L’Hiver – Le Soleil du Soir
“Excuse me, can you take a picture of
us, please?“
Aku
menoleh ke belakangku, kalimat pertanyaan ini sudah kali ketujuh diujarkan sejak
aku menongkrong di jembatan. Well,
bukan sembarang jembatan sesungguhnya, ini jembatan legendaris di Paris, tempat
di mana ribuan gembok cinta dikaitkan di dinding kawatnya: Pont des Arts. Yah,
jadinya apa boleh buat, berhubung ada kamera SLR tergantung di bahu kiriku dan
aku barusan selesai memotret pemandangan di seputaran jembatan, asumsi para
turis ini paling tidak aku cukup mengerti soal potret-memotret.
Sembari
tersenyum kecil dan menerima kamera pocket
yang disodorkan oleh pasangan Kaukasia tersebut, aku berkata, “Of course, with pleasure.“
Dan
seperti biasanya aku akan memberi aba-aba hitungan angka ketika aku sudah
berhasil mendapatkan posisi dan sudut yang menurutku tepat. Pasangan di
hadapanku tertawa gembira dan kutekan tombol shutter. Mereka mengecek hasil foto yang terpajang di layar.
“If you don’t like it, I can take another
picture,” kataku, mengawasi mereka yang mengamati hasil foto dengan serius.
Eskpresi
kegembiraan memancar, si perempuan menjawab, “No, no, this is perfectly fine. Thank you. Do you want us to take a
picture of you too?“
“Oh, no, thanks, I’m good,“ aku
menggeleng, nyengir.
Mereka
berterima kasih sekali lagi, kemudian berbalik pergi, masih dengan antusiasme
tinggi melihat hasil foto-foto di kamera mereka. Sungguh nampak berbahagia.
Kuhela
napas.
Bukan,
bukan hela napas galau.
Hanya
ingin menghela napas saja. Aku memperhatikan pasangan-pasangan yang
berlalu-lalang di jembatan ini; beberapa dengan rasa tak sabar yang begitu
kentara ingin segera memasang gembok, yang lain dengan wajah tekun dan serius
memperhatikan beragam jenis gembok yang bergantung (dan sungguhan beragam
jenis, dari yang kecil imut-imut berbentuk normal, sedang semacam gembok sepeda,
sampai yang berbentuk hati segede gaban),
empat atau lima pasangan sibuk memotret kekasih masing-masing atau ber-selfie bersama gembok yang baru
dikaitkan di dinding jembatan, yang lain dengan khusyuk memandangi sungai Seine
hingga batas horizon bersama pasangannya; lengan dan lengan berkait.
Cinta.
Komitmen.
Simbol.
Tadi
kutemukan sebuah gembok dengan puisi demikian tertera di atasnya:
I loved you
Yesterday
I love you still
I always have
I always will
Abadi.
Begitukah?
Angin
dingin berhembus. Aku mengencangkan lilitan syal di leherku, berjalan
meninggalkan Pont des Arts menuju arah Museum Louvre. Awan kelabu telah
mewarnai langit selama hampir seminggu berturut-turut dan suhu semakin menurun
tiap hari seiring ia berganti. Kupandangi arloji di pergelangan tangan kiriku. Jarum
pendek berhenti di antara angka lima dan enam dan langit sebentar lagi akan
berada dalam masa transisi menjadi biru gerau. Satu hal yang kusukai dari musim
ini, minus angin dingin yang menusuk-nusuk atau selimut salju yang biasanya
akan menumpuk di waktu tertentu, adalah cepatnya langit berubah menjadi gelap.
Aku harus bergegas.
Momen
dalam satu hari yang paling kusukai adalah saat ketika matahari terbenam dan
rembang petang. Istilah keren fotografinya adalah golden hour dan blue hour.
Ada kesan tersendiri yang diberikan matahari terbenam kepadaku, seolah-olah
menyihir dan mempesona dengan bias gradasi gelombang warna merah, jingga,
kuning, merah jambu, dan lembayung. Warna serupa api.
Api
yang membakar langit dengan kehangatan sekaligus menghanguskannya menjadi
malam, mengantarkan kita manusia untuk beristirahat. Tidak semua orang menyukai
makna matahari senja karena diasosiasikan dengan perpisahan, keputusasaan, atau
kepedihan, sementara bagiku...
Susah
memaparkannya, aku tidak mampu merangkai kalimat layaknya pujangga. Ada
perasaan yang hanya bisa dirasa.
Tanpa
bisa digambarkan. Diekspresikan. Atau dijelaskan.
Hanya mengalami.
Hangat,
seperti detakan lembut si jantung hati, menentramkan, bukti nyata bahwa... kita
hidup.
Ponsel
di saku berdering nyaring, aku sedikit terlonjak. Kucek arloji, masih ada lima
belas menit sebelum pukul enam sore. Ya ampun, batinku sembari merogoh kantong
dengan tangan yang lain, mempercepat ayunan langkah melewati Pyramide du Louvre
yang tersohor, menuruni tangga metro Palais Royal Musée du Louvre. Mulanya aku ingin jalan kaki saja sampai Invalides, tapi
menyadari bahwa jarak tempuh yang agak jauh dan waktu yang sedikit mendesak,
aku memilih menaiki metro saja. Walaupun harus ganti kereta segala di Concorde,
tapi ya tidak apalah. Setidaknya lebih cepat sedikit daripada berjalan kaki.
“Oui, oui, aku lagi otw ke sana...“
Suara di seberang sana tergelak, “Hei, aku baru mau
pindah ke metro delapan. Kurang lebihnya jam enam sudah di sortie ya.“
Dasar cewek ini.
“See you there then. À tout.“
“Bye.“
Kupandangi
layar ponsel. Menengadah, kupandangi jam penunjuk metro berikutnya tiba. Satu
menit.
Menghela
napas.
Metro
datang. Aku mendesak masuk bersama puluhan manusia lainnya, terjepit di
tengah-tengah saking penuhnya (bahkan ketika sedang tidak high-season saja Paris sudah ramai, bagaimana ketika musim panas?).
Menghela napas lagi.
Kali ini mungkin bisa dikatakan menghela napas galau.
Tidak aku sadari sejak kapan gadis berisik ini mulai
menggangguku. Mengganggu dalam artian positif. Disela-sela kuliah, disela-sela
tawa dan canda, disela-sela gunungan paper
yang harus dikerjakan, disela-sela kemacetan dan gencetan metro, disela-sela
keheningan malam. Kegelisahan yang berusaha kutepis dan kuabaikan, namun
seiring waktu berganti keberadaannya semakin nyata. Semakin mendominasi,
menggeser kedudukan virus-virus serta mikrobakteri yang selama ini menjadi
prioritas.
Dia
ini tipe gadis yang berisik dan berisiknya itu bagiku harus dipertegas dengan
huruf kapital, di-bold, dan di-italic. Kalau sudah berbicara rasanya
tidak bisa direm sama sekali dan volume suaranya sepertinya memang sudah
disetel dititik jarum tertinggi alias paling keras. Sering sekali menyerocos
menyebutkan sederet nama tokoh fisika atau rumus fisika¾kadang-kadang tidak bisa membedakan yang mana¾beserta penelitiannya tentang gempa bumi dan
tsunami. Suka mengomentari sesuatu out of
the blue dari sisi sains, yang kemudian tiba-tiba (lagi) menguap dan
digantikan dengan gosip terbaru yang terjadi di kampusnya. Sejauh ini, hal yang
sanggup membuatnya terdiam (yang kutahu) adalah ketika dia mengerjakan
hitung-hitungan dan segala perkodean tugas thesisnya atau saat memegang kamera. Aku tahu semua ini karena belakangan ini
kami beberapa kali pergi hunting foto
bersama. Well, beberapa kali mungkin
bukan pilihan kata yang tepat. Sejak itu aku sering tidak sengaja¾
“Pardon, Monsieur,“ seseorang menabrakku dari
belakang. Monolog di kepalaku terputus. Sudah sampai di Invalides rupanya.
Sadar aku juga salah karena sedikit melamun, dengan cekatan aku turun dari
kereta, kepala celingak-celinguk mencari pintu keluar.
Aku telah tiba di sortie
metro lebih cepat dari yang seharusnya dan ternyata gadis itu sudah datang,
sibuk mengeluarkan kamera SLR dari dalam tasnya. Nampak tidak waspada, mengkhawatirkan
seperti biasanya, mengingat kondisi kota Paris yang penuh pencopet.
Aku melangkah tidak tergesa, mengamati gesturnya.
Ingatkan aku kapan terakhir kali bertemu. Lima hari lalu?
Seminggu?
Beres dengan urusan kamera, kini gadis itu meraih
ponselnya, meluncurkan jari-jarinya di layar.
Ponselku
ribut lagi.
“Halo,
di mana?“ tanyanya, berbicara dengan raut tak sabaran pada mic headset.
Aku
nyengir sendiri, “Coba angkat wajahmu.“
Dan kemudian
aku mendapati wajah bingungnya terangkat¾yang
sedetik setelahnya berubah sumringah.
“Saluuut, ça va?“
Lazimnya
rasa rindu itu muncul jika kedua belah pihak berada dalam keadaan terpisah, baik
dekat maupun jauh kan? Suatu ketika aku
membaca sebuah kutipan dari novel di internet. Dikatakan di sana bahwa kita
tidak akan tahu apa yang benar-benar kita rindukan sampai sesuatu itu muncul di
hadapan kita.
Barangkali... itu benar.
Selama ini aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang
kucari. Segalanya
baik-baik saja. Eksperimen di laboratorium bagaikan kamar sendiri. Menekuni buku setebal tiga tumpuk batu bata juga biasa. Normal.
Ada yang kurang? Tidak. Tapi kini melihatnya di hadapanku tertawa, menenteng
ransel, rambut acak-acakan, terwujud nyata, seketika itulah aku memahami bahwa
aku merindukannya.
Teramat
sangat.
Benar
bahwa walaupun hanya sepintas... kautahu kan, ada hasrat untuk dapat berjumpa.
Peduli amat dengan tugas-tugas. Peduli amat dengan kondisi berjejal-jejal yang
harus ditempuh. Peduli amat dengan rasa lelah yang mendera.
Hanya...
ingin...
bertemu...
Sesederhana...
...itu
“Alva?“
Aku
mengerjap, terisap balik ke dunia nyata. Ritual cipika-cipiki pertemuan ala
Prancis wajib dilakukan, “Ça va, ça va,“ berharap raut wajahku tidak berubah dan tidak
membeberkan perasaanku. “Udah lama?“
“Enggak,
barusan aja nyampe. Langsung aja yuk, udah mau sunset nih,“ katanya tidak sabar, berjalan menuju arah jembatan.
“Bagusan
blue hour di Pont des Arts lho, El,“
aku berjalan menjajarinya.
“Yaelah, Al, kamu gak liat sih foto yang
di buku, keren tauk. Kamu harus ganti suasana jembatan sekali-sekali, masa di
Pont des Arts melulu? Gak ada nama ama kunci buat digembokin juga,“
ujarnya setengah berkelakar. “Lagian nongkrongnya kenapa di jembatan terus
sih?”
Aku
hanya mencibir. Satu kebiasaan orang Prancis yang berhasil ditularkan padaku. Untuk
informasi, aku tidak menyukai kebiasaan ini karena terlihat sangat ignorant, angkuh, dan meremehkan. Tidak
tahu mengapa malah ketularan. Parah, it
is contagious.
“Wah,
langitnya bersih!“ dia nyaris bersorak kegirangan, langkahnya setengah
melompat-lompat, “Cepetan, Al, barengan sini! Sunset-nya keburu hilang ntar!“
Ngomongnya sih begitu, tapi El sudah
berlari duluan menyeberang jalan. Kubiarkan sajalah, toh masih dalam jarak
pandang.
Jadi ini Pont Alexandre III? Ada patung-patung
malaikat dan pegasus yang bertengger di masing-masing puncak tiang berpahat. Setelah berbulan-bulan hidup di kota romantis ini, aku
baru mengetahui ada jembatan yang begini indah. Ada banyak patung di sana,
bahkan di bawah tiang-tiang lampu jembatan itupun diukir. Di tepi jembatan juga
terukir pahatan patung sepertinya, mungkin peri; aku tidak yakin, tidak bisa
langsung mengidentifikasi bentuknya. Menoleh ke kiri, si Madame Eiffel berdiri
serupa siluet, mentari senja melatarinya. Wow.
Otomatis tanganku mengangkat kamera, menyesuaikan
diafragma, shutter speed, zoom, dan ISO, membidik dari celah lensa
ke satu titik.
Bukan, bukan memotret mentari senja dan menara simbol
cinta. Maksudku belum sekarang. Yang tadi kupotret adalah El. Foto-foto
punggungnya yang sedang berjalan. Sembari memeriksa hasil foto di layar kamera,
aku berjalan menyusulnya. Ah, warna yang bagus, pikirku saat melihat fotonya.
Jembatan tertimpa sinar jingga kekuningan, warna yang begitu hangat. Dari
sekian jepretan, di satu foto El berada di sisi pojok kanan, kebetulan lehernya
sedang menoleh ke kiri. Foto semi siluet yang bagus.
“Al, ke sini, dari sisi sini bagus deh,” El memanggilku,
matanya sudah menempel di kamera, bunyi jepretan kamera terdengar keras.
“Iya, iya, “ sahutku, tidak mampu menahan senyum.
Angin berhembus melewati jembatan dengan kecepatan yang
cukup untuk menerbangkan rambut pendekku, ditambah pula hawa dingin. Angka
untuk suhu malam nanti pasti akan berkisar di antara empat sampai enam derajat.
Meskipun aku sudah memakai jaket tebal, tetap saja rasa dingin ini menggigit. Je déteste l’hiver mais, ironiquement, que
cette saison je peux voir le coucher du soleil à l’heure normale. Normal
maksudku adalah senormalnya waktu matahari terbenam di bumi nusantara, sekitar
pukul lima sampai enam sore. Di musim dingin yang kubenci ini aku bisa
mendapatkan mentari jingga yang hangat di waktu yang tepat. Ironis kan?
“Kok kamu gak motret sih? Kan kamu suka banget sama sunset,“ tanyanya, setengah memprotes
ketika akhirnya aku tiba di sisinya.
“Ya belum aja, kalik,
“ santai kujawab, mengangkat bahu, “Kamu ajalah dulu. “
Wajahnya berkerut. Tak puas mendengar jawabanku
sepertinya. “Yaudah.”
Aku senang memandanginya berkonsentrasi penuh saat
memotret. Lucu jika kuingat-ingat lagi, awalnya aku yang mengajarinya
sedikit-sedikit soal kamera dan menemaninya membeli SLR. Tapi
dengan kegemarannya berkelana sendirian mengelilingi kota Paris, kemampuannya
menggunakan kamera meningkat. Justru
belakangan dia yang suka mengomentari foto-foto hasil potretanku.
Melihatnya berkonsentrasi penuh seperti ini... aku merasa
mampu berdiri di sini berjam-jam hanya memandanginya. Mau golden hour kek, blue hour kek, peduli amat...
Cukup
hanya seperti ini. Tidak usah lebih. Karena siapalah aku bisa berharap lebih.
Dan situasi yang ada pun tidak memungkinkan. Kondisiku, kondisinya...
Biar
saja seperti ini. Cukup bagiku.
Goblok
kan?
"Tuh
kan bener," gerutu El, tiba-tiba masuk di titik fokus
mataku.
“Apanya
yang bener?! “ sahutku gelagapan. Kaget tauk!
“Kamu jadi pendiem! Gak biasanya kamu diem! Eh tapi kamu
emang pendiem sih... Tapi tetep aja kamu aneh!“
“Aneh apanya?!“
Dahinya mengernyit.
“Kamu lagi ada masalah kan, Alva? Coba cerita deh.“
Mulai sok tahu seperti biasa. Eh
tapi memang ada benarnya juga ding. Kenapa anak ini bisa tahu?! Memangnya aku sejelas itu ya?
Aku diam.
Dia menunggu.
Aku meragu.
Dia masih menunggu.
God! Jangan menatap aku
terus-terusan seperti itu!
Gak, gak, gak. Gak mungkin aku bilang. Gak
mungkin. Gak bakal ada ujungnya. Lebih baik jangan memulai hal yang kita tahu
tidak ada akhirnya kan?
Sadarlah
akan posisimu, Alva!
“Aku
kedinginan.”
Dia
menatapku dengan tatapan ‘please-gak-ada-bohong-yang-lebih-meyakinkan-apa?’
“Alva, s’il te
plait.“
Oke, aku menghela napas lagi.
“Kamu gak bakal ngerti, Elia,“ gumamku letih.
“Kamu
belum cerita udah gaya ngomong gitu. Makanya coba cerita dulu. “
Kenapa
aku lemah sekali?!
“Bukan
masalah penting, Elia. Gimana kalo kamu motret lagi? Itu mataharinya beneran
udah mau ngilang lho,“ aku mencoba mengalihkan perhatiannya, menunjuk ke
belakang jembatan. Bisa dikatakan hanya seperdelapan bagian dari bulatan utuh
matahari yang nampak di horizon.
Namun
gadis ini malah menyunggingkan senyum tipisnya, berujar dengan lembut, “Alva,
matahari terbenam ada setiap hari. Aku ngerti kamu gak mau merepotkan teman,
tapi ada kalanya masalah-masalah yang mengendap di hati itu kamu ceritakan.
Daripada sakit hati sendiri, lebih baik dibicarakan kan?“ kali ini dia nyengir.
Cengiran lebar khasnya. “Bisa sedikit berguna membantu teman saat ini terdengar
lebih oke daripada memotret mentari senja yang bisa kulakukan setiap hari. “
....................
Aurelia
yang hangat laksana mentari terbenam. Aku menyukai mentari senja karena itu
mengingatkanku padamu.
Segalanya
tentangmu.
Hangat
dan lembut...
Seperti
detakan jantung mungil yang menghidupkan.
Membuatku
merasa... hidup.
Aku
menelan ludah. Berkali-kali. Satu tanganku naik ke kepala, menggaruknya
meskipun secara sadar aku tahu kepalaku tidak gatal sama sekali.
“Seandainya...
“ aku memulai.
“Alva,
suaramu kecil sekali, aku gak denger, “ potongnya gemas.
Astaga.
Aku berdeham-deham keras, sampai tenggorokanku lecet
mungkin.
Lalu aku diam.
Gak mungkin. C’est
impossible. C’est pas possible.
Lebih
baik diam saja, tidak usah katakan apa-apa.
Karena
akan lebih baik demikian. Tidak akan ada yang terluka.
Dan
aku baru sadar udara semakin dingin seiring dengan lenyapnya matahari di ufuk
barat. Kami masih berdiri di jembatan yang kini lampu-lampunya mulai menyala. Momen paling tepat untuk memotret blue hour.
“Elia,
gimana kalo kita pulang aja? Langit udah gelap nih,” kataku seraya
menggosok-gosokkan telapak tangan yang kedinginan, melepaskan kalungan kamera
di leherku. “Aku lapar, ini sudah waktunya diner.
Makan yuk?“ kukemas kembali kamera ke dalam tas. Kata ‘makan’ biasanya memiliki
efek tersendiri bagi gadis ini. Apa saja
asalkan topik pembicaraan ini teralihkan!
Dia
tak menyahut, hanya beberapa detik terdiam. Aku tak bisa membaca ekspresinya.
Tanpa berkomentar apa-apa, Elia turut memasukkan kameranya ke dalam ransel. Boleh
kuhela napas lega?
Sepanjang
langkah kami menyeberangi sisa Pont Alexandre III, dia diam saja. Aku pun tidak
memancing pembicaraan apapun. Seingatku, ini pertama kalinya kami berjalan
dengan keheningan ganjil seperti ini.
Aneh.
Menyesakkan.
Kami
mencapai ujung jembatan. Ada yang menarik lengan jaketku.
“Kalau
kamu gak mau cerita, aku yang curhat duluan boleh?” Elia bertanya tanpa memandangku. Matanya menatap
lurus-lurus ke depan.
Aku
cuma salah lihat atau memang dia nampak ketakutan?
“Kenapa,
El?” aku langsung berhenti melangkah, badanku berputar menghadapnya.
“Misalkan
kamu terjebak di antara pilihan gak enak nih,” dia mulai nyerocos, tapi entah
kenapa wajahnya malah ditundukkan. Lengan jaketku belum dilepasnya,
ngomong-ngomong, “Ini pertama kalinya... sungguh-sungguh pertama kalinya kamu
mendapat kesempatan untuk melakukan apa yang kamu sukai. Memilih untuk melakukan
satu hal yang kamu sukai. Yang sungguh-sungguh kausukai, dari hatimu. Anggaplah...
yang sebelumnya tidak disukai, tidak diizinkan orangtuamu. Apa kamu... apa yang
akan kamu lakukan?“
“Ada apa sih, Elia? Ini tentang apa?“
Tak menghiraukan pertanyaanku, dia malah menyahut begini,
“Dis-moi, Alva, que tu ferais?”
Aku
harus jawab apa kalau mendapat pertanyaan begini?
“Peut-être...“ otomatis
aku membayangkan kondisiku.
[Yang kusukai...]
Dan
kondisinya.
[Sesungguhnya...]
Jika
memang...
[Hangat serupa senja...]
Seandainya
boleh...
[Serupa api yang
menghidupkan...]
“Peut-être je ferais ce que je veux.“
Wajahnya
belum juga terangkat. Jangan bilang
kalau dia menangis, tolong.
Pembicaraan ini tiba-tiba membuatku gelisah. Degupan jantungku mulai tidak
teratur.
“Elia?“ aku menjaga nada suaraku supaya terdengar sewajar
biasanya, “Tout est bien?“
Aku mendengarnya menarik dan menghela napasnya kuat-kuat.
Dia menengadahkan wajahnya. Ekspresi ketakutan yang tadi nampak sudah lenyap. “Aku
mau coba satu teknik foto, mumpung sudah gelap. Mau bantuin?“
Dan seperti semua laki-laki, teka-teki yang selalu
membuatku bingung mengenai perempuan, mengapa perubahan emosi mereka begitu
cepat dan sulit ditebak?
“Boleh,
mau foto apa?“
Lengan
jaketku dilepasnya. Lalu dia nyengir.
Shit.
Aku
pernah membaca kutipan begini di internet, tidak ingat persisnya siapa yang menulsnya:
They told me that to make her fall in love, I had to make her laugh.
But every time she laughs, I'm the one who falls in love.
Aku mengerti maksudnya apa sekarang.
Merde.
Elia menunjuk ke taman di pinggiran jalan yang hanya
berjarak sepuluh langkah dari tempat kami berdiri, “Ke sana yuk, di sana kayaknya
lebih gampang motretnya.“
Aku menurut saja, mengekorinya berjalan ke arah taman.
Dia kemudian mengeluarkan kameranya sendiri, sibuk memencet tombol-tombolnya.
Sesekali mengintip ke celah lensa, menjepretnya, melihat hasilnya. Lalu
memencet-memencet lagi, mengatur lensa dan fokusnya, sampai kemudian dia sudah
mendapat pengaturan yang pas lalu menyodorkan kameranya padaku.
“The thing you said earlier,”
bisiknya, “Even though the whole world
says it is wrong, would you still do it?”
Lagi-lagi pertanyaan ini. Logikaku mulai
berisik, memperingatiku.
“Would you?”
tanyaku balik, mengambil kameranya. Tidak mau mengaku.
Aku
melihat binar di matanya. Sekilas kutangkap keraguan, tapi seketika hilang. “Jadi nanti pas aku bilang ‘oke’, kamu pencet shutter-nya ya, Al, tapi jangan dilepas.
Pokoknya sampai aku bilang ‘sudah selesai’, baru kamu lepas nanti tombolnya.
Oke?“
Dan pertanyaanku tidak dijawab, bagus sekali.
“Oke,
oke.“
“Tanganmu
harus steady lho, jangan gerak-gerak,
nanti fotonya gak jadi.“
“Iyaaaa.“
Dia menjauhiku, mengambil jarak tertentu. “Oke,
ready?“
“Ya,
ya, ya,“ kataku, mengintip ke celah. Fokus oke. Anak ini mau apa sih? Kalau di bahasa SMS, mungkin emoticon ini yang akan mewakili
ekspresiku sekarang: -_-
“Oke,
aku mulai!“ dia berteriak.
Kutekan
tombol.
Lensa menutup, mulai bekerja.
Aku menunggu.
Entah
apa yang anak itu lakukan.
Rasanya
emosiku agak sedikit dipermainkan hari ini.
Kenapa
sih dia?
Apa
maunya bertanya begitu?
Aku tahu sedikit sih, mengenai keluarganya. Memang
sedikit keras.
Tapi
ngomong-ngomong, aku berusaha diam sekaku patung sesuai permintaannya, tapi
detik-detik berlalu... aku tidak tahu, begitu cepat atau begitu lama.
“Sudah
belum, El?”
Dia
tak mengatakan apa-apa.
“El?”
Sunyi.
“El,
sudah?“ bukannya aku tidak sabaran, hanya saja¾
“Sudah
selesai.”
Kulepaskan
tombol yang sedari tadi kutahan.
“Lama
amat,“ komentarku, menunduk untuk melihat hasilnya, “Kamu bikin apa sih¾“
...............
..............
..............
“The question you asked earlier: would
I?“
samar-samar kudengar suara Elia sementara aku masih membeku memandangi layar
kamera, “Yes, I will. Even though the
whole world says it is wrong... I will do it. Because I no longer can lie to
myself.“
Aku
berusaha menemukan suaraku, sementara suara-suara berisik di otakku berebutan.
Logika. Perasaan. Logika. Perasaan. Logika. Perasaan. Logika.
“Ini...“
itu aku yang berbicara, “ini maksudmu gimana?“
“Ya
itu, kan ada di layar itu, gimana sih,“ katanya, terdengar tidak sabar.
Aku
mengangkat wajahku.
“Kamu
bikin aku kerepotan tauk.“
Itu Elia
yang berbicara.
Sambil
menelengkan kepalanya ke samping, tapi melirik-lirik juga ke arahku.
Shit.
“Aku cuma mau bilang aja kok,“ dia menambahkan. “Consider this my selfishness, sorry, my
bad, but I just want you to know,“ kata Elia, cepat sekali, “whatever hell about that difference, I just
want to say it, to be honest to myself. You don’t have to answer if you don’t
feel like you want to. It’s okay, I understand. But, please after this, we still
could be friends, right?“
Kalau
sudah begini aku mesti gimanaaaaaaa?
Kondisiku...
Kondisinya...
Aku menghela napas. Kira-kirakan saja sendiri ini hela
napas macam apa.
“Kamu tahu gak, yang ngomong begini mestinya yang cowok,“
kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku.
“Terus
maksudmu, kamu mau ngomong gitu?”
Dia
nyengir.
Cewek
ini...
Cewek
berisik maniak fisika. Yang mengganggu konsentrasiku
belajar. Yang membuatku rela menemani selama ada waktu ke manapun dia minta. Yang
membingungkan dan tak selalu bisa ditebak. Yang membuatku merasa bego dan tidak
berdaya.
[Seandainya boleh...]
“This would hurting you, do you realize
it?”
“Remain silent or tell you
straightforwardly, knowing the probabilities of the ending, either way I know,
it would be hurt,“ dia mengangkat bahu. “My choice.”
Kutatap
Elia. Di seberang sana lampu menara Eiffel sudah berkelap-kelip.
Lampu jembatan terefleksikan di atas air. Satu bateau mouche melintas.
Baru kusadari jantungku berdentum-dentum.
[Hangat, menghidupkan...]
Aku
melihat tangannya gemetar.
Dunia
ini... kadang-kadang tidak adil. Kenapa satu hal bisa begitu mempengaruhi jadi
atau tidaknya sebuah kisah?
Aku melangkah
menghampirinya.
[Tentangmu, segalanya tentangmu...]
Logika.
Perasaan. Logika. Perasaan. Logika. Perasaan.
Perasaan.
[Jikalau boleh...]
Perasaan.
[Sejujurnya...]
Perasaan.
Ada
perasaan yang hanya bisa dirasa.
Tanpa
bisa digambarkan. Diekspresikan. Atau dijelaskan.
Hanya
mengalami.
Sesederhana
itu.
“I’m
crazy about you.“
Aku
tidak tahu kata tepat mana yang bisa membantuku menjabarkannya.
Hanya
hal itu yang bisa kuucapkan.
Dia
tersenyum. Begitu cerah.
Shit, would you please stop making me
falling in love with you?!?
***
Ó Erinda Moniaga
January 5, 2015
4.50 AM