Le Printemps – Nightfall
-Paris, hari pertama
musim semi-
Semoga semuanya akan baik-baik saja,
Papa J. In Your Name, I Pray. Amen.
Ze membuka genggaman jari-jarinya yang
bertaut dan matanya bersamaan dengan ucapan kata ‘amin’ dalam hati, tak disadarinya
ia menarik napas. Selalu begitu sehabis berdoa. Seraya melipat kertas tata
ibadah dan menaruhnya di laci bangku panjang gereja, Ze memperhatikan umat
lainnya. Beberapa masih berdiri di tempat, saling bersalaman satu dengan yang
lain, sementara sebagian besar sedang berjalan menuju pintu keluar, walaupun
tak sedikit pula yang masih mengobrol di koridor gereja. Berbagai bahasa terdengar
berseliweran selain bahasa Inggris dan bahasa Prancis. Dia yakin itu bahasa
Jerman... ada Mandarin... dan Indonesia?! Hmm...
Ze menelengkan lehernya ke samping kiri,
Elia masih khusyuk berdoa. Ia melihat pangkal hidungnya berkerut dalam. Tidak
biasanya Elia berdoa selama ini. Ze kembali duduk, menunggunya sembari
menikmati not-not piano yang dimainkan oleh pemain musik gereja. Lagu yang
dimainkan tidak biasanya juga melodi sedih seperti ini, karena umumnya
lagu-lagu pengantar umat pulang pasti lagu-lagu dengan irama ceria yang
menggugah.
“Help
my unbelief... Savior, Savior, hear my humble cry... While on others Thou art
calling, do not pass me by...“ tanpa
sadar Ze turut bersenandung kecil.
Lalu ia mendengar suara seperti isakan.
Lirih,
tersamarkan suara gabungan piano dan organ gereja.
Ze menoleh lagi ke Elia dan melihat
bahunya gemetar.
Oh,
why, God, no.
“Elia?“ Ze bergeser mendekat seraya
berbisik. “Ya? Elia?“
Elia tak merespon sama sekali, setengah
wajahnya sudah tertutupi bingkai rambut pendeknya. Bisa dilihatnya butiran air
mata.
Words
won’t do anything.
Ze secara instingtif melingkarkan
lengannya di pundak Elia, menariknya mendekat, membiarkannya menangis. Yang
kemudian semakin parah.
Elia tidak terisak-isak hingga cegukan, tidak
pula tersedu-sedu, tapi Ze dapat merasakan bahunya gemetar semakin keras.
Tangisan tanpa suara yang menyengsarakan. Seperti memendam kesedihan dalam
hati, menguburnya dalam-dalam, yang kian lama kian menggunung; sampai di satu
titik segala pertahanan dan benteng yang diciptakan untuk menahan segala
kepenatan itu runtuh dan mendesak keluar, menampakkan luka kekosongan menganga yang
tersisa di dalamnya.
Air mata Ze menitik.
Dengan tangan kanannya yang bebas ia
menggapai-gapai tas tangan cokelatnya, berusaha memukan tisu pocket yang kemudian dalam diam ia sodorkan
pada Elia.
Ze tidak ingat berapa lama Elia menangis
di bahunya, tidak pula ditanyakan mengapa Elia menangis. Dia membiarkan
sahabatnya menangis sampai ia merasa tuntas.
Yang diyakini Ze tidak mungkin bisa tuntas
pada hari itu.
Ze mengangkat wajahnya, menatap lurus ke
depan, memandang salib.
Semua
akan baik-baik saja kan, Papa?
Ia berkata dengan nada yang diharapkannya
terdengar lembut, “Nangis aja, keluarin semuanya.“
You
are not alone.
Mendengar
orang menangis itu tidak mudah. Namun ternyata lebih tidak mudah lagi
membiarkannya menangis sendirian. Sekeras kepala apapun seseorang berkata ia
lebih baik seorang diri saat menangis, dalam hati kecilnya ia tahu, ia tidak
mampu menghadapinya sendirian.
***
-Paris,
puluhan hari kemudian-
Jingga.
Aku tidak tahu apa nama warna jingga
persisnya. Warna jingga kemerahan juga keunguan itu muncul ketika matahari
terbenam, sebelum langit berubah menjadi biru gerau. Golden hour. Warna mentari senja. Warna yang hangat.
Warna kesukaan Alva.
“Qu’est-ce
que tu vois?”
Aku mengangkat bahu, menjawab sekenanya, “Rien.”
Aku tahu Ze akan diam. Dia selalu begitu,
bukan tipe yang suka mendesak orang. Bukan pula tipe yang suka bertanya terlalu
banyak; tipe yang menunggu orang lain untuk bercerita lebih dulu, dan baru akan
banyak mengoceh jika kita sendiri yang meminta saran atau komentarnya.
“Baru jam setengah delapan. Habis ini mau
kemana lagi?” tuh kan, dia tidak melanjutkan topik pembicaraan tadi lagi.
Aku mengedarkan pandanganku. Kami baru saja selesai makan di Léon de
Bruxelles di Avenue des Champs-Elysées, sedikit kekenyangan akibat kebanyakan
makan moule dan frites, dan Ze kelihatan seperti orang sakit. “Ça va toi?”
“Je sais pas, kayaknya aku gak cocok deh
makan moule, kepalaku udah mulai
pusing. Sama
modelnya kalo aku kebanyakan makan sosis babi yang kelebihan pengawet, pasti
langsung begini.”
“Pulang gih, mungkin bagusan kamu tidur. Aku antar sampai George V,”
gumamku.
“Terus kamu?” tanyanya balik.
Aku mengangkat bahu. “Masih mau jalan-jalan sebentar, liat-liat di Naf
Naf.”
“Ya
udah, tak temenin deh,” kata Ze.
Aku sedikit mengernyitkan alis. Memangnya
aku semengkhawatirkan itu ya?
“Gak usah, Ze, tampangmu udah pucat gitu. Mending
kamu pulang duluan; nih, bawa kunci,” aku merogoh ke saku kanan jinsku,
menyerahkan kunci kamarku padanya. “Yang penting jangan ketiduran aja ntar.“
Mulanya dia nampak tidak mau mengambilnya,
tapi kemudian aku melihat ekspresi wajahnya berubah. “Iya deh,” dia menerima
uluran kunciku.
“Nah, yuk,“ aku melangkah ke kiri,
berjalan menuju stasiun metro George V, Ze menjejeriku di samping kanan.
Avenue des Champs – Élysées yang terkenal. Guru di tempat les bahasa
Prancisku dulu beberapa kali pernah memutarkan lagu tentang jalan ini
disela-sela pelajaran kelas, sembari berulang kali menceritakan betapa indahnya
avenue ini. Well, ya, memang.
Avenue ini memang
sangat iconic, tak dapat dihitung
berapa kali kemunculannya beserta L’Arc de Triomphe di berbagai kartu pos,
video promosi, dan buku-buku pariwisata mengenai Paris. Gerbang Kemenangan yang
didedikasikan untuk para pejuang yang tewas di masa Revolusi Prancis dan Perang
Napoleon, berdiri di ujung barat jalan, di Place Charles de Gaulle; mobil
berlalu-lalang mengitarinya, sementara langit kebiruan dengan sisa-sisa guratan
merah jambu pucat menjadi latar belakangnya.
Avenue
ini mungkin takkan pernah sepi. Mau
pagi, siang, sore, atau tengah malam, sama saja. Barisan pertokoan mewah,
hotel, restoran, bar, bioskop berderet-deret dari ujung, stasiun metro Charles
de Gaulle – Étoile sampai Franklin D. Roosevelt; apapun yang kaucari (sebagian
besar) akan kautemukan di sini. Baik penduduk lokal maupun turis, semuanya
tumpah ruah memenuhi pedestrian yang
lebar : mengunjungi toko-toko dan berbelanja, duduk-duduk di pinggir jalan sambil menyesap
kopi, mengobrol sampai mampus, atau hanya sekadar berjalan-jalan saja menikmati
pemandangan dan keramaian. Mulai dari Louis Vuitton sampai H&M, Ladurée
hingga Quick, Sephora maupun Monoprix, bank HSBC juga apotek, bioskop Gaumont, Lido
de Paris, butik resmi klub sepak bola Paris Saint – Germain, bahkan showroom Renault pun ada.
[Aux Champs - Elysees, aux Champs - Elysees~
Au soleil, sous la pluie, a midi ou a minuit~
Il y a tout ce que vous voulez aux Champs - Elysees~]
Begitu
bunyi syair lagunya, bagian refrain yang paling diingat. Benar kan?
“Nanti di metro 6 aku ganti di mana ya, buat ke 12?“
Lamunanku
terputus. Tahu-tahu kami sudah berdiri di depan tangga metro George V.
“Hah? Kamu mau ke Charles de Gaulle – Étoile? Ngapain? Gak
usahlah, naik 1 aja, turun di Concorde, abis itu langsung ganti ke 12,“
jawabku. “Nanti di 12 kamu tinggal duduk manis sampai Porte de Versailles, udah
deh. Kalo naik 6 pakai ganti kereta segala di Pasteur, habis-habisin waktu
aja.”
“Oh, iya juga,
aku lupa di Concorde ada ganti ke 12,” kata Ze sembari menepuk belakang
kepalanya, tersadar. “Yowis, siplah,
aku tinggal ganti kereta di Concorde. À
plus, Ya.”
“Beres,”
jawabku.
Tapi
Ze belum juga beranjak pergi.
“Jangan kemaleman lho kamu pulangnya, kamu
belom packing.”
“Zefanya,” ujarku, sedikit senewen, “kita
berangkat besok malem. Santailah sedikit. Tinggal cemplung-cemplungin barang ke backpack
aja kok, gampang.”
Namun melihat ekspresinya, aku tahu Ze
tidak memusingkan masalah remeh macam mengepak barang. Dia mengkhawatirkan
lebih dari itu. Tsk. Aku mengerti, aku paham, tapi aku sedang tidak bisa
bersikap manis.
Maksudku, untuk saat ini saja, biarkan aku
bersikap menyebalkan.
“Kalo udah depan pintu nanti telepon ya,”
kusangka Ze akan marah, namun nyatanya tidak. Ia tersenyum kecil, melambaikan
tangan, lalu tanpa berbasa-basi lagi berputar, menuruni tangga, hilang ditelan
kerumunan manusia.
Aku menepi ke pinggir sejenak,
merogoh-rogoh ke dalam tas selempang kulitku yang berwarna cokelat,
mencari-cari headset. Sejak kuliah di
Paris, benda ini menjadi teman seperjalanan yang sangat berguna, mengisi
keheningan waktu-waktu yang dilalui di bawah tanah, di dalam metro bersama
kumpulan manusia lain yang tampangnya cenderung kusut dan cemberut.
“Do
you speak English?”
Demi Allah Bapa di Surga di mana kutaruh headset-ku...
“Excuse me, do you speak English?”
Aha, ini dia...
“Excuse
me?”
“What?!”
kataku jengkel, otomatis menyahut dalam bahasa Inggris karena mendengar lawan
bicaraku berbahasa Inggris, seraya mengangkat wajah.
“Ah,
you speak English? Very good. Do you have time?“ ada gadis asing berambut
cokelat gelap, beralis tebal dengan tulang pipi tinggi, yang tak bisa kutebak
dari negara mana asalnya¾yang
pasti dia bukan orang Prancis, terlihat senang mendengar jawaban ‘what’-ku tadi. “Look, here, we are from a foundation...” kuperhatikan benda-benda
yang dibawanya tanpa benar-benar mendengar ocehannya. Dia membawa sebuah pulpen
dan papan dengan sebuah kertas terjepit di sana, ditilik dari tulisan-tulisan
tangan kabur yang tertera di situ, mengindikasikan orang-orang menyumbangkan
sekian euro untuk sebuah yayasan beserta tanda tangan mereka.
Please,
ini kan tukang tipu yang tersohor itu. Sasaran mereka para turis, karena itu
mereka selalu menyapa dalam bahasa Inggris. Mengaku-ngaku mereka dari yayasan
yang bergerak untuk orang cacat lalu meminta orang yang disapanya untuk
menyumbang sekian euro. Awalnya biasanya yang diminta hanya tanda tangan, lalu
ketika si korban sudah membubuhkan tanda tangan, mereka akan dimintai uang. Cenderung
sedikit memaksa pada umumnya, jika objek menolak. Yang begini-begini mestinya
tidak usah diacuhkan dari awal.
“So,
how much would you donate voluntarily, Miss?”
Nyumbang semprulmu.
“Pardon, je parle pas l’anglais,” kataku, masih berusaha
sopan, menggeleng pelan sambil mengenakan headset
di kedua telinga.
Tapi
si gadis ini cukup gigih, “But, Miss,
I’ve already told you that...” aku mengabaikannya, memilih-milih lagu yang
akan kudengarkan melalui headset. “Okay, Miss? We don’t need much, fifty euros
is okay.“
Lima puluh?! Gila ini orang, tadi bilang
sukarela, sekarang malah minta lima puluh euro? Minta digampar.
“Ben, écoute-moi, mademoiselle,“ kataku, sedikit
mendesis, kesabaranku lenyap, “J’ai pas
d’argents, d’accord? J’ai pas cinquante euro, j’ai pas un ticket restaurant, j’ai
pas un ticket metro, et j’ai pas de petit pièce. Et aussi je parle pas l’anglais.
Laisse-moi tranquille!”
Aku meninggalkannya yang
terbengong-bengong. Masa bodoh mau
disebut pembohong, memangnya dia sendiri bukan pembohong?
Tempo jalanku
kupercepat demi menghindari kemungkinan disapa lagi oleh gerombolan orang
yayasan palsu itu, yang sepanjang jalan menuju ujung Avenue des Champs –
Élysées tersebar cukup banyak. Baru berjalan beberapa meter saja sudah kulihat
orang-orang serupa gadis tadi, membawa papan dan pulpen, secara acak menyapa
orang-orang di jalan. Mengherankan. Aku berharap semoga tidak ada dari para
turis yang percaya bualan omong kosong para penipu itu. Kukencangkan
volume lagu di headset.
[I
don’t want to lose you now]
Aku menghela napas. Kuperbaiki posisi headset
yang kendur di telinga.
[I’m
looking right at the other half of me
The vacancy that sat
in my heart is a space that now you hold]
Hah, ya, Tuhan...
[Show me how to
fight for now]
Kakiku berhenti. L’Arc de Triomphe berdiri
di seberang jalan, megah dan gagah, dengan api abadi yang menyala-nyala di
bawahnya. Menambah unsur keindahan, di belakangnya langit berwarna biru gerau
tanpa semburat merah membentang. Warna biru yang kusukai. Aku tidak tahu apa
nama dan kodenya dalam wheel-color,
tapi kubuat istilahku sendiri: Nightfall.
[It’s like you’re my mirror]
Aku diam saja di tepi jalan, memandangi langit yang melatari L’Arc de
Triomphe. Selalu saja setiap aku pergi keluar tanpa membawa DSLR, akan ada
langit yang bagus dan bersih untuk dipotret. Musim semi di Paris benar-benar
galau dan sendu, bisa hujan terus-menerus selama beberapa hari.
Suram.
[I
couldn’t get any bigger with anyone else beside of me]
...
...
Pernah merasa benakmu kosong dan
mengambang?
...
...
[You reflect me, I love that about you
And if I could I
would look at us all the time]
...
...
Seperti
sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah menatapi langit, dengan lagu Mirrors
terputar berulang secara otomatis, dan pikiran yang melayang pada seseorang.
[Just to let you know]
Oh,
I could function normally if I have to.
I
eat.
I
sleep.
I
drink.
I
breathe.
I
take a bath.
I
do the cleaning.
I
communicate with my colleagues.
I
do my work well.
I
go out, have a fancy dinner and talk with my close friends.
I
could debating with some silly people if a bad situation occurred.
I
live as normal as I do. Is there anything that I miss?
[You’re my
reflection]
Oh,
there is.
[All I see is you]
Nightfall.
[My reflection in
everything I do]
...
Kalau diibaratkan... mungkin isi kepalaku seperti labirin.
...
Bukan,
bukan labirin. Penggambaran labirin tidaklah tepat karena aku tahu bahwa jalan
keluar dari kekosongan benak ini ada.
Waktu dunia berjalan. Waktuku berjalan. Waktumu berjalan. Tentu, tidak ada
yang membeku di sini. Perasaanku pun tidak.
Ia nyata. Ia
membakar. Ia membantuku tetap sadar.
Sadar akan
keinginan. Sadar akan harapan. Sadar akan realita.
Aku sadar, sepenuhnya sadar. Sekaligus kosong.
Hampa udara.
Sama seperti di luar angkasa, terjadi ledakan, terjadi benturan, namun semuanya
tetap sunyi.
Kesunyian
dalam kekosongan yang kusadari sepenuhnya... bahwa apapun yang aku lakukan
sekarang, aku tidak bisa melupakanmu begitu saja. Tidak
ada lagi sisa ruang yang bisa kupakai untuk membuat kebencian tumbuh. Lagipula,
untuk apa aku membencimu?
...
Hmph.
Lucu.
Tadi kukatakan aku kosong. Mengambang. Hampa. Lalu mengapa kukatakan tidak ada ruang
lagi seolah segalanya penuh sesak?
...
...
Paradoks?
...
...
Aku menekan
tombol pause. Kuputar badanku
menghadap kembali ke Avenue des Champs-Élysées, menghadap ke arah Concorde.
Marché de
Noël. Ya, selama musim dingin kemarin, sepanjang avenue setelah sortie metro Franklin D. Roosevelt, di
sepanjang Jardin des Champs-Élysées, merupakan pasar natal sampai ke ujung. Saat
aku mengunjunginya, itu adalah kali pertama aku memotret menggunakan kamera
DSLR. Bersama Alva.
Alva...
Je
te vois.
Je
te vois partout.
N’importe
où je vais...
...
Sometimes
I wonder how does my face look like when I’m... you know, doing things like
this. Staring at one place. Remembering certain event which I’m fully aware
that is hard to be erased.
...
Melupakan hal-hal berkesan itu mustahil.
Mereka adalah bagian dirimu. Satu-satunya hal yang bisa kaulakukan hanyalah
merelakan. Suka tidak suka. Mau tidak mau.
Tak peduli seberapa hancur perasaanmu,
hatimu, otakmu.
Dan itu pun sulit.
...
...
To be honest, I don’t want to erase them. No intention at all.
...
...
Penyakit kronis begini, obatnya cuma waktu.
Hari, minggu, bulan, tahun, tidak ada yang tahu. Hanya waktu.
...
Mungkin sebaiknya aku pulang. Kuraih
kembali ponselku, kutekan tombol play,
lalu beranjak pergi dari situ, mencari pemberhentian bus nomor 22.
[My reflection in everything I do...]
***
Am I
wrong?
Is
this feeling wrong?
If
this feeling really is a mistake, what purpose does it have in my life then?
Why
did You make me feel it?
Dan sederet pertanyaan berikutnya yang
mungkin tidak akan habis aku ajukan. Oh ya, ada banyak pola kalimat tanya yang
terbentuk di kepalaku, semuanya berakhir dengan tanda tanya yang berpasangan
dengan tanda seru.
Aku menempelkan kepala di jendela bus,
menatap ke luar. Pemandangan malam kota
Paris yang indah. Kota klasik dengan arsitektur yang menawan. Kafe-kafe
tepi jalan yang diterangi lampu kuno. Cantik, terlalu cantik.
[Kubasuh luka dengan air mata...]
Aku mengecilkan volume lagu.
[Oh, hatimu beku
Serta jiwamu yang
lelah...]
Menghela
napas. Kukecilkan sampai suaranya hilang.
Tania selalu bilang, “Buat apa kamu masih mikirin dia? Kalian beda. Dari
awal aku udah tahu kalian bakal begini... Kamu capek mikirin dia, memangnya dia
repot mikirin kamu?! Enggak. Udahlah, lupain dia.”
Zefanya juga
mengomelkan hal yang sama, tidak terlalu banyak bedanya. Paling yang berbeda
hanyalah
gaya bahasanya. Sedikit lebih halus, sedikit tidak memihak. Sedikit logika
disisipkan pelan-pelan. Lebih mementingkan keseimbangan perasaanku.
“Cari pacar baru, Ya. Kok repot sih? Banyak lho cowok di luar
sana,“ itu jelas nasihat Iwan. Setelah dia ngomong begitu biasanya aku hanya
mendengus dan berdecak, dalam hati bergumam ‘seandainya segampang itu.’
...
Haha.
Seandainya segampang itu.
...
You
must be hating me so much, don’t you now, Alva?
...
“Jangan lebay gini, Ya, udahlah. Cukup
galaunya,“ itu kalimat favorit Iwan yang lain, petuah nomor dua yang paling
sering disebut-sebutnya di chatting
disela-sela jam kerja magang. “Segitu aja galau.”
My
dear God, do you think I want to be in this dark, desperate, heart-breaking
situation?!?
...
“Segitu
aja galau.”
...
Am
I way too exaggerating things? I’m just trying to be honest to myself. I’m
tired of hiding everything. I’m tired of pretending that I’m fine while in fact
I’m not.
“Segitu
aja galau.”
...
Mon
Dieu, c’est trop compliqué maintenant. Beaucoup. Beaucoup, beaucoup de
questions que j’aimerais Vous demander. Sur la vie. Sur l’option. Sur... tous.
Layar penunjuk
pemberhentian bus yang tergantung di langit-langit berkedip, memunculkan nama
tempat yang kutuju: Église d’Auteuile. Kuraih dan kutekan tombol
stop merah di satu tiang penyangga bus.
Dua menit kemudian bus berhenti di sana,
aku turun dan mengamati papan penunjuk jadwal bus 62 berikutnya tiba. Oh, lucky me, just five minutes. I really
need to get home.
Ada gereja di seberang jalan. Di Paris,
rasanya hampir di setiap jengkal bisa kutemukan gereja atau kathedral. Tak
perlu kukatakan lagi bahwa semua interior gerejanya pastilah indah. Di
sekelilingnya ada pohon-pohon sakura. In
full blossom.
Ironis. Musim semi, musim di mana semuanya
bertumbuh, mekar, hidup kembali. Yet,
what am I feeling right now?
Kukencangkan kembali volume lagu.
[Salahkah ‘ku bila, kaulah yang ada di hatiku...
Bila cinta kita takkan tercipta, kuhanya sekedar ingin
‘tuk mengerti
Adakah diriku singgah di hatimu dan bilakah kau tahu,
kaulah yang ada di hatiku...]
...
Merde.
***
“Tan, itu si
Elia ngapain?”
“Hmm?”
Tania melongok ke dalam kamar dari balkonnya. Di dapur ia melihat Elia sedang
berjongkok di depan kulkas.
Ketika Ze sampai di apartemen dan sudah
setengah jalan memasukkan kunci kamar ke lubangnya, ponselnya berbunyi. Sebuah
pesan singkat ia terima dari Tania. Dia mengabarkan bahwa Troy, salah satu
teman mereka, telah tiba di Paris. Dia menginap di kamar Iwan, dan sebagai
oleh-oleh dia membawakan Jack Daniels Honey dan Cointreau. Pesta kecil-kecilan
di kamar Tania katanya.
Jadilah malam itu mereka berpesta
kecil-kecilan di balkon kamar Tania. Tak luput Elia pun di-SMS. Satu jam
setelah pesta itu dimulai, Elia tiba dengan tampang setengah ceria setengah
ngantuk dan membawa dua longsong keripik Pringles. Setengah jam setelah ia
sampai, baru menenggak tiga gelas campuran Bacardi Gold dan Mojito (tanpa
alkohol, dibeli Tania di Marks and Spencer. Semacam air rasa Mojito), sementara
ketiga orang temannya asyik bernyanyi dan bermain gitar di balkon, Elia malah
kembali ke dalam, membuka kulkas.
“Mungkin cari sesuatu, biarin aja,” balas
Tania enteng, meraih botol Cointreau, menuang sedikit ke gelasnya yang kemudian
dicampur dengan 7Up.
Ze mengangguk-angguk. Ia memutar-mutar
pergelangan tangannya, memperhatikan cairan dalam gelasnya yang teraduk. “Troy,
tau lagu Officially Missing You, gak?“
“Tau dong, mau coba denger aku mainin?” jawab Troy, memperbaiki posisi
gitar di pangkuannya.
“He’eh, he’eh.
Mainin
coba, sekalian cocokin sama suaraku.”
Lalu Troy mulai memetik senar gitarnya
sementara Ze menyenandungkan melodi-melodi tanpa lirik. Harmonis dan tidak
sumbang-sumbang amat. Tania juga ikut bersenandung kecil sampai kemudian mereka
bertiga mendengar Elia berkata setengah berteriak dari dalam,
“Tan! Ini bumbu tom yam-mu sudah mau
kadaluarsa!“
Spontan mereka bertiga di balkon terdiam,
bergeser, dan melongok ke dalam kamar.
“Ini susu udah kadaluarsa kemarin, kenapa
gak dibuang sih?! Ya ampun, masih setengah lagi isinya,“ Elia menggerutu,
berjongkok di depan kulkas, dan sibuk memeriksa isi kulkas Tania.
Troy, Ze, dan Tania saling pandang. Troy
menggaruk kumisnya. Ze menaikkan alisnya. Tania berhenti dari aktivitasnya
menggulung-gulung rambut.
“Ini marmalade
pêche, kalo gak suka dibuang ajalah, ngapain sih disimpan lama-lama?!”
semakin Elia berbicara, nada suaranya
semakin naik. “Ini apa lagi…“
Troy berbisik,
“Dia baru minum berapa gelas sih?”
“Empat
apa lima,” sahut Ze tak yakin, yang sedang meminum gelas keempatnya.
“Dia memang gak kuat minum, tapi tumben secepat
ini,” Tania menambahkan sambil memainkan beberapa helai rambut panjangnya
dengan jari telunjuk, “Gak sanggup minum, tapi sekalinya mabuk sedikit, yang
ada ngajakin orang berantem.”
“Tania, ini yang sudah kadaluarsa tak buang semua ya?!“ teriak Elia, dia
sudah berpindah dari depan kulkas, yang pintunya dibiarkan terbuka, menuju
lemari penyimpanan, mencari plastik hitam untuk membuang sampah.
Tahu lebih baik tidak usah menyanggah,
dengan tenang Tania menyahut, “Iya, Ya. Beresin aja itu semuanya, buang kalo
memang udah gak bagus. Merci, merci.”
“And
you’re supposedly sick right now, aren’t you, Zefanya? How could you possibly
still drink, you gotta go to sleep!” kata Elia nyaris terdengar seperti
membentak.
Ze mengabaikannya.
“Is she alright?” tanya
Troy. Ze memandangnya. “Maksudku, perasaannya. Baik-baik aja dia?”
“Mestinya cukup diliat, kamu bisa tau,“ kata Ze, mengangkat bahu. “Begitulah.”
Troy menarik ujung bibirnya sedikit. Bukan
tersenyum. Hanya memaklumi. Dia mengerti. Dia memahami. Dirinya sendiri baru
melewati fase itu enam bulan yang lalu.
“Dia hidup normal. Kerja normal. Ngobrol
sama kita-kita juga biasa aja, gak ada yang berubah,“ Ze sedikit menerawang,
“Cuma ya gitu, kamu tahu ada sesuatu yang tidak beres. Dia gak marah kalo nama Alva
disebut-sebut, diejek-ejek juga malah bisa mengejek balik. Dibercandain soal
Alva juga gak marah. Tapi ya begitulah,“ Ze mengangkat bahu lagi.
“Yang banyak berubah justru Alva-nya,”
gumam Tania, sedikit berdecak.
“Dia gimana?” Troy penasaran.
Baru Tania ingin lanjut menjelaskan, ada
suara lain menginterupsi, mengurungkan niatnya bercerita lebih lanjut.
“Kalian nyanyiin lagu apa sih?“ Elia
kembali ke balkon.
Ze mengamatinya. Jalannya masih lurus.
Hanya pandangan matanya sedikit tidak fokus dan nada suara yang agak terdengar
seperti menantang untuk berkelahi. Sedikit mabuk. Kena tambahan tiga gelas lagi
dijamin teler. Satu cukup jika tanpa campuran Mojito atau 7Up. Well, dia sendiri juga sih sebenarnya.
“If I Ain’t Got You,” Troy yang menjawab
seusai menenggak gelasnya yang keenam, tampak masih segar bugar sehat walafiat.
“Bukan, sebelum ini,” bantah Elia.
“Yang mana?” kata Tania halus, sadar
kondisinya yang setengah mabuk.
“Yang tadi, yang Ze nyanyiin itu lho, hadeeh,” katanya ngotot, sementara dalam
hati Troy, Ze, dan Tania berpikir bahwa ada beberapa lagu yang dinyanyikan
secara random oleh Ze. Begini ini
kalau berurusan dengan teman yang agak mabuk, pembicaraan sederhana bisa jadi
berbahaya. Troy berpikir sedikit mabuk saja Elia sudah galak begini, kalau
benar-benar mabuk gimana, ya? Bongkar kulkas sambil menantang semua orang
berkelahi mungkin.
“Yang ini?“ memperhatikan pilihan
lagu-lagu yang sedari tadi mereka nyanyikan, Troy menduga lagu ini yang mungkin
dimaksud Elia. Dimainkannya melodi lagu Officially Missing You.
“Iya yang itu! Mainin, mainin!“
Ze otomatis bernyanyi, dengan suara
altonya yang sedikit serak,
"All I hear is raindrops, falling on the rooftop
Oh, baby, tell me why you'd have to go?
Cause this pain I feel it won't go away
And today I'm officially missing you
Thought that from this heartache I could escape
But I front it long enough to know
There ain't no way
And today I'm officially missing you
Can't nobody do it like you..."
Elia tidak lagi sungguh-sungguh
memperhatikan sisa lagunya. Dilatari suara Ze, sembari kembali duduk di sisi
pintu balkon, Elia mengeluarkan ponselnya dari kantung celananya. Ia sadar
dirinya sedikit mabuk, tidak perlu seorang jenius untuk memberitahunya. Kesadarannya
mungkin tidak secerah biasanya. Dia masih bisa mengingat dia ada di mana, siapa
penemu bohlam lampu, penelitiannya tentang lempeng subduksi di Sumatra, warna
celana dalam yang sedang dipakainya, atau siapa nama cewek yang diam-diam
ditaksir Iwan di kantornya. Pikirannya masih bekerja dengan benar, namun ada
sedikit rasa tidak peduli aneh yang muncul. Tidak peduli, jengkel, marah. Kalau
dia mau, sekarang dia bisa langsung menelepon Alva dan mengomel. Bertanya.
Kenapa begini, kenapa begitu. Tidak bisakah begini, tidak bisakah begitu. Apa
boleh begini, apa boleh begitu, dsb, etc, dll.
Mengapa tidak boleh sama-sama karena
mereka berbeda?
Dihelanya napas dalam.
Seandainya dia mau.
Tapi ia membatalkan niatnya. Lagipula ia
tahu, selamanya Alva tidak akan mau mengangkat teleponnya. Tak perlu dicoba, ia
sudah tahu. Too obvious.
Alih-alih, sembari mencibir, ia membuka
akun Facebook-nya. Dia menyentuh layar kolom “exprimez-vous”, Keyboard virtual muncul.
Kampret.
Itu kalimat
pertama yang ditulisnya. Ia
menggeleng-geleng sendiri, lalu ditekannya tombol backspace virtual di layarnya.
Memangnya siapa
yang gak mau berusaha?! Aku ma¾
Belum
selesai kalimat pengganti diketik, sudah dihapus lagi oleh Elia.
Coba kasi tau dulu aku mestinya gimana.
Dihapus.
“What the hell,“ makinya lirih.
Cepetan punya
pacar baru sana!
Elia menggigit bibir, kemudian dihapusnya
kalimat itu.
Do
you even care? I bet you don’t.
Dihapus.
Boleh biasa aja, gak usah pake sengaja
menghindar.
Dihapus.
"I just can't find a way to let go of you~
Can't nobody do it like you
Said every little thing you do
Oh it stays on my mind~"
Elia
menoleh, memperhatikan Ze menyelesaikan nyanyiannya. Setiap mendengar Ze
menyanyi, ia punya kecenderungan kesal karena tipikal suara Ze suara alto, tapi
kalau mereka duet menyanyi, Ze tidak pernah bisa menyanyikan suara alto. Kenapa pula masalah suara alto harus dibahas
sekarang, batinnya.
"All I hear is raindrops~
And I'm officially missing you~"
Lagu-lagu
selalu terlalu jujur. Entah kenapa manusia tidak bisa sejujur itu jika sedang
berkomunikasi langsung. Terlalu gengsi. Terlalu banyak perhitungan. Terlalu
banyak pertimbangan. Terlalu banyak kode.
Sederhana menjadi sesuatu yang langka.
Elia
kembali menyentuh keyboard-nya,
dipencetnya huruf per huruf membentuk sebuah kalimat. Jeda sentuhan masing-masing
huruf satu detik. Ragu? Penghayatan? Bahkan dirinya sendiri tidak tahu.
Tu me manques.
Dia
teringat. Dulu ada pertanyaan yang sangat mengganggunya ketika belajar bahasa Prancis.
Mengapa terjemahan ‘I miss you’ ke
dalam bahasa Prancis menjadi ‘tu me
manques’? Dalam pemahaman kebahasaannya mestinya urutannya adalah subjek
yang merindukan objek, lalu mengapa ini malah objek merindukan subjek?
Pencerahan datang tatkala gurunya
menjelaskan sembari tertawa kecil, “Barangkali ini penyebab bahasa Prancis
disebut romantis, Aurelia. Kenapa tu me
manques? Karena artinya begini, kamu membuatku merasa kehilangan. Penekanannya
ada di objek yang membuat si subjek merindu. Romantis kan?”
Kamu membuatku merasa kehilangan. Kamu
membuatku merasa tak lengkap. Kamu membuatku sadar tanpamu ada yang kurang.
Haha.
La vérité.
Tu me manques, Nightfall. Beaucoup.
...
Dihapus.
***
ÓErinda Moniaga, 15
April 2015
Songs included in this story: