Lomba Fiksi Fantasi 2012
Judul
: Elysium
Keyword
: rajah, salju, cerpelai, rasi, palung
Ra berlari
sekencang-kencangnya menuju arena pertempuran. Isi pikirannya kini bercabang.
Benar, memang, bahwa misi membunuh sang Phoenix Air masih berada di urutan
teratas dalam daftarnya, namun perkataan si Phoenix Air sudah mengganggunya
sedemikian rupa. Bahwa sesungguhnya Ras Manusialah yang bersalah. Bahwa para
Makhluk Mistis hanyalah korban, kambing hitam semata dari cerita busuk yang
dikarang-karang para petinggi Ras Manusia. Bahwa mereka sesungguhnya bersedia
untuk tinggal berdampingan di Elysium. Di surga.
Semua itu terbalik dari apa yang dia ketahui, dari apa yang
sudah dicamkan para penguasa di tanah kelahirannya. Mana sebenarnya kenyataannya?
Ra harus menemukan Varuna, si gadis penjelmaan Phoenix Air.
Gadis itu berutang penjelasan lebih lanjut. Dan jika dia berdusta, tiada ampun
lagi, dia harus mati. Mestinya
sewaktu tadi Varuna menyembuhkan luka-lukanya, Ra tidak usah ragu. Kenapa dia
tidak bisa membunuh gadis itu? Satu lagi hal yang mengusiknya, perkataan Varuna
bahwa meskipun di masa ini lagi-lagi mereka tidak bisa bersatu, dia yakin
mereka akan bersatu nanti, di suatu masa yang akan datang. Apa maksudnya?
Mengapa dia berbicara seolah-olah sudah mengenalnya lama sekali, padahal ini
kali pertama mereka bersua? Bagaimana gadis itu bisa mengetahui namanya? Dan,
yang paling penting, kenapa musuhnya itu mau menyembuhkan luka-lukanya?
Ra harus menemukannya, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Benang
yang terlampau kusut ini harus diuraikan.
Suara-suara pedang yang saling bersilang terdengar nyaring saat
Ra mencapai arena perang di tepi pantai. Rangkaian mantra sihir terucap bagai
lagu kematian. Teriakan-teriakan haus kekuasaan para manusia. Makhluk mistis
yang berusaha sesedikit mungkin untuk melukai para manusia dan sedapat mungkin
hanya melakukan sihir pertahanan. Darah. Mayat-mayat bergelimpangan dengan
luka-luka mengenaskan dan menganga. Mata-mata yang terbuka namun tidak lagi
memandang.
Ra menjerit dalam hati, inikah
perangai manusia? Manusia yang
katanya adalah ciptaan paling mulia?
Dia berlari, giginya menggertak keras. Tinggi-tinggi
diangkatnya pedangnya pada tangan kanannya dengan gerakan mengancam, tapi tidak
menusuk siapa-siapa. Dia melihat ke segala arah, matanya mencari-cari Varuna.
Kemudian dari pusat medan tempur terjadilah ledakan cahaya
biru. Sinarnya sangat menyilaukan, semua yang ada di sana sampai harus menutup
mata sejenak. Terdengar teriakan Orion Ptolemaus, Jendral Ras Manusia,
kakaknya, membahana, “Dasar Makhluk Mistis tolol! Saudaramu si Naga Api
Hyperion setengah mati berusaha menyembunyikanmu, tapi kau sendiri datang ke
mari! Sudah siap mati rupanya kau?“
Wajah Ra memucat ketika mendengar perkataan itu. Dia akhirnya
sampai di sana, terengah-engah, melihat Varuna berdiri dengan tenang dan
anggun. Gadis perwujudan Phoenix Air itu berambut cokelat madu dan bermata
biru, ekspresinya begitu lemah lembut. Dengan nada tegas dia menyahuti ucapan
Orion, “Perang konyol ini tidak perlu terjadi, wahai Manusia. Sudah kami katakan
bahwa kami bersedia hidup bersama-sama. Kami bersedia membagi buah dari Pohon
Kehidupan. Kami bersedia membagi Elysium, membagi surga. Mengapa kalian tidak
mau?“
Orion tertawa terbahak-bahak, lalu menyeringai sadis serta
dipenuhi hawa nafsu, “Berbagi katamu?
Yang benar saja! Kami harus menjadi penguasa mutlak surga ini,
tidak perlu dibagi-bagi! Makhluk seperti kalian tidak pantas hidup! Hanya kamilah,“
Orion memperlihatkan rajah dengan simbol-simbol kuno yang terlukis di lengan
kanannya, penuh kebanggaan; rajah yang menandakan dia adalah keturunan manusia
bukannya makhluk mistis, “Ras Manusia, yang pantas menghuni surga!“
Kernyitan pada dahi Varuna semakin dalam. Dia teringat Pohon
Kehidupan yang bersemayam di pusat Elysium. Pohon Kehidupan yang menyokong
surga ini dari dalam. Dia teringat padang yang mengelilingi Pohon Kehidupan,
bunga-bunga sewarna lembayung sedang bersemi dengan cantiknya. Gunung-gunung
dengan puncak salju putih menjulang di selatan pulau. Pantai dengan pasir putih
yang begitu lembut terserak di utara pulau. Perkampungan para Makhluk Mistis
berada di segala sisi Elysium, hidup saling berdampingan dengan damai. Hewan
berbagai jenis hidup dengan tenang di hutan, singa dengan domba, cerpelai
dengan ular, harimau dengan kelinci, tidak ada saling membunuh. Sebuah sungai
yang berpusat dari tengah hutan Elysium terbagi menjadi empat, masing-masing
mengaliri empat penjuru pulau, sisi utara, timur, selatan, dan barat.
Segalanya terproyeksikan dengan jelas dalam benak Varuna. Elysium
yang indah dan damai. Hatinya merana dan bertanya-tanya, mengapa perang ini
harus terjadi?
“Varuna!“ Ra mendongak, tidak jauh dari sana seorang laki-laki
berjuang untuk mendekat. Ra bisa mengetahui bahwa laki-laki itu sangat khawatir
dan ketakutan. Matanya yang sewarna langit senja kemerahan sudah bertutur
segalanya. “Varuna, jangan, hentikan, kembalilah ke Pohon Kehidupan, hanya kau
yang bisa menjaga¾ugh,”
lalai tidak berkonsentrasi, sebuah pedang sukses menembus perutnya. Varuna
seketika menjerit.
“Hyperion...“ lutut gadis itu goyah melihat sang Naga Api
Hyperion terluka, ia terjatuh. Air mata dengan deras mengalir, “Kumohon,
hentikan, jangan lukai saudara-saudaraku lebih dari ini!“
Kepuasan liar tergambar dengan jelas pada mata Orion. “Jadi?“
“Bunuh aku, bunuh saja aku, hentikan perang ini, jangan lukai
saudara-saudaraku lagi, jangan ada lagi manusia yang mati sia-sia! “
Adegan yang terjadi di depan matanya membuat Ra muak. Tempat
tanah kelahirannya sudah sangat sekarat. Banyak manusia yang keracunan. Mulanya
Ra tidak tahu apa sebabnya, dia menerima segala cerita yang dijejalkan padanya,
bahwa kehancuran dan kematian Ras Manusia disebabkan oleh para Makhluk Mistis,
oleh karena itu Ras Manusia harus merebut Elysium, tempat tinggal Makhluk
Mistis, sebagai ganjaran atas perbuatan jahat mereka. Namun setelah melihat
bagaimana cara kakaknya memperlakukan Varuna serta sesama bangsa penghuni
Elysium, Ra mulai tidak meyakini apa yang diceritakan padanya. Mungkin Varuna
memang benar. Mungkin memang manusia yang telah merusak tanah kelahiran mereka
sendiri dengan berusaha melakukan sihir-sihir terlarang, dan gagal total.
Akibat tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, akhirnya mereka
membuat cerita seolah-olah para Makhluk Mistislah yang berbuat keji.
Ra merasa gamang.
Orion melihat sekelilingnya. Perang masih berlangsung, tapi
sebagian pasukan yang berada di dekat-dekat sana terdiam akibat mendengar
pembicaraan mereka. Kemudian dilihatnya Ra berdiri tidak jauh dari sisinya,
“Wahai, Ra, adikku sang pemanah terbaik, kuberi kau kehormatan untuk membunuh
si Phoenix Air ini. Phoenix yang daging dan darahnya mampu memberikan
kesembuhan dan hidup abadi! Lakukan, adikku, demi saudara-saudara kita yang
sekarat di tanah kelahiran kita!“
Varuna menoleh ke arah Ra. Tatapannya seolah-olah mengatakan ‘lakukan saja.’
Ra menelan ludah. Bukan situasi begini yang ia harapkan.
“Ayo, pasukanku, beri semangat pada pahlawan kita, Ra
Ptolemaus!“ Orion meraung pada pasukannya sembari tertawa buas.
“Varuna!“ seekor serigala berbulu perak, sang Serigala Angin
Zev, dan rusa jantan berbulu cokelat kemerahan, sang Rusa Tanah Jord, muncul.
“Varuna, terbang ke sini, cepat!“
Ra tidak mengerti. Kenapa gadis itu justru menggeleng dan
tersenyum? Kenapa dia pasrah? Kenapa dia tidak melawan, tidak membunuh pasukan
manusia satu per satu? Dia Makhluk Mistis terkuat, penjaga Pohon Kehidupan,
penjaga Elysium, penjaga surga!
“Ra, jangan biarkan kami menunggu terlalu lama!“ Orion berkata
memperingatkan. “Lakukan segera!“
Pikiran Ra kosong.
Busur Ra terangkat. Panah saktinya, Silverataca, siap
dilepaskan.
Jord dan Zev, yang telah berubah ke wujud manusia namun masih
tetap melayang di langit, mengambil ancang-ancang akan membunuh Ra, tapi Varuna
berkata, “Jangan lakukan apa-apa. Rasi bintang di langit sudah mengatakan
ramalannya. Aku tidak mau itu terjadi, kalian mengerti kan?“
Pikiran Ra kosong.
Matanya menatap mata Varuna. Suara riuh hiruk-pikuk dari arena
perang lenyap ditelan kesunyian, seakan-akan sekeliling mereka membelesak
lenyap, dan hanya tersisa keheningan. Arus waktu membeku.
Lagi-lagi nuansa itu. Lembar-lembar lama dari suatu masa
pelan-pelan menyeruak. Ada sesuatu yang sedari awal mengusiknya mengenai
Varuna. Matanya, suaranya...
“Ra...“ bisik Varuna.
Ada suara-suara terdengar, Ra tidak tahu dari mana, tapi dia
mendengarnya. Suara-suara itu memanggilnyakah?
Siapa... siapa itu yang memanggilnya?
Ra...
Pemahaman mendadak muncul.
Itu suara jiwa. Suara jiwanya yang memanggilnya dan
membangunkan apa yang telah lama tertidur.
Itu suara paruhan jiwanya yang telah lama terpisah.
Segalanya menjadi jelas bagi Ra.
Mengapa Varuna tahu namanya. Mengapa Varuna berkata suatu saat
nanti mereka akan bersatu, meskipun di masa lalu dan kini tiada mungkin.
Ya, segalanya menjadi jelas bagi Ra.
“Varuna...“ ganti Ra
berbisik.
Anak panahnya dilepaskan.
Varuna tidak memejamkan matanya sama sekali, siap menerima
kematiannya. Jord, Zev, Hyperion, dan segenap Makhluk Mistis yang berada di
sekitar sana berteriak. Orion mengeluarkan tawa kemenangan sementara pasukannya
bersorak-sorai.
Panah itu menancap di dahi salah satu perwira tinggi Ras
Manusia yang berdiri di belakang Varuna.
Ra menurunkan busurnya, tersenyum pada Varuna.
Aku percaya padamu.
Sungguh?
Ya. Tidak akan kubiarkan siapapun mati
lagi.
Terima
kasih, Ra.
Varuna, aku sudah tahu...
Apa
yang kauketahui?
Bahwa sesungguhnya kita adalah¾
Mata Ra membelalak ketakutan saat melihat Orion berseru murka,
menarik pedangnya keluar dari sarungnya, membabi buta berlari ke arah Varuna,
berniat menghabisinya. Mulutnya merapalkan mantra-mantra, membuat Varuna yang
tidak siap untuk bertahan menjadi tidak bisa bergerak. Ra melolong.
Dia melempar badannya menjadi tameng antara Varuna dan kakaknya.
Tertusuk persis di jantung. Semua makhluk yang ada di sana
terdiam. Darah muncrat, membasahi Varuna yang dilindungi oleh Ra.
Keheningan sungguh merayap di sekeliling tempat itu.
Varuna memandangi
telapak tangannya yang basah oleh darah Ra. Gelombang demi gelombang emosi
berkecamuk dalam palung hatinya, merangkak naik, siap muncul di permukaan untuk
meledak.
Orion menarik pedangnya, matanya melebar dibanjiri keterkejutan
yang amat sangat.
Ra terbatuk, gumpalan darah keluar, “Varuna...“ mata hitam dan
mata biru bertemu, “maafkan...“ dia terjatuh menimpa si gadis.
Varuna menunduk, memandang pemuda yang ada dalam pelukannya.
“Ra?“
Dia sudah tahu. Dia sudah
tahu ini akan terjadi.
“Ra?“ katanya putus asa. Air mata bagaikan butir permata
berjatuhan. “Ra, jawab aku,“ tangannya mengeluarkan sinar biru penyembuh, berusaha
menyembuhkannnya. “Ra...“
Sia-sia, dia tahu ini
sia-sia. Karena itu dia yang mestinya mati. Mestinya dia yang mati, dia saja,
jangan orang lain. Sudah terlambat.
Namun Ra tak menjawab. Tidak lagi. Tidak akan.
Apa gunanya perang ini?
Mengapa manusia-manusia itu begitu rakus? Mengapa harus mengorbankan begitu
banyak nyawa? Mengapa mereka tidak bisa hidup berdampingan? Mengapa
saudara-saudaranya, Jord, Zev, dan Hyperion mesti terluka? Mengapa dunia ini
begitu rusak? Mengapa Ra harus mati? Mestinya dia saja. Cukup dia saja yang
menanggungnya!
Ra sudah pergi.
Dan Varuna pun menjerit.
Kekuatannya yang tersegel terlepas.
Kiamat dunia pun terjadi.
Semuanya sesuai penglihatannya, Varuna, sang Phoenix Air. Si
gadis jelmaan Phoenix penguasa air yang mampu melihat masa lalu dan masa depan.
Gadis dengan kekuatan luar biasa. Gadis yang berusaha mati-matian untuk
membelokkan kenyataan tapi tidak berdaya.
Dialah deus penghancur dunia.
-Erinda Moniaga-