Badai.
Pernahkah kau melihat badai?
***
“Mau ke mana kamu?“
Itu suara kakakku, terdengar curiga dan penuh dengan tanda tanya, bukan sekedar satu.
“Kiran?”
Dan kali ini bukan hanya sekedar tanda tanya yang menyertai kalimat itu, ada kilasan tanda seru yang memerintahkanku untuk menjawab pertanyaannya. Jujur, aku tidak berniat sama sekali untuk membalikkan badanku menghadapinya.
“Aku...“ kataku terputus, menatap pintu dihadapanku, “pergi dulu.”
Dan kubanting pintu menutup di belakangku, tidak peduli sama sekali pada ketidaksopanan yang telah kulakukan pada kakakku sendiri. Aku berlari menyeberangi halaman menuju tempat parkir mobilku. Sesegera mungkin aku menyalakan mesinnya, memindahkan persneling lalu menginjak pedal gas keras-keras. Dari kaca spion bisa kulihat kakakku tergesa menyusulku. Terserahlah. Aku tak mau ambil pusing.
***
Sudah satu jam lebih Kiran menyusuri jalan raya ini. Tanpa tujuan. Dia memegang setir mobil dengan lunglai. Pandangan matanya sekilas tampak seperti berfokus pada satu titik, namun sesungguhnya tidak di manapun. Sistemnya bekerja dengan autopilot. Mengemudi asal-asalan, asalkan dia tidak menabrak mobil atau motor. Mau dia berada pada jalur yang salah atau benar, dia tidak peduli dan tidak ambil pusing. Yang dia tahu, dia hanya ingin menyetir. Pergi ke suatu tempat. Tidak tahu ke mana, terserah saja. Yang penting dia pergi.
Pergi dari rumah.
Pergi dari dunianya.
Pergi dari segala tempat yang berhubungan dengan dia.
Dia.
Dia yang...
Yang sudah mengikatnya terlalu dalam.
“Ke mana saja...” bisik Kiran, nyaris merintih. Suaranya terdengar seperti kertas tipis yang nyaris tercabik. “Biarkan aku membuangmu... Biarkan aku... “
Suara klakson mobil meraung nyaring dari sisi kiri mobil. Serta-merta pandangan Kiran terjatuh pada bangunan yang berdiri di sana. Sekolahnya. Sekolah tempatnya dan dia bersekolah.
Serbuan beribu kenangan mengentaknya. Saat mereka berjalan berdua sepulang sekolah. Saat dia menemaninya menunggu jemputan di gerbang sekolah. Saat mereka bertanding basket di lapangan yang letaknya tak jauh dari gerbang. Saat mereka bersenda gurau di kelas. Saat mereka berebut makanan di kantin. Saat dia mengejek Kiran di mata pelajaran matematika akibat kelambatannya mengerti. Saat mereka membolos untuk mengobrol di tangga berdua.
Semuanya berdatangan, menyerbunya tanpa ampun.
Kiran menggertakkan giginya, pegangannya pada setir mengeras. Dengan cepat dia memindahkan persneling dan menginjak pedal gas.
Dia tidak mau mengingat lebih lanjut lagi.
Dia harus pergi dari sini.
Dan hujan mulai turun.
***
Sekarang pandangan mataku tertuju pada tempat-tempat di mana kami biasa makan. Beragam memori kebersamaan menghampiriku, satu per satu, masing-masing menorehkan luka baru pada hatiku yang sudah berdarah-darah.
Game center tempat kami biasa menghabiskan siang sebelum les sekolah.
Toko buku. Tempat makan. Lapangan olahraga. Pantai. Jalanan. Motor. Taman bermain. Rumah.
Semuanya.
Semuanya menyisakan jejak-jejak kenangan.
Ke mana aku harus pergi untuk menghindarinya?
Ke mana aku harus pergi untuk membuangnya?
Kenapa jejakmu harus ada di mana-mana ke manapun aku pergi??
Meskipun di luar sana angin dan hujan sedang menderu-deru, aku tahu persis tiap lokasi kenangan itu. Haha, aneh sekali. Seolah-olah tubuhku, hatiku, otakku, secara refleks sudah mengetahuinya.
Dan itu menyakitkan.
Kau tidak tahu itu kan?
Kau tidak akan mengerti seperti apa sakitku, aku berusaha membuang semuanya, menghapus segalanya yang berkaitan denganmu, oh tidak, kau tak tahu. Kau bahkan tidak mau untuk peduli. Sekejap pun tidak.
“Khu...“ aku mendengar diriku mulai tertawa. Tawa sumbang. Pahit. Mengerikan. “Hahahahaha. Ironisnya aku memaki-makimu, tapi hatiku tidak bisa melupakanmu!“
Ya. Itu benar. Aku memakinya. Aku mengatainya bajingan. Aku mengatainya penipu busuk.
Tapi aku merindukannya.
Setengah mati merindukannya.
Merindukan bajingan yang sekarang sudah bersama gadis lain...
Tolong...
Tolong katakan padaku...
Bagaimana caranya agar aku bisa lupa?
Ke mana harus kubuang semua memori ini?
Bagaimana melepaskan semua ikatan ini?
Aku muak, aku lelah, aku benci...
Aku benci menyadari diriku merindukannya...
Kumohon, siapa saja, tolonglah aku...
Selamatkan aku...
***
Kiran tidak menyadari dia memberhentikan mobilnya di taman dekat rumah. Taman tempatnya dan dia biasa mengobrol. Kiran sama sekali tak sadar. Mungkin dia juga tidak ambil pusing fakta bahwa sekarang ini hujan lebat tengah mengguyurnya.
Dia duduk, setengah mematung di salah satu ayunan.
Kepalanya bersandar pada tali ayunan, sorot matanya... kalut.
Kakaknya mengamatinya tak jauh dari sana, di bawah payung merah.
Mengamati mata adiknya, sang kakak tahu bahwa adiknya sedang tersesat. Tersesat di dalam badai, yang kian lama kian mengganas.
Dia bisa melihat badai tidak kasat mata yang sedang menjerat adiknya, menghancurkan sistemnya, memporak-porandakan jiwanya.
Dia bisa melihat bahwa...
Badai itu adalah Kiran sendiri...
***
I miss you...
He is a jerk.
I miss you...
HE is a jerk.
I miss him!!
HE IS A JERK!
I...
...
***
I am lost...
I am lost in the tempest.
Erinda Moniaga ©
May 12 2011
published in Facebook on Friday, May 13 2011