Previously:
1. l'hiver
2. le printemps
3. l'été
“Sir?”
Alva melepas headset-nya, mengangkat wajahnya yang terfokus pada tabletnya,
rumus-rumus kimia berderet-deret menyelingi barisan kalimat-kalimat yang begitu
rapat; melihat itu kepala sang pramugari mendadak pening namun senyumnya yang
professional tetap terpajang.
“Yes,
I would like the chicken, please,” jawabnya tenang, menggeser tabletnya ke
pangkuannya, mengosongkan meja. “Ah, may
I have a cup of coffee?”
“With
milk and sugar, Sir?” tanya pramugari tersebut, menyorongkan nampan berisi
makanan pesanan Alva.
Digelengkannya kepalanya pelan sebagai
jawaban. “Just give me another cup of
water, please.”
Pramugari berpindah pada barisan
berikutnya sambil memberikan pertanyaan yang sama pada penumpang di
belakangnya, sementara Alva menekuni nampannya, membuka tutup dan bungkus dari
makanan dan peralatan makannya. Ia memperhatikan presentasi kentang tumbuk
dengan potongan ayam panggang bersaus tomat sembari mengangkat bahu pasrah;
setidaknya bisa dimakan walaupun tidak berasa enak-enak amat. Ia bisa memasak
lebih enak dari ini.
Dengan tangkas Alva menyantap makan
malamnya sebelum memasuki fase tidur panjang di pesawat. Perjalanan sekian
belas jam lintas benua menguras banyak energi kadang-kadang, padahal yang
dilakukan hanya duduk, nonton, makan, tidur, bangun, makan lagi, tidur lagi,
begitu seterusnya hingga mendarat. Bukti nyata tidak mengerjakan sesuatu yang
produktif bisa jadi melelahkan. Kurang dari lima menit Alva sudah menyapu
bersih semua makanan di piringnya dan mulai menyesap kopi dari gelasnya.
Hangat.
“Hey,
are you traveling by yourself?”
Ada
suara menyapa dari kursi seberang lorong. Seorang wanita muda berambut
cokelat gelap panjang, dengan mata yang sangat cokelat, berbicara.
“Yeah,
I am,” kata Alva datar.
“Are
you a student of biochemistry?”
Alva menyeringai kecil, sadar aktivitasnya
membaca diperhatikan oleh seorang asing “Yes,
I am. Anything I can help?”
“No,
I was just interested by the text that you read before. I don’t mean anything
bad, I’ve just had a glimpse on the essay on your phone tablet, it looks very
remarkable.”
Ekspresi wajah orang asing ini cukup
meyakinkan tanpa tendensi tertentu, tapi Alva sedang tidak ingin terlalu banyak
mengobrol atau berdiskusi.
“Really?
It’s just a draft of a research.”
“If
I’m not mistaken, is it about¾”
“Excuse
me, I need to go to the restroom, let’s continue our talk later,” potongnya
tanpa tedeng aling-aling sembari melempar senyum. Dia berdiri begitu saja,
nampannya sudah beres rapi tinggal diambil oleh petugas. Walaupun dia
menggunakan toilet sebagai alasan, dia sendiri memang perlu buang air kecil. Belum
mendesak sekali, jadi dia sengaja berlama-lama, membiarkan dua orang lain yang
datang belakangan untuk masuk terlebih dahulu.
Setelah urusannya selesai, dia mencuci
tangannya lalu membasuh wajahnya. Memperhatikan raut wajahnya sesaat, lalu
diambilnya tisu, mengelap mukanya, keluar, dan berjalan kembali ke kursinya
dengan harapan bahwa gadis tadi secara ajaib sudah tertidur hingga tak
menggerecokinya soal penelitian.
Mejanya sudah bersih, selimutnya masih di
tempatnya, begitu pula tabletnya yang ia letakkan di bawahnya. Kursi di sisi
kirinya kosong sementara di kursi samping jendela seorang bapak kira-kira
berusia akhir empat puluhan dengan kepala nyaris botak sedang berkonsentrasi
menonton film. Wanita asing yang tadi, sembunyi-sembunyi diliriknya dari sudut mata, sedang asyik berbincang dengan ibu-ibu yang duduk di sisi kanannya. Penuh
kelegaan Alva kembali duduk, memasang headset,
dan meletakkan tabletnya kembali di meja, membuka dokumen penelitiannya.
[The
signal saturation beyond 10pM concentration may imply complete PPL coverage on
the SWNCT network and possible steric hindrance effects that may prevent any
additional absorption of PPL.]
Alva berhenti mengetik. Badannya masih
terasa segar tapi entah bagaimana selera menulisnya menghilang. Disimpannya
dokumen tersebut sebelum kembali ke desktop.
Matanya tertuju ke pojok kanan atas layarnya.
Ada satu folder yang mengganggunya sedemikian rupa, dikirimkan Zefanya padanya
di hari kepulangan gadis itu ke Indonesia. Secara teknis Zefanya tidak mengirimkannya khusus hanya untuk Alva, tapi firasatnya mengatakan ia tidak akan berepot-repot
sampai mengirimkan dua surel hanya untuk memodifikasi tautan yang katanya salah
dikirimkan di surel pertama. Yang benar
saja.
Toh meskipun begitu, folder tersebut dia unduh juga pada akhirnya, dibiarkan di
tabletnya, terpampang jelas di pojok kanan layarnya, tak tersentuh akibat kesibukan
dan kepadatan jadwal kegiatannya.
Sampai hari ini.
“Ya Tuhan, Zefanya, nama folder ini,” keluhnya, “apanya yang ‘from all of us to all of you’ sih.”
Kecurigaannya terlalu besar. Zefanya
seringkali bersikap seperti adik kecil kelewat usil, disebagian besar waktu malah
Ze menjadikannya sebagai objek bercandaan, tapi kali ini dia meyakini ada
sesuatu... sesuatu yang tidak ingin diketahuinya tersimpan di dalam sana.
Alva terhenyak di kursinya, merasa kalah
oleh rasa penasaran yang terlalu besar. Rasanya seperti akan membuka kotak
Pandora. Perasaannya yang sebisa mungkin diaturnya agar setenang permukaan
danau yang tak tersapu angin kini mulai bergolak.
Badai
itu lagi...
Dikerjapkannya matanya, menghalau emosi
berlebihan yang perlahan menyeret.
Sambil menarik satu napas panjang, Alva
membuka folder itu.
Hanya ada satu dokumen di dalam sana,
ditandai Ze dengan nama ‘Satu’. Alva curiga ini juga sengaja, tidak memberikan
judul spesifik supaya dirinya tidak berprasangka berlebihan. Saking terbiasanya
ia akan ulah Zefanya, beberapa hal jadi nampak terlalu meragukan dimatanya.
Otomatis, tanpa banyak berpikir, Alva
memilih untuk memencet layarnya pada dokumen tersebut. Jantungnya, di luar
kendalinya, mulai berdegup cepat.
Suara gitar akustik mengawali video itu,
diikuti dengan kemunculan teks ‘a video dedicated to Bli Giant...’
Alva terbahak. Teks itu dengan cepat
berubah, ‘salah, to bli Putu Genta Indrayana^^’
Kerjaan Ze, batin Alva, yakin seratus
persen pasti Ze yang menyunting dan menyusun video ini. Ia teringat bahwa
temannya itu sempat mengiriminya pesan berkali-kali meminta dikirimkan video
berisi kesan dan pesan untuk Genta, yang tak digubrisnya sama sekali. Memang ia
membalas, menyetujuinya dan meminta Ze untuk menunggu, tapi hingga batas waktu
yang ditentukan Alva tak kunjung mengirimkan apapun. Ze sendiri sepertinya sudah
kelewat kesal untuk meminta lagi. Melihat video ini, tahu-tahu saja Alva merasa
bersalah.
Kemudian sebaris nama muncul di layar
berlatar ungu, ‘Aurelia Komala Koentjaraningrat said...’
Tanpa disadari Alva menghitung berapa lama
layar itu kosong melompong dan hanya menampilkan nama gadis itu saja. Tujuh
detik. Tujuh detik yang singkat. Niat logika ingin menghentikan jalannya video
itu, tapi tangannya diam saja, malah bisa dikatakan menantikan kemunculan
wajahnya.
“Halooo... Genta,” wajah seorang gadis
berkacamata dengan rambut panjang berombak memenuhi layar tabletnya, matanya
terlihat lelah namun cengirannya tidak lepas dari wajahnya, “selamat menempuh
hidup baru¾hah? Selamat menempuh
hidup baru?” ia tertawa kecil sebelum meneruskan, “Selamat melanjutkan
kehidupan yang lama di Singapur... Trus... semoga masternya yang setelah
mendapat gelar doktor,” mendengus heran, “bisa lancar. Setelah doktor baru
master, mestinya kayak saya dong, master dulu baru doktor! Terus... semoga
lancar masternya di Jepang... apalagi? Segera menikah... semoga sempet ketemu
di NTU. Apalagi ya? Semoga sempet jalan-jalan bareng di Singapur. Tapi, tapi
kayaknya nih, feel¾feeling saya, anda pergi, saya
datang. Apalagi ya? Jangan lupain kita-kita, saya dan yang lain-lain. Zefanya, Tania,
Alva, Iwan... siapa lagi? Dengan cerita-cerita, kisah-kisah, kegalauan yang
nggak jelas dari kita masing-masing... Terus satu lagi, apa ya... Oh ya, makasi
juga untuk semua ilmu¾sharing-sharing
knowledge-nya. M-A-N-T-A-P B-G-T-lah,“ ia nyengir lebih lebar lagi
seusai mengeja huruf-huruf itu, “serius. Terus
makasi juga untuk semua masukan-masukannya selama kemarin pas mau sidang. Euh... anyway, kalau bukan karena elo
dan juga Zefanya yang sempat menemani saya, mungkin saya sudah jadi jamur di
dalam kamar, tidak mau bergerak, dan sibuk salto bolak-balik kasur,” Tania yang
duduk di sebelah si gadis, nampak dari pantulan kaca, terlihat berusaha menahan
ledakan tawanya. “Thanks so much elo
juga udah ngingetin bahwa yang terpenting adalah gimana kita bersikap ke orang
lain¾uhuk¾seperti apa¾uhuk, tuh kan jadi batuk,” dia memalingkan wajahnya, suara
Tania mengisi diamnya si gadis yang sibuk mebersihkan tenggorokannya, “Nah kok
jadi batuk?”
Zefanya berbisik iseng, “Kok gak netes air mata sih, El? Netesin air mata dong,
biar dramatis gitu kaaan.”
Seraya
pura-pura menutulkan ujung syal birunya pada ekor kelopak matanya, si gadis tertawa,
“Belum...”
“Hiks
hiks hiks,” kata Ze dengan nada ekstrausil.
“Eh, kita diliatin tau sama abang-abang di
sebelah kita,” sela Tania sembari terkikik kecil.
“Si abang juga pingin masuk kamera yak?”
ujar Ze, menggeser lensa pada laki-laki yang duduk di sisi Elia, “nih, bli Genta, ada tambahan senyum manis
dari si om-om. Cie cie cieeee. Trus gimana, El,” kembali dia memposisikan lensa
pada objek semula, “sudah siap nangisnya blom?”
“Belum
sekarang, belum sekarang,” ketenangannya kembali, “Kayaknya gitu aja sih. Good
luck di Jepang. Doain supaya kita semua sukses. Well, see you in the next
opportunity. God bless you. Bye-bye.”
Layar menghitam, diteruskan dengan
kemunculan kata-kata ‘pidato Janneke Zefanya Gita Rorimpandey, mohon bertahan
:p’.
Tapi Alva tak mempedulikan juga
mendengarkan.
Alva, gadis itu
menyebut namanya sekilas sambil lalu dengan paras yang sangat tenang.
Sementara dirinya
sendiri selama ini menghindari sepenuh hati untuk mengucapkan nama si gadis,
bahkan saat mereka mau tidak mau terpaksa bertemu. Alva
hanya menyebutnya dengan, “Eh,” diikuti dengan kalimat pertanyaan atau
pernyataan yang ingin disampaikan. Tidak dihiraukannya bagaimana pendapat
teman-temannya, disebut pengecut pun terserah, namun baginya ini adalah sistem
pertahanan.
Separo bagian dirinya membencinya.
Sungguh benci.
Perkataan gadis tersebut dulu padanya
menutup semua kesempatan dan usaha yang diharapkannya masih tersisa; setidak-tidaknya
bisa dia perjuangkan bagi mereka berdua. Jika memang tidak mungkin dan tidak
ada usaha untuk meneruskan, apa yang harus dilakukannya? Tetap tertawa seperti
biasa dan melanjutkan hubungan mereka sebagai teman biasa seolah tidak terjadi
apa-apa?
Alva tidak ingat pernah menangis lagi
semenjak SD.
Malam itu terlalu dingin dan terlalu
gelap, tidak mau diingatnya lagi secara persis ke atom terkecil sekacau apa perasaannya,
setolol apa ekspresinya ketika menyadari si gadis mengejarnya dari apartemennya
hingga pintu masuk stasiun metro sampai terengah-engah cuma untuk memintanya
tidak memutuskan hubungan pertemanan mereka. Putain quoi!
Memintanya untuk tidak me-remove dirinya dari daftar teman
Facebook? Sudah.
Membalas SMS basa-basi mengajak berkumpul
ramai-ramai yang dikirimkan sekalian di satu forum? Sudah.
Sesinting apa orang itu berharap dirinya
mau bertemu, bercakap-cakap normal seperti dulu sebelum semuanya menjadi
berantakan? Bahkan mempertontonkan kesedihannya dengan menyanyi, memamerkan
perasaannya? Apa yang dia harapkan sebetulnya, mereka akan kembali bersama? Gadis itu sendiri yang menutup jalan
tersebut, demi Tuhan!
Ingin
rasanya Alva mengamuk. Genggaman jari-jarinya pada sisi tablet menegang.
Tarikan napasnya mulai tidak teratur.
Why do you have to make things so difficult?
Just
go already. Leave me.
Alva yang sebelumnya begitu dingin dan tak
terganggu ketika diajak bicara oleh tetangga duduknya yang elok jelita, kini
merepih. Emosinya yang ditahan-tahannya dengan memusatkan perhatiannya pada
pekerjaan selama di Paris dan Bandung mulai berputar-putar. Sekuat tenaga ia menenangkan diri, mengatur napasnya,
menstabilkan emosi jiwa.
It would be much easier if you just shut up
and pretend that I ain’t exist.
It
was such a torture... seeing your happy face...
Reading your text...
Listening to your voice...
Why
can’t you understand me just a bit...
Layar
tabletnya menghitam. Sekelebat saja dia melihat wajah teman-temannya muncul di
sana bergantian menyampaikan pesan dan rasa terima kasih mereka pada Genta.
Alva mengira videonya sudah selesai dan ingin mematikan aplikasinya, namun
tiba-tiba saja wajah bulat Genta muncul dan langsung bermonolog.
“Tania. Apa ya... kesan-pesannya...”
Alva tak mendengarkan. Pikirannya terlalu ruwet untuk bisa mencerna perkataan
orang lain saat ini. Matanya berpindah dari layar tablet ke lorong
pesawat yang kosong, lampu telah dimatikan dan sepertinya banyak penumpang
sudah memasuki masa hibernasi sampai nanti dibangunkan untuk kegiatan makan
berikutnya. Sebaiknya dia juga ikut tidur saja, daripada ketenangannya
terganggu oleh pikiran-pikiran tidak penting. Bagaimanapun, keseimbangan
emosinya adalah isu yang paling penting saat ini.
Screw
this.
“Terakhir untuk Gde apa ya,” kata Genta di
telinganya, dengan cepat Alva menoleh ke layar. Teman seperjuangannya itu
membuat ekspresi antara tidak enak dengan kasihan. “Euh... yah... ya, mungkin ini bukan pesan-kesan¾ini
saran. Kalo nanggepin hati jangan pakai integral,“ ujarnya ringan, ditutup
dengan tawa. Bisa didengarnya Zefanya
juga turut tergelak pelan di balik lensa.
“You need to stop lying at yourself, bli De,“ Zefanya memutar kamera, “It will be easier for you, really. It’s for
your own good,” katanya, memberikan senyuman penuh pengertian.
Shit.
Teman-temannya yang dijauhinya. Alva
berpikir dirinya akan sanggup melalui semuanya sendiri, itu lebih baik dan
lebih mudah. Suasana tidak akan menjadi canggung karena diam yang tercipta
antara dirinya dan dia. Ia sudah
tidak ambil pusing lagi penilaian mereka akan sikapnya dan merasa tak perlu
berbicara pada siapapun. Dia akan baik-baik saja, toh awalnya juga dia tak
punya hubungan pertemanan terlalu dekat dengan siapapun.
Akan tetapi ketika melihat rekaman video
ini...
Dia mendesah berat. Alva menundukkan wajahnya,
jari tangan kirinya memijit pelan keningnya. Suara Tania kemudian muncul, tapi
Alva tidak ingin melihat layar. Matanya dipejamkan rapat-rapat. Tangan kanannya
menggosok-gosok dadanya yang seketika terasa sesak.
“First
of all¾lah, settingan pake
Bahasa Inggris,” didengarnya Tania tertawa lalu berdeham. “Mau bilang thanks. Thaaaanks banget udah diajarin masak. Diajarin bikin sushi,
dimasakin nasi kuning, dibikinin steak... Masakannya Gde enak-enak sih, hahahaha,
kelamaan deket-deket dia bisa gendut! Trus apa lagi ya... Kenangan sama Gde
banyak sih ya... Apalagi sama seseorang, ya enggak? Hahaha, cieeee...”
Zefanya nimbrung, “Thanks banget udah jemput kita di bandara! Itu yang paling kuinget,
kamu sama bli Genta udah jemput kita
di bandara. Thanks banget! Bli Gde orangnya memang penolong!”
“Secara kita anak-anak baru di Paris, ya
ampuun,” lanjut Tania. “Kalo nggak ada si Gde kayaknya kita bakalan hilang deh.”
“Terutama aku,” Iwan menimpali, logat
Balinya kental sekali. “Suksma banget,
De. Good luck, ketemu lagilah kita di
Bali.”
“Seneng, kita seneng banget bisa kenalan
sama Gde. Keep up your good work and I
believe you will be a successful person. Itu aja...” jeda sejenak sebelum
Tania menyelesaikan bagiannya, “byeeeee.”
Jeda lagi.
Ada suara kasak-kusuk ribut, lantai yang
ditepuk-tepuk dengan telapak tangan, lalu Ze bersuara sembari terkekeh, “Next!”
Sunyi.
Kepala Alva berdenyut-denyut.
Jangan
sampai...
“Kita keluar deh, kita keluar deh,” kata
Genta. “Supaya lebih lancar ngomongnya.”
Bunyi derap beberapa langkah kaki menjauh
dari kamera terdengar, diikuti debam pintu menutup.
Hening.
Hening yang terasa mengambang begitu lama.
“I’m
so sorry.”
Suaranya. Serak dan lirih.
Kernyitan di
dahi Alva melesak semakin dalam.
“Euh... Well...,” nada
suaranya terdengar tak yakin, seolah-olah tak tahu harus memulai dari mana. “You know... I’ve never made any kind of this
video message before. I... really want to talk to you in person but perhaps I
don’t have any courage left... to be
rejected.”
Alva
tetap menunduk, tak ingin membuka matanya.
Ingin rasanya dia berubah tuli.
“But
yeah still... if I don’t say it here, I would be the one that later regret it.
I have enough regrets, I don’t need to add another.”
Siksa.
Ini sungguh menyiksa.
Pernahkah terlintas dipikirannya betapa
ingin Alva menemuinya? Seberapa letih usahanya menjauhkan diri dan mengabaikan
pesan-pesannya? Seberapa terkuras energinya agar pikiran-pikirannya teralihkan
dan tetap teguh memegang janji terakhir mereka?
“I’ve
been... very stubborn. I, uh...“ gadis itu berbicara
terbata-bata, “I shouldn’t have been
asking you too much. Yet what can I do... it’s just that my feelings for you is too strong. Don’t ask me why.”
Rasanya hati Alva meremuk.
“I
miss you.”
Putain.
“Yang ingin aku bilang itu banyak, Al.
Banyak. Saking banyaknya sampai terasa tidak pantas, apalagi kondisi kita
seperti ini. Who am I to talk...”
suaranya berubah menjadi bisikan lirih. Dia terbatuk-batuk, berupaya
menghilangkan gemetar dalam suaranya yang mulai terdeteksi. “I... I want to say I’m grateful that I met
you. That you let me came into your world, to let me became your best friend.”
Kalimat demi kalimat, suara si gadis
semakin tegas namun tetap lembut.
“You are very special for me. Even in the
future, where you might be married to a lovely lady and I might be married to a
kind gentleman. You have to know, you will always be.”
Dalam hatinya Alva mengerang, tak mengerti
bagaimana bisa gadis ini berbicara dengan begitu tenang dan mantap. Tanpa
merasa malu sedikitpun, tanpa merasa harga dirinya terinjak-injak setelah semua
tingkah Alva yang jelas-jelas tidak mempedulikannya.
Kamu
tahu kenapa, tidak usah pakai acara berbohong pada diri sendiri, Alva.
“Thank
you very much for your love.”
Elia...
“Thank
you for the little infinity you’ve given to me.”
Tanpa membuka matanya, Alva bisa
membayangkan betapa teduh Elia tersenyum.
“I’m
praying for your happiness. God bless you, Alva.”
Ini
batasnya, Alva sudah tidak mampu menahan diri.
Matanya masih
sempat bertemu dengan mata Elia, sekian detik yang terasa begitu surreal. Ditatapnya mata Elia yang
hangat, sehangat mentari senja keemasan di langit Paris.
Elia
yang tidak berubah. Sorot pandang yang sama. Kebaikan yang sama. Kejujuran yang
sama. Sosok yang selamanya akan memiliki makna dan ruang khusus di hatinya.
Bagian belakang bola mata Alva terasa
panas dan tertusuk-tusuk.
Dadanya sesak. Terimpit.
Begitu
perih...
Terakhir kali dipandanginya wajah Elia dengan cermat sebelum kemudian
ia menutup
programnya serta tanpa keraguan menghapus file
tersebut.
Sebutir
air mata mengalir.
***
31 Juillet
2017.
02.12 AM.
Erinda
Moniaga.