak berupa asap putih meliuk-liuk.
Mungkin
dia sudah di dalam pesawat.
Tanpa disadarinya, ia berdeham.
Tangannya kembali meraih ponsel yang ada di sakunya sembari menunggu lampu
penanda menyeberang jalan berubah hijau. Membuka facebook messenger.
Orang-orang di sampingnya mulai
berjalan, dia pun turut menyeberang.
Berjalan dengan tenang, mengetik-ngetik
sesuatu.
Menara Eiffel sudah muncul di
hadapannya, seraya membetulkan letak kacamatanya, dia mencari tempat yang tadi
sudah dideskripsikan Zefanya melalui SMS; dan ternyata tidaklah sulit
menemukannya. Deskripsi Ze selalu jelas dan akurat.
“Eliaaaaaaa.”
Didengarnya suara Tania memanggilnya.
Elia melambaikan tangannya pada ketiga temannya yang sudah duduk manis menanti
bersama kamera, tripod, dan gitar.
“Désolée,
désolée,“ kata Elia sembari berjalan mendekat, memasang cengiran yang
dianggapnya mampu memaafkan rasa kesal, “Lama ya nungguin?”
“Ah, santai aja, Teh,” Troy menyahut. “Ini nontonin Tania ngelawak daritadi, jadinya
nggak bosen.”
“Enak aja, ngelawak apanya,” Tania
menukas, memukul ringan lengan Troy sementara Zefanya terbahak-bahak.
Begitu bertemu dengan ketiga temannya
yang gila ini, perasaan senang muncul di hatinya. Interaksi konyol ketiganya
ini membantu mengembalikan mood-nya
yang sempat tak keruan. Syukurlah mereka berjanji untuk keluar ngamen di Champ de
Mars hari ini.
“Gimana, sudah siap ngamen kita hari
ini?” Troy bertanya, sesi pukul-pukulan Tania padanya sudah selesai dan Elia
telah turut serta duduk di atas rerumputan lapangan.
Zefanya nyengir gugup, memandang
sekeliling lapangan yang penuh sesak. Bukan
bercanda. Champ de Mars, tanah lapang terbuka yang ada di sisi tenggara Menara
Eiffel ini begitu ramai di malam musim panas ini. Orang-orang piknik,
bersantai, minum-minum, jalan-jalan, berolahraga, semuanya lengkap. Bahkan
pedagang asongan yang menjual bir keliling turut meramaikan suasana dengan
teriakan-teriakan mereka. Jangan lupa juga rombongan turis-turis yang tidak
henti-hentinya berfoto dengan Menara Eiffel sebagai latarnya, dengan rupa-rupa
pose yang mereka sukai.
“Aku gak
ikutan nyanyi deh,” kata Tania, mencoba melarikan diri, “Aku jadi kameramen aja,
suaraku jelek, jangan dah aku ikutan. ”
“Mana
suaramu jelek, bohong sekali!” Zefanya memprotes keras. “Kita kan sudah sepakat
nih, mau bikin kenang-kenangan!”
“Iya, Tan,” Troy menyetujui, “kapan
lagi kita bisa balik ke Paris sama-sama kayak gini? Kita harus bikin video
ngamen ini. Percaya deh sama aku, nanti di masa depan kita bakalan kangen trus
ketawa-ketawa pas nonton videonya.”
“Ayolah, Tan, kita kan mau duet lagu
Bendera nanti, gimana sih,” kata Elia, menyemangati.
“Aduuuh,“ Tania mengacak-acak rambutnya
sendiri, nampak enggan sekaligus malu dan tidak siap, “kalian duluan deh. Yang
ada akunya nanti aja.”
“Ya sudah,” Troy tertawa. “Kita duluan deh,
El.”
“Duduk menghadap mana nih?” Zefanya
mulai memposisikan letak kedua kamera DSLR mereka. “Eiffel di belakang kalian,
jadi?”
“Iya dong,” kata Troy, mantap. Dia
bergeser sedikit memberi ruang agar Elia duduk di sampingnya. “Nggak backlight kan?”
Zefanya memperhatikan layar kameranya, mengatur sedikit bukaan diafragma, lalu mengacungkan jempol. “Ready anytime.”
Selagi menunggu, Elia termenung.
Menatapi langit. Bertanya-tanya dalam hati, apakah pesan singkatnya itu sudah
sampai? Sudahkah dibaca?
“Udah siap, Teh?” tanya Troy, memastikan, menggenjreng gitarnya. “Segini oke?
Ketinggian nada?”
“Aaaa. Ehm, aaaa,“ sahutnya,
menyesuaikan. “Coba turunin setengah.”
Genjrengan gitar lagi.
“Aaaa. Oke, sudah pas. Siap.“
Betul, waktunya hanya tersisa sedikit
di Kota Cahaya ini. Lebih baik dimanfaatkannya untuk membuat kenangan indah,
daripada membiarkan diri tersiksa dengan harapan-harapan kosong. Adakah yang
masih tertinggal dan tersisa di dirinya tentang Alva?
Tentunya ada.
Perasaan yang hanya bisa dialami.
Tidak bisa diekspresikan. Tidak bisa
digambarkan. Tidak bisa dijelaskan.
Hanya
merasakan, serupa bara mungil yang membakar, menghangatkan hati,
mencegahnya membeku... dan mati.
Biarkanlah perasaan itu ia tinggalkan
di kota ini. Semua memori di tempat-tempat yang penuh kenangan. Kebahagiannya
yang singkat. Perpisahannya, kepergiannya tanpa kata-kata. Barangkali memang
itu jalan keluar terbaik dari episode kehidupannya di bagian ini. Akhir yang
tepat.
Petikan melodi gitar Troy dimulai.
Zefanya sudah siap dengan kameranya, Tania senyum-senyum di sisi lain dengan
kamera sakunya, memotret semua proses di balik layar yang terjadi. Beberapa
orang yang melewati mereka memperhatikan sembari menunjuk-nunjuk. Elia menarik
napas.
“I’m only happy when
I’m with you.
Home for me is
where you are.
I try to smile
and push on through.
But home for me
is where you are.
They tell me
that I’ll make it,
It’ll only be a
while.
But
a while lasts forever without you...”
***
Punggungnya sedikit melengkung akibat
beban berat yang tersampir di bahunya, sembari mencari tempat duduk kosong di
ruang tunggu masuk pesawat, ia mengecek ponselnya. Pesawatnya lepas landas
masih dua jam lagi, namun sebaiknya tentu saja menunggu lebih lama di bandara
daripada harus terlambat. Belum lagi proses pemeriksaan yang cukup rumit di gerbang, sepatunya pun harus ia lepaskan, laptop dan ponsel dikeluarkan dari
dalam tas, begitu pula dengan ikat pinggang. Setidaknya sekarang dia sudah bisa
duduk tenang menunggu keberangkatan.
Didapatinya sebuah tempat duduk kosong
dekat dengan colokan listrik. Menghempaskan berat tubuhnya di kursi dan tas
punggungnya di lantai, Alva kemudian membuka facebook messenger.
Satu di antara belasan pesan yang masuk
menyita perhatiannya.
Dihelanya napas. Hanya sederetan
kalimat itu saja, tapi emosinya masih juga teraduk.
Gadis berisik itu yang menghantuinya
sampai detik pesannya dibaca. Di pertemuan terakhir mereka pun, upayanya yang
sangat payah dalam menjauhinya sekaligus bersikap normal terlalu terlihat
jelas. Gesturnya. Caranya menatapnya diam-diam dari ekor mata. Melihatnya hadir
nyata di depannya tanpa tawa cerianya, tanpa gurauannya...
Dulu ia pernah berpikir bahwa seseorang
tidak akan tahu apa yang ia rindukan sampai hal tersebut muncul di hadapannya,
menyadarkannya. Namun, ketiadaan Elia... hanya dengan ketiadaannya saja sudah
membuatnya merindu. Merindu sampai terasa sakit.
Apa yang tertinggal dan tersisa di
dalam hati yang merindu dan mencinta hingga sedemikian dalam?
Alva
memejamkan matanya. Mencari-cari dan menjangkau ke dalam hatinya, mencari
jawaban.
“Putain,” makinya sendu.
Kemudian, iapun sekonyong-konyong mulai
mengetikkan pesan balasan.
***
Mata Elia terus menatap langit,
menyanyikan baris-baris terakhir dari lagunya.
“Take me home...
Take
me home, to your arms...”
Petikan not-not akhir gitar selesai,
Zefanya lantas menyudahi rekaman di kamera. “Woooo, keren banget El, kak Troy
apalagi gitarnya mantep mempesona!”
Bunyi ping keras khas pesan dari facebook
messenger membahana.
“Astaga, untung dia ndak bunyi pas waktu kalian masih
nyanyi,” komentar Tania, agak terkejut.
“Iya ya, aku lupa matiin,” Elia
terkekeh kecil.
Dibukanya pesan tersebut. Nama yang tak
disangkanya terpampang. Deretan-deretan kalimat cukup panjang di luar
dugaannya. Ada senyum sedih yang terbentuk di bibirnya.
“Kenapa, El? Siapa kirim pesan, kok
tampangmu gitu?” ceplos Zefanya.
Elia mengunci layar ponselnya lalu
mengembalikannya kembali ke dalam tas. “Bukan siapa-siapa.”
***
Erinda
Moniaga
April 26th
2017
A lost
and found manuscript, I’m glad I can make this to an end.
To be
continued to L’automne.
Daftar terjemahan kata-kata dalam percakapan.