SLOKA 1
Esha Vairocana
Esha melirik dari ujung matanya ke arah
jam dinding yang tak pernah lelah berdetak. Pukul lima kurang lima menit. Dia
berusaha, sangat berusaha, untuk tidak nampak gelisah; akan tetapi dari posisi
duduknya yang setiap lima menit terus-terusan berubah, rekan-rekan sekerjanya
tentu mau tidak mau memperhatikan gelagatnya.
Desain lay-out
yang sedang dikerjakan Esha di depan komputernya sudah tidak nampak menarik
lagi, walaupun sejujurnya, dia tidak pernah menikmati pekerjaannya lagi sejak
dua tahun lalu. Sebentuk garis dengan warna yang berbeda dengan warna kulit di
sekitar matanya terasa sangat gatal, garis selebar jari kelingking yang
melintang di bawah bola mata kiri sampai pertengahan hidung. Ini pertanda
seseorang sedang membicarakannya, itu keyakinan absurd yang selalu dipegang
Esha.
Sekarang pukul 16.59 dan jarum detik
sedang berjalan penuh irama konstan menuju angka dua belas. Esha sekali lagi
mengubah posisi duduknya, mulai menutup semua program yang sedang
dikerjakannya; tangan kirinya otomatis dengan cekatan memencet tombol-tombol
tertentu di keyboard. Tanpa terasa ia
semakin mahir menggunakan mesin ini. Sudah dua tahun teknologi serasa mundur
beberapa ratus tahun, dia mulanya tidak terbiasa menggunakan keyboard. Dia hanya mengetahui keyboard, beserta saudaranya layar komputer yang berbentuk seperti
boks dari museum. Beruntunglah ia tidak harus bekerja menggunakan mesin ketik (dan demi Tuhan, apa itu
mesin ketik?). Sudah dua tahun...
Sekali lagi dia melirik jam dinding. Tepat
pukul lima sore. Alarm kantor penanda jam kerja telah usai pun berbunyi di
gedung percetakan tiga lantai tersebut. Berkebalikan dengan seluruh kegelisahan
yang sedari tadi nampak sewaktu bekerja, setelah alarm berdering, Esha justru
tidak buru-buru membereskan perlengkapannya. Dia malah santai-santai saja,
meregangkan otot-otot lengannya seraya menguap. Kelima rekan sekerjanya
menatapnya. Satu yang paling penasaran, seorang gadis berparas lembut dengan rambut
selegam arang menjuntai lurus di punggung, membuka mulut untuk bertanya, “Kak
Esha gak jadi pulang?“
Tak menyahut, Esha hanya memberi tatapan keras penuh tanya pada si gadis.
“Daritadi
kakak gelisah, kusangka kakak sudah gak tahan ingin pulang...“ jawabnya.
Esha
mengabaikannya. Walaupun emosinya tidak nampak di permukaan, sesungguhnya gadis
ini membuatnya merasa tidak nyaman.
“Pulang bareng
yuk, kak?“ dengan polos gadis itu melanjutkan pembicaraan satu-arahnya.
Lagi-lagi Esha
tidak mengacuhkannya, pura-pura sibuk membereskan buku sketsa dan kotak
pensilnya, sengaja belum mematikan komputer.
“Dia masih
punya sedikit pekerjaan yang harus dilakukan untukku,“ suara lain yang menjawab
ajakan si gadis. “Beberapa desain untuk iklan propaganda yang dipesan. Maaf ya,
Malika sepertinya dia tidak bisa menemanimu pulang.“
Gadis itu
berbalik menghadap lelaki yang duduk di tengah-tengah ruangan, ekspresinya
cemberut, “Kalau begitu izinkan aku lembur juga, Bos!“
Senyum mafhum
si bos terukir, “Malika, kau tahu nanti pasti akan ada serangan malam. Meskipun
kita tidak berada di area serangan, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi
selama perang berlangsung. Aku tidak bisa membiarkan anak gadis
berada dalam bahaya,“ dengan tenang ia menjelaskan. “Kau harus pulang, Nak.
Biarkan Krisnayaka yang mengantarmu sampai ke rumah.“
Setelah beradu argumen beberapa kali,
mengajukan berbagai tawaran yang terus ditolak oleh bosnya, diselingi
rayuan-rayuan kecil nan imut yang sayangnya juga gagal, akhirnya Malika menyerah.
Melengos kecewa, dia pun pulang diantar Krisnayaka, bukannya incarannya.
Setelah si gadis rewel menghilang
(ditemani langsung oleh si bos sampai pintu bawah), si bos masuk kembali ke
ruang staf desainer, berdecak tidak sabar, “Esha, aku mengerti situasinya, tapi
setidaknya kamu harus pintar berakting di depan Malika. Dia karyawan baru,
bagaimana kalau dia mengetahui rahasia yang kita sembunyikan di kantor ini?“
***
Semua pekerja telah pulang saat rembang
petang mewarnai langit. Kelima orang staf desainer tidak satupun ada yang
pulang kecuali karyawan baru, Malika. Seusai memastikan bahwa ruangan produksi
tidak lagi ditempati, si bos kembali ke ruang kerjanya, mengedarkan pandang
seraya mengangguk. Keempat stafnya mengerti. Mereka mematikan semua lampu ruangan,
kemudian dengan langkah berjingkat perlahan menuju ke ujung koridor lantai dua.
Di sisi kanan terdapat sebuah tangga ke lantai tiga. Esha sekali lagi mengintip
melalui jendela. Dikerlingnya keempat rekannya, pertanda aman. Satu per satu
dari mereka menaiki tangga, sangat hati-hati, seolah-olah memastikan agar tidak
seorang pun dapat mengetahui keberadaan mereka.
Lantai tiga yang berada di ujung anak
tangga teratas berupa ruangan kecil berfunitur sebuah lemari dua pintu dan rak
buku. Di satu sisi, terdapat sebuah jendela dengan korden tertutup. Esha
mendekati jendela, menyingkap sedikit kordennya dan melihat bahwa di halaman
kantor mereka kosong melompong. Beberapa orang berlalu tergesa-gesa di gang
belakang, semuanya ingin segera sampai di rumah masing-masing. Mengingat
situasi yang ada itu dapat dimaklumi. Dengan jempolnya Esha memberi tanda oke,
si bos lalu mendekati lemari dua pintu yang ada di pojok seberang ruangan.
Lemari itu cukup besar, sisi kirinya menyimpan beberapa tumpuk kertas yang diperlukan
untuk staf produksi serta sejumlah tinta cetak. Sisi kanannya menyimpan dua
buah kemeja putih. Si bos membuka pintu di sisi kanan, menjangkau ke dalam
lemari kemudian mengetuk dinding lemari yang menempel ke sudut ruangan. Bunyi
ketukannya berirama, dua kali ketukan cepat diikuti tiga kali ketukan lambat.
Selewat beberapa saat, ketukan pada lemari
itu akan nampak tidak masuk akal jikalau ada orang lain selain kelima orang
staf desainer yang melihat. Apa gerangan yang mereka lakukan, tentu hal itulah
yang menjadi pertanyaan. Esha menahan napas. Baru saja ia ingin berbisik pada
bosnya, bertanya, bunyi dan irama yang sama terdengar membalas dari dalam
lemari, diikuti bunyi engsel berderit. Dinding lemari itu membuka ke arah
dalam, memperlihatkan sebuah lorong cukup gelap. Seorang wanita tua pendek
gemuk berdiri di sana, ekspresinya yang semula sedikit waspada langsung menjadi
rileks.
“Kukira kalian tidak akan datang hari
ini!“ serunya dalam bisikan girang, sinar matanya yang tua berkilau senang
penuh ketulusan. “Ayo, ayo, cepat masuk! Jangan lama-lama mengantri di sana
seperti bebek mengantri masuk kandang!“
Esha yang paling terakhir menyelinap masuk
ke dalam lemari, sebelum dia menutup pintu rahasia, ditutupnya pintu lemari
terlebih dahulu. Kemudian dia memutar tubuhnya, menyusul kelima rekannya yang
telah memasuki ruangan rahasia di mana mereka menyembunyikan empat orang sisa-sisa
dari keluarga Kerajaan Bali yang diincar oleh pemberontak penyebab perang
saudara di Indonesia.
Wanita tua yang tadi menyambut mereka di
pintu rahasia sudah beralih sibuk di dapur kecil, tampak sedang mengaduk-ngaduk
sesuatu dalam panci bersama seorang wanita lainnya yang jauh lebih muda sekitar
empat puluh tahunan. Dari wangi yang menguar dalam ruangan kecil dua lantai
itu, sepertinya sup balung sapi. Dia
berkata pada semua orang yang ada dalam ruangan, “Sebentar lagi waktunya makan
malam,“ menoleh pada si bos yang kini telah berdiri di sampingnya, “dan
sebaiknya kau tunggu saja, Yoga, tidak usah repot membantuku, aku tahu kau
lelah bekerja sehari ini. Krisnayaka, duduklah dulu di kursi, biarkan Bodhi
yang menyiapkan meja.“
“Yang bener aja, biarkan aku ngebantu
Bodhi, Bu Prami,“ keluh Krisnayaka, pemuda pertengahan dua puluh tahun dengan
rambut keriting yang diikat dalam ekor kuda, bersikeras, sudah setengah jalan
membereskan permukaan meja makan yang sangat berantakan, berhias kupasan kulit
bawang, wortel, kentang, jeruk, dan apel.
Esha mengedarkan pandangannya ke sekeliling
ruangan. Terakhir kali dia berkunjung kemari adalah seminggu yang lalu, dan
saat itu situasinya tidak menyenangkan. Dan tidak begitu banyak perubahan
signifikan pada ruangan terbatas ini. Meskipun memiliki banyak jendela, semua
ditutup, bahkan kainnya menggunakan warna hitam. Lampu dengan cahaya temaram
tergantung di langit-langit. Dapur darurat dengan peralatan masak seadanya, tak
jauh dari sana meja makan yang cukup untuk enam orang duduk berhadapan.
Beberapa barang seperti buku dan majalah bekas berserakan di dekat sofa yang
tak jauh dari pintu masuk. Terdapat dua pintu lain yang ketika dibuka akan
menunjukkan kamar tidur kecil dengan kasur bertingkat dua di dalamnya. Ruangan
ini berupa duplex, dan terdapat satu
tangga kecil yang akan membimbing menuju atap, di mana para penghuni ruangan
rahasia ini menyimpan persediaan makanan sekaligus menjemur pakaian.
Di atap itu biasanya...
Esha teringat lagi masalah yang terjadi
minggu lalu. Bukan berarti dia membuat masalah dengan semua orang yang mereka
lindungi di sini, hanya saja...
“Esha?“ wanita muda berparas keibuan yang berdiri di sisi lain Prami
berdeham penuh arti. “Bisakah kau membantuku membawakan sup ini ke atas? Dia
belum makan dari tadi siang, seharian mengurung diri di atap.“
Esha tak
bergerak. Kembali wanita muda itu berbicara, kali ini ditambah senyuman, “Kalau
boleh kukatakan, dia menunggumu.“
Tanpa
berkomentar apa-apa juga tanpa memasang raut wajah tertentu, Esha mengambil
semangkuk sup yang disodorkan Sakya. Sempat bergeming saat tangannya menerima nampan
mangkuk, meragu. Sakya tersenyum menyemangatinya. Mengembuskan napas yang
seakan bermakna ‘apa-boleh-buat’, dengan dua mangkuk sup panas mengepul Esha
melangkah menuju tangga ke atap.
Pandangan mata
sisa penghuni ruang tamu mengikuti punggung Esha, sorot masing-masing
menunjukkan rasa ingin tahu yang sangat besar. Bodhi, satu-satunya laki-laki
penghuni ruang rahasia, kakak dari Sakya, angkat bicara, “Ada yang tahu apa
yang sebenarnya terjadi antara mereka berdua?“
Pertanyaannya
menyebabkan bola mata yang lain berputar, tak sabar. “Kau sudah dua tahun
bersembunyi di sini, sudah mengenal Esha selama bertahun-tahun, masih juga
tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi antara mereka berdua?“ Sakya
geleng-geleng kepala, disambut cengiran tanpa rasa bersalah Bodhi.
Yoga tersenyum simpul, “Masa muda.“
“Bagaimana situasi di luar sana?“ tanya
Prami, mengalihkan pembicaraan, dia telah selesai menuangkan sup ke dalam
mangkuk sesuai jumlah orang yang berada dalam ruang rahasia.
Si kembar Uttara dan Uttari, dua orang
staf desainer yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara dan duduk di atas
lantai kayu di depan salah satu pintu kamar, menjawab kompak, sendu, “Tidak ada
tanda-tanda perang akan berakhir.“
“Jatah kupon beras sepertinya akan
dikurangi lagi,“ gumam Krisnayaka dari kursinya, getir, “Kalau aku berhasil
mendapat lebih dari pasar gelap, akan kuusahakan.“
“Apakah kalian tidak apa-apa?“ Sakya
bertanya, gugup. Meskipun mereka berhasil bersembunyi dari kejaran pasukan pemberontak
sampai dua tahun lamanya, tidak pernah sehari pun mereka sungguh-sungguh merasa
aman.
“Tidak usah khawatirkan kami,“ kata
Krisnayaka, menenangkan, “Kantor ini milik pasukan pemberontak, kemungkinan
mereka menebak kalian ada di sini kecil.“
“Kemungkinan ketahuan itu ada,“ bantah
Uttara, “kita harus selalu waspada. Tapi kalian tidak perlu mengkhawatirkan
kami.“
“Besok
akan kubawakan jeruk kintamani yang banyak,“ imbuh Uttari bersemangat, kentara
sekali ingin mencerahkan suasana yang menjadi semakin muram, “Uttara dan aku
mendapatkan lebih dari yang kami minta. Ah, dan nanas juga ada. Tunggulah
besok.“
“Ngomong-ngomong,“ tiba-tiba Yoga berujar
serius, lebih kepada stafnya, bukan para penghuni ruang rahasia, “kalian harus
berhati-hati terhadap Malika.“
“Siapa Malika?“ kata Bodhi, seperti
biasanya selalu bereaksi cepat jika mendengar hal-hal berbau wanita
disebut-sebut.
“Pegawai baru, kiriman dari kantor pusat,“
sahut Krisnayaka, tidak suka. “Gelagatnya mencurigakan. Aku merasa dia
mengintai kita, terutama Esha.“
“Benar, kemungkinan dia mata-mata itu
besar. Sehari sebelum dia datang kantor kita kebobolan maling,“ Yoga
mengingat-ingat, bersandar di sofa dengan satu lengan terangkat, “Dua minggu
sesudahnya kita kebobolan maling lagi… Rasanya hari itu dia izin tidak masuk
bukan?“ di seberangnya, Krisnayaka mengangguk mengiyakan. “Terlalu banyak hal
ganjil yang menyertai keberadaannya di sini. Belum lagi kondisi perang
belakangan ini semakin memburuk... Belum ada tanda-tanda kapan perang ini akan
berakhir... Kejahatan-kejahatan kecil semakin merajalela...“
Situasi menjadi semakin depresi setelah
Yoga selesai berbicara. Sebenarnya dia sama sekali tidak bermaksud untuk
membuat kegelisahan dan keresahan para penghuni ruang rahasia meningkat, hanya
saja dia merasa lebih baik untuk membeberkan fakta yang ada daripada
terus-terusan menutupi. Lagipula Yoga yakin bahwa mereka pun telah mengetahui
perkembangan perang dari radio...
Prami menepukkan tangannya sekali memecah
keheningan¾semua
kepala yang semula tertunduk lesu terangkat kaget, “Ayo, ayo, waktunya makan
malam, jangan sia-siakan kehangatan sup balung
ini. Jangan ada lagi yang berbicara soal perang ketika sedang makan. Setelah
selesai, akan kujamin kalian semua kembali ceria.“
Sakya tersenyum lemah dari kursinya.
Uttari menghampirinya lalu menepuk pundaknya, “Kita semua masih hidup di sini
dan bisa makan bersama-sama, bukankah itu yang terpenting sekarang?“
***
Esha merasakan tujuh pasang mata penasaran
mengikuti punggungnya yang perlahan-lahan menghilang di balik atap, tapi dia
tidak mempedulikannya. Dia bisa mencium wangi asam buah stroberi serta wangi
manis buah wani saat angin semilir bertiup dari atap, bercampur dengan harum
sup balung yang menguar dari nampan
yang dibawanya.
Atap masih sama berantakannya dengan yang
terakhir dilihatnya minggu lalu, boks kayu dan tong-tong berisi persediaan
makanan berjejal-jejal di sisi kiri atap dan terdapat beberapa pakaian dijepit
di tali-tali pengait jemuran yang melintang dari satu pojokan dinding ke dinding
lain. Jendela di atap mengindikasikan bahwa langit telah berubah gelap seutuhnya
meskipun jendela di dinding tertutup korden hitam. Satu-satunya penerangan
buatan adalah dari lampu minyak yang berkedip dan bergoyang suram di pojokan
atap. Seraya menunduk melewati tali-tali, kedua tangannya tetap stabil membawa
nampan, Esha berjalan menuju pojok kanan atap. Seorang gadis kurus bersandar,
matanya terpejam, dadanya naik turun dalam irama napas yang teratur. Di pangkuannya
terdapat sebuah buku¾seperti diari, pulpen, pensil, dan
berlembar-lembar kertas bertebaran di lantai. Otomatis sorot pandang matanya
yang semula cuek berubah. Bagaimana menjelaskan perasaannya, dia sendiri tidak
tahu. Rumit, layaknya teka-teki silang.
“Aktingmu payah,“ kata Esha, sinis, “aku tahu kamu cuma pura-pura tidur.
Cepet bangun, waktunya makan malam.“
Satu mata si
gadis terbuka, bibirnya mencibir, “Ini pertemuan kita yang pertama setelah
seminggu kau menghindariku. Gak ada salam yang lebih menyenangkan daripada
itu?“
“Aku gak
menghindarimu,“ Esha tidak bergerak dari tempatnya berdiri, sekitar tiga meter
dari tempat si gadis duduk. “Dan memang benar kan, aktingmu payah. Kenapa kau
tidak makan dari pagi?“ nada suaranya naik.
“Oh,
memangnya apa urusanmu kalau aku belum makan?“
“Prami dan Sakya khawatir,“ jawab Esha enteng.
“Lalu
kamu?“
“Aku cuma mengantarkan sup ini.“
Ekspresi si gadis semakin berkerut sebal mendengar
jawaban Esha. “Kamu saja yang makan, aku gak kepingin makan.“
Mendengar ini, Esha bergegas menghampirinya,
meletakkan nampan di lantai kayu kemudian ikut duduk di lantai. “Terserahmu
sih,“ diambilnya satu mangkuk, mulai menyendok kuahnya, mendekatkan ke bibir
dan menyeruput dengan berisik, “Wah ini enak sekali. Kalau kamu gak mau makan,
ya aku saja yang makan.“
Tambah mendongkol si gadis. Mulanya dia
tidak menghiraukan Esha yang sibuk menelan kuah dan mengunyah sedikit daging
yang ada di dalam supnya, namun sepertinya sup itu benar-benar enak. Dia belum
makan dari pagi, menghabiskan pagi hari dengan mengupas kentang dan siang hari
menggambar. Mendadak perutnya berbunyi, mana keras pula suaranya. Spontan
wajahnya memerah.
Esha menurunkan sendok dan mangkuknya yang
sudah kosong, meletakkannya di nampan. Dengan seringai sok menghiasi wajahnya,
dia mengangkat mangkuk sup yang satunya, mendekatkan tubuhnya dan berbisik pada
si gadis, “Kalau kamu pingin disuapin makannya, aku gak keberatan kok.“
Setelah berkata demikian, wajah Esha
tertutup kertas dan mangkuk berpindah tangan. Wajah gadis di sebelahnya semerah
kepiting rebus, Esha diam-diam tersenyum jahil. Sambil melepas kertas dari
wajahnya, dengan suara dalam dan serius Esha berkata, “Berhentilah membuatku
khawatir, Padmé.“
Si gadis tidak menyahut, terlihat
berkonsentrasi penuh menelan dan mengunyah makanannya.
“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi...
Dalam kondisi seperti ini... Makanlah ketika kamu bisa makan, jangan membuat
dirimu tambah sakit... Hanya seminggu berlalu aku tidak menjumpaimu, tapi
lihat, kamu jadi kurus begini.“
Padmé meletakkan mangkuk di atas pahanya,
wajahnya menunduk, “Aku minta maaf tidak mengikuti nasihatmu... Kau tahulah,
soal perampokan di bawah sana minggu lalu...“ sesalnya. Esha membuka mulutnya
untuk mulai berbicara, tapi Padmé memotong, “Aku tahu, aku tahu apa yang akan
kau katakan! Apa yang kulakukan itu berbahaya dan tidak bertanggung jawab.
Tidak memikirkan akibat selanjutnya, bisa membuat tempat persembunyian ini
ketahuan dan kalian tertangkap... Hanya saja,“ dia menggigit bibir, “aku tidak bisa membiarkan pencuri itu
seenaknya...
“Lalu kamu marah... Aku tidak pernah
melihatmu semarah itu... Dan kamu menghindariku, selama seminggu...“ di titik
ini suara Padmé bergetar, “dan serangan udara tiga malam yang lalu
sangat-sangat menakutkan... Kukira...“
bicaranya semakin tersendat, “Kukira sa-saat itu kami semua di-di sini akan
m-mati... Mana waktu itu k-kita bertengkar... Aku takut...takut tidak b-bisa
lagi bertemu denganmu...“
Suaranya pecah
dan air mata mengalir, butir demi butir berjatuhan di atas lantai kayu.
“Padmé,
Padmé,“ Esha memindahkan posisinya, kini setengah berlutut di depannya, kedua
tangannya meraih wajah Padmé, seraya mengangkatnya, Esha menatapnya lurus-lurus
di bola mata. “Aku di sini kan? Kamu juga di sini,“ ekspresinya saat ini
memperlihatkan keteduhan tak terperi, sesuatu yang tidak bisa didapatkan
Malika, sekeras apapun dia berusaha untuk bisa melihatnya, “Semuanya akan
baik-baik saja. Kita akan hidup sampai semua ini selesai.“
“Kita gak tahu, Esha...“ Padmé tergagap, “semuanya
bisa terjadi, “ ia tidak berniat untuk bersikap pesimis, hanya realistis. “Aku
takut tiap saat. Bagaimana nasib kami, bagaimana jika perang ini tidak
berujung... Bagaimana kami telah menyeret-nyeret kalian dalam masalah besar...
Kalian mempertaruhkan hidup kalian untuk kami. Membayangkan apa yang akan
kalian terima seandainya persembunyian ini ketahuan¾“
“Hei, Padmé, dengar,“ Esha menghentikan
ocehannya, menggenggam lebih erat wajah Padmé, “Aku sudah pernah bilang kan,
jangan memusingkan apa yang akan terjadi pada kami. Kalau kamu bahas itu lagi,
aku sungguhan bakal marah. Murka.“
Tangisan si gadis berhenti, meninggalkan pipi sembab bekas aliran air mata
plus mata yang sangat merah.
“Aku takut,
Esha,“ gumamnya, tangannya meraih tangan Esha yang memegang kedua pipinya,
gemetaran, “Apakah aku dan saudara-saudaraku bisa hidup sampai perang usai?
Bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di kepalaku. Apa aku masih bisa
berjalan di bawah sinar matahari? Bisakah suatu saat nanti aku kembali berjalan
di atas pasir, merasakan angin bertiup yang menerbangkan rambutku? Bisakah
suatu saat nanti aku pergi ke gunung dan melihat pemandangan danau berkabut?
Bisakah aku melanjutkan cita-citaku menjadi seorang penulis sekaligus
illustrator?“ dia nampak sangat nelangsa dan menderita. “Sering
sekali aku berpikir... apakah aku dan saudara-saudaraku tidak berhak hidup?“
“Lalu bagaimana denganku?“ bisik Esha,
menanggapi, “Aku dan staf desainer bekerja untuk pasukan pemberontak¾kami
bekerja untuk orang jahat! Kami membuat berita-berita persuasif palsu untuk
memikat rakyat agar bergabung menjadi pembunuh saudaranya yang lain. Apakah aku,
orang jahat ini, berhak hidup?“
Padmé nampak shock mendengar perkataan Esha. “Bukan itu maksudku! Kalian dipaksa
dan diancam¾“
“Maka dari itu, jangan pertanyakan soal
siapa yang berhak hidup atau tidak, Padmé. Kami melakukan ini karena kami
percaya akan pengharapan. Kami yakin bahwa masa-masa sulit ini akan berakhir,
dan bahwa apa yang kami lakukan sekarang ini, membantu kalian bertahan hidup,
adalah benar,“ kali ini dia tersenyum menguatkan, “Percayalah, Padmé, semuanya
akan baik-baik saja. Kita akan hidup.“
Kepercayaan, keyakinan, dan keteguhan;
Padmé melihat Esha memiliki semua itu. Dia tidak pernah berkata-kata seolah
membual maupun menyombongkan diri, ataupun mengucapkan kata-kata manis tetapi
penuh dusta. Tidak, dia tidak pernah seperti itu. Keberadaan serta kehadirannya
memberikan ketenangan tersendiri, entah mengapa itulah yang dirasakan Padmé.
Terdengar suara langkah kaki mendekat dari
tangga, langsung saja mereka berdua melepaskan diri dari posisi semula, kembali
bersandar di dinding, berupaya bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
Padmé menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, menghilangkan rasa canggung.
“Hoi, Esha,“ kepala Uttara menyembul dari
balik jemuran, tersenyum polos, “kalian sudah selesai makan?“
“Ya,“ jawabnya sambil menyusun dua mangkuk
sup kosong itu menjadi satu tumpuk di atas nampan, “Aku baru mau turun ke
bawah.“
“Aih, gak usah repot-repot!“ ganti kepala
Uttari muncul dari balik punggung kakaknya, senyum menggoda serta menuduh
menghiasi bibirnya, “Kalian lanjutkan saja obrolan kalian!“ rambutnya yang
panjang bergelombang berkibar saat dia berlari-lari kecil menuju tempat Esha
dan Padmé untuk mengambil nampan. “Kami pulang duluan ya, Padmé. Santai-santai
saja di sini, Esha,“ tambahnya, mengedip usil, lalu kabur turun ke bawah
bersama saudara kembarnya.
Suasana menjadi kikuk setelah si kembar
menghilang. Esha bisa mendengar sayup-sayup suara mereka berdua memberi salam
pada semua orang di lantai bawah sebelum akhirnya keluar melalui pintu rahasia.
Begitu fokusnya beralih, kembali ke tempatnya duduk, dia menoleh dan melihat
Padmé asyik menggoreskan pensilnya di atas kertas. Dinding di pojok kanan itu
hampir seluruhnya tertutup oleh kertas gambar, yang semuanya dibuat oleh Padmé.
Mata Esha menyusuri kembali kertas-kertas tersebut satu per satu, melihat
gambarnya dengan lebih seksama.
Ilustrasi pemandangan perbukitan dan pantai yang bisa dilihat dari balik
korden hitam. Taman luas beserta kolam-kolam dengan bunga teratai dan lotus
yang terapung-apung. Matahari yang bersinar. Pegunungan serta danau. Sebuah
rumah. Lanskap perkotaan lengkap dengan taman. Sketsa wajah-wajah orang.
Semakin diteliti, Esha mengenali wajah-wajah yang ada di atas kertas putih
tersebut. Sepasang perempuan dan laki-laki yang diketahuinya sebagai orangtua
Padmé. Di kertas lain terdapat sketsa paduka raja yang sebelumnya, paman Padmé
sekaligus ayah Sakya dan Bodhi. Banyak gambar-gambar anggota keluarga kerajaan
lainnya. Sekumpulan gadis-gadis yang sepertinya adalah sahabat-sahabat Padmé. Prami
dan Yoga yang sedang tertawa. Bodhi yang sedang tertidur. Sakya yang sedang
membaca. Uttara dan Uttari dengan cengiran mereka yang sama persis. Sketsa
dirinya sendiri, dengan tulisan tertera di bawah gambar berupa demikian: “Teman dan keluarga adalah kekuatanku.
Sesederhana itu.“
Melihat semua ini, Esha memahami, sungguh
memahami bagaimana perspektif Padmé. Dunianya yang terbatas oleh tembok dan
korden hitam. Malam dan siang ditemani rasa horror dan takut akan kemungkinan
terbongkarnya tempat persembunyian mereka. Teman-temannya yang dulu begitu
mudah ditemui namun kini tidak lagi. Orangtua yang selamanya tidak lagi bisa
dijumpai. Kebebasan yang terenggut. Berusaha dan bersabar, bertahan hidup di
dalam kurungan juga keterbatasan. Serta kerinduan yang amat sangat untuk dapat
kembali menjejakkan kaki di atas tanah. Penantian selama dua tahun... yang begitu
panjang. Bahkan tidak diketahui kapan berakhir.
“Kamu tahu gak,“ kata Padmé memutus
perenungan Esha, tangannya tetap bekerja, “aku belum punya gambarmu terpajang
di sana.“
“Oh, benar juga,“ Esha menimpali, setuju, terkekeh.
“Boleh aku menggambarmu sekarang?“
tanyanya, berpaling menatap Esha. Sketsa yang barusan dikerjakannya sudah
selesai¾gambar
empat ekor burung yang sedang terbang menuju pelangi. Di sisi kanan atas kertas terdapat tulisan, “Siang ini pun langit begitu indah. Suatu
hari nanti, kami pun pasti akan bebas.“
Tanpa
menjawab, Esha berdiri, memindahkan posisi duduknya ke hadapan Padmé. Kemudian
dia turut mengeluarkan buku sketsa dari dalam tasnya sendiri. “Aku juga mau
menggambar. Gak apa-apa kan?“
Selama beberapa saat mereka berdua diam, tenggelam
dalam dunia gambar masing-masing. Sekali-kali mengangkat dagu, memperhatikan
objek gambar dengan tajam. Padmé-lah yang pertama kali memecahkan kesunyian.
“Nanti... kalau aku sudah bisa keluar...“
ujarnya, menyimpan harap dalam suaranya, “Kamu mau temani aku berjalan-jalan di
Taman Ujung di sebelah gak?“
Diliriknya si gadis. Warna merah perlahan
merambati wajahnya.
Esha tidak mampu menahan senyumnya, “Iya.“
“Beneran?!“ Padmé terlihat sangat girang.
“Iya,“ Esha mengangguk-angguk,
“Sebenarnya... aku ingin mengusulkan sesuatu padamu dan semua teman-teman lain.
Ini tentang tempat persembunyian.“
“Apa itu?“
tiba-tiba Padmé bereaksi panik, “Apa tempat persembunyian ini ketahuan?“
“Bukan itu,“
Esha berhenti menggambar. Ditatapnya Padmé dengan serius, “Dengar, aku dan
Krisnayaka sejak beberapa bulan lalu menjalin kontak dengan orang-orang yang sama seperti kami,
sambil mengumpulkan informasi. Kamu tahu kan, sejak kita kedatangan pegawai
baru di kantor, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kami berhasil
mendapatkan informasi bahwa di Borobudur sebagian besar anggota keluarga
kerajaan Yogyakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan bersembunyi.“
“Di
Borobudur?“ mata Padmé melebar kaget. Meskipun begitu, tangannya tidak berhenti
bekerja, masih tetap asyik menari-nari di atas kertas.
“Ya. Supaya tidak ketahuan, mereka
menggunakan sihir.“
“Tapi!“ sela Padmé, lebih terkejut, “sihir itu kan terlarang! Ilmu
terlarang!“
Esha berdecak
tak sabar, “Menyembunyikan anggota kerajaan juga terlarang, bukan?“ dia
melanjutkan penjelasannya, “Aku yakin Yoga sudah menjelaskan pada mereka semua
di bawah tadi. Rencanaku adalah memindahkan kalian
berempat ke sana. Dengan menggunakan sihir.“
“Dengan sihir? Tidak ada di antara kita
yang pernah mempelajari sihir!“
“Ada,“ bantah Esha.
“Konsekuensinya besar!“ Padmé tidak
terlihat senang. “Nyawa mereka yang menggunakan sihir akan terancam, bahkan
mungkin mati! Tidak, aku tidak setuju. Lebih baik aku diam di sini dan menunggu
perang selesai!“
“Padmé,“ Esha berusaha membujuk.
“Gak, Esha, aku gak mau. Kalian sudah
mempertaruhkan nyawa dengan menyembunyikan kami di sini. Aku tidak berhak
merampas¾“
Terdengar suara dentuman keras dari
kejauhan. Perdebatan kecil mereka terpaksa terhenti. Tak lama, terdengar suara
mesin-mesin pesawat berdenging.
“Serangan malam!“ bisik Padmé, benar-benar
ketakutan. “Tidak, aku¾kita harus turun¾“
belum selesai ia berbicara, terdengar suara ledakan-ledakan besar. Dari jendela
atap, Esha melihat kilatan-kilatan pesawat tempur yang terbang melintasi
mereka. Padmé meringkuk ketika suara yang seperti pesawat jatuh terdengar
berdebam sangat keras, tidak jauh dari lokasi persembunyian mereka. Ia
merintih. “Ki-kita harus turun ke bawah,“ dia berusaha berdiri, kakinya gemetar
keras. “Kita harus sembunyi¾“
DUAAAAAAAAAAAAAAAAAR.
Bangunan bergetar. Esha mendadak gelisah.
Daerah ini meskipun cukup dekat dengan area perang, tapi tidak semestinya efek
dan getaran yang terasa sekeras ini. Bekas luka di bawah matanya terasa gatal. Ada
apa gerangan...?
Padmé hendak berlari menuju tangga,
sayangnya karena ia gemetar begitu hebatnya, ia pun limbung dan terjatuh.
Kertas-kertas berterbangan. Ledakan lagi. Cahaya merah-jingga mencerahkan
kelamnya langit malam. Dalam kekacauan itu, saat Padmé membuka matanya, ia
mendengar Esha berbisik, “Bukankah aku telah berjanji akan menyelamatkanmu?
Walau harus mati sekalipun, aku akan menyelamatkanmu.“
Lengan Esha telah melingkupinya,
memeluknya.
“Tidak ada kasih yang lebih besar daripada
kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya,“ kata Esha,
suara dentuman dan tabrakan melatari ucapannya. “Itu kalimat favoritmu kan? Kau
mengajarkannya padaku, Padmé. Aku pasti akan menyelamatkanmu.“
Dalam dekapan Esha, Padmé
menggeleng-geleng. Mendengar ucapannya barusan, ia merasa Esha sedang
mengumumkan kesiapannya untuk mati. Demi dirinya. Begitu mudahnya dia berkata begitu. Mengapa? Tidak. Jangan. Ia ingin berteriak, mengalahkan
deru mesin yang berkecamuk, debum benda-benda keras yang berjatuhan, serta
kilatan cahaya yang membutakan dari langit, mengatakan pada Esha bahwa¾
BLAAAAAM.
Suara pintu terbanting diikuti derap
langkah kaki. Begitu banyak langkah kaki. Disusul bunyi tembakan. Sontak Esha
dan Padmé membeku. Suara berikutnya yang berbicara membuat jantung mereka
terlonjak, “Nah. Sudah waktunya permainan petak umpet ini diselesaikan, bukan?“
Suara itu lantang, mampu mengalahkan
keriuhan yang terjadi di luar sana. Walaupun nada bicaranya terdengar keras dan
kasar, mereka mengenali dengan baik warna suaranya. Tidak pernah dalam mimpi
terburuk sekalipun Esha membayangkan akan skenario seperti ini, sama sekali
tidak. Tanpa melepaskan tangan Padmé, ia bergegas berlari menuruni tangga.
Di pertengahan anak tangga, kakinya
terhenti. Jikalau boleh, Esha ingin tidak perlu mempercayai penglihatannya,
ingin menganggap bahwa orang yang berdiri di depan daun pintu yang sudah
diledakkan itu hanyalah sekadar bayang-bayang dan fatamorgana padang pasir.
Tapi ini bukan padang pasir, ini ruang rahasia. Seringai licik terukir pada
wajah yang biasanya diketahui mereka sebagai wajah naif dan polos.
Penampilannya dengan kostum serba-biru ala tentara pemberontak begitu gagah, di
punggungnya pun tersandang sebuah senapan besar. Di belakangnya berdiri delapan
orang tentara lain dengan masker dan gugel menyembunyikan wajah mereka¾semuanya
pun turut membawa senapan, sementara di deretan paling belakang, berdiri
seorang gadis yang juga berpakaian serba-biru. Sekali lagi, bangunan bergetar
hebat.
“Uttara,“ gumam Yoga, terdengar lebih
seperti geraman.
Padmé tidak bisa berkata-kata. Orang yang
barusan menyapanya, orang yang selama dua tahun ini selalu membantunya dan
keluarganya, membawakan buah-buahan serta membantu menyelundupkan beberapa
majalah juga kertas baginya untuk digunakan menggambar. Orang yang sangat
dipercayainya, yang selalu menghiburnya dengan kebaikan dan kepolosannya, kini
berdiri di sana layaknya orang asing.
Bodhi telah berdiri di hadapan Prami dan
Sakya, sedangkan kedua orang itu sama shock-nya
seperti yang lain. Krisnayaka membelalakkan matanya lebar-lebar, sedangkan
secara instingtif Esha mengambil posisi bertahan, satu tangannya yang bebas
meraih ke belakang sakunya, mencari-cari pisau lipat yang tak pernah alpa
dibawanya.
“Kita tidak ingin ada yang terluka,
bukan?“ kata Uttara ringan, seakan-akan mereka masih berada dalam situasi
persembunyian dan mereka mendiskusikan strategi yang tepat untuk menyiapkan dan
mencari bahan makanan untuk persediaan selama beberapa minggu. “Untuk informasi
saja, gedung ini sudah dikepung oleh pasukan pemberontak di segala arah dan
perimeter sepanjang tiga ratus meter. Rasanya tidak perlu kuingatkan bahwa
tidak ada gunanya kalian mencoba kabur atau mencoba mengaktifkan benda yang
akan kalian gunakan untuk mengungsikan para tahanan kerajaan ini.“
Rahang Yoga mengeras, “Mana Uttari?“
“Rasanya aku
tidak perlu memberikan informasi apapun untuk pengkhianat,“ jawab Uttara
dingin.
Yoga
kehilangan kontrol dirinya, ia menerjang maju seraya berteriak, “KAU KIRA SIAPA
YANG PENGKHIANAT DI SINI?!“
Dia berhasil
menjatuhkan Uttara hingga terbaring di atas lantai, sementara itu secara
simultan, gadis yang sedari tadi berdiam diri di balik bayangan tentara lain
telah maju ke depan, mengacungkan moncong pistol kecil di pelipis Yoga.
“Lepaskan
Kapten Uttara atau mati, pilih mana?“
Yoga menggertakkan giginya, “Malika...“
“Jauhkan moncong pistolmu dari Yoga atau mati, pilih mana?“
Mendengar
pertanyaan itu, Malika terkaget-kaget, tidak menyadari bahwa Sakya telah
berdiri di belakangnya, dengan jari telunjuk dan tengah mengarah tepat pada
lehernya. Ada aura mengerikan menguar keluar dari Sakya, pandangan matanya yang
selalu lembut berubah menjadi sekeras berlian¾keindahan yang kokoh dan tajam.
Terdengar
suara senapan terangkat dan bunyi pelatuk yang siap menembak. Sakya mengedarkan
pandangan matanya dan melihat empat dari delapan orang telah mengambil posisi
di samping Prami, Bodhi, Krisnayaka, dan Esha sementara empat moncong senapan
mengarah tepat ke padanya.
“Jangan gegabah,
Tuan Putri Sakya Munidewi,“ dari bawah pitingan Yoga, Uttara berkata tenang,
“Sudah kubilang bukan, tempat ini telah dikelilingi pasukan. Aku tidak sebodoh
itu tidak mengantisipasi keahlianmu. Pasukan yang kubawa masuk ke sini adalah
orang-orang pilihan. Salah langkah sedikit saja, keluargamu akan mati.
Kusarankan kau menyerahkan diri.“
Padmé memegang
tangan Esha erat-erat ketika melihat semua kejadian yang sedang berlangsung di
hadapannya. Mereka kalah jumlah, dan dia tahu sekuat apapun Sakya, sekalipun
mereka semua berhasil melarikan diri dari gedung ini, mereka masih harus
melewati berodongan peluru yang akan menyambut mereka nanti di pintu depan.
Suara-suara perang masih terdengar ribut ricuh di kejauhan akan tetapi ia
sekarang memahami bahwa segala ledakan yang terjadi di sekitar bangunan ini
merupakan pengalih perhatian agar mereka yang bersembunyi tidak menyadari bahwa
lokasi persembunyian ini telah terkepung.
Dari seberang
ruangan, Prami dan Bodhi memberi anggukan kecil pada Padmé dan Sakya. Berjuta
emosi tersampaikan melalui anggukan kecil itu. Kelelahan, kekuatiran,
ketakutan, ketegangan, keputusasaan, kehilangan, kesedihan, serta kebahagiaan.
Tidak bisa dipungkiri, meskipun hanya secuil; hanya seukuran sebuah atom,
meskipun kebebasan itu semu, kebahagiaan berupa dapat kembali menghirup udara
luar itu muncul. Walaupun akhir dari perjalanan panjang itu sudah dapat
terlihat akhirnya seperti apa.
Sakya
menurunkan tangannya seraya mundur, membiarkan Malika berdiri kemudian
memborgol tangannya. Yoga, Prami, Bodhi, dan Krisnayaka mendapat perlakuan yang
sama. Padmé melepaskan tangannya dari genggaman Esha. “Sudah selesai,“
bisiknya.
Esha
menundukkan wajahnya.
“Pilihan yang
bijaksana,“ kata Uttara datar setelah ia menegakkan diri, tanpa berekspresi
menatap kolega-koleganya, menangkap penghuni ruang rahasia beserta orang-orang
yang membantunya. Esha dan Padmé belum diborgol¾saat salah satu tentara mendekati mereka, sedangkan
tahanan lain sudah setengah didorong paksa untuk keluar dari ruang rahasia,
terjadilah ledakan besar. Ruangan mereka diserbu meriam.
Kekacauan
terjadi. Asap dan abu memenuhi udara. Bau hangus. Serpih-serpih kayu
berjatuhan. Selamat dari situasi membahayakan jiwa tersebut, Esha kemudian
memanfaatkan keadaan tersebut dengan berlari kembali ke atap beserta dengan
Padmé.
“Esha,
sudahlah, kita harus menyerah¾“
“Tidak, Padmé.“
Mereka telah sampai di puncak tangga.
Padmé memaksa untuk melepaskan genggaman Esha dari tangannya, “Tapi lihat
situasinya¾“
Esha berbalik, “Saya tidak mau menyerah,
Yang Mulia! Saya tidak bisa!“ dia berlutut, “Saya mohon, biarkan saya
menyelamatkan Anda. Saya sudah bersumpah akan menyelamatkan Anda apapun yang
terjadi!“
“Esha, jangan begini...“
“Dengan segala hormat, biarkan saya
menyelamatkan Anda, Tuan Putri Padmani Agnikana.“
Bangunan dan tiang penyangga atap merapuh
akibat ledakan tadi, pelan-pelan lantai dan atap mulai rontok berjatuhan. Padmé
memandang sedih pada sekelilingnya. Atapnya yang selalu menjadi tempat
pelariannya, tempatnya bersembunyi, tempatnya menuangkan kegelisahan.
Dipandanginya dinding di pojokan tempat gambar-gambarnya terpajang. Tidak lama
lagi api akan melalapnya habis. Di kakinya dia melihat buku sketsanya dengan
gambar Esha terpampang, telah selesai sejak tadi sebelum serangan udara
dimulai. Dia tersenyum lalu mengambilnya.
“Berdirilah, Ksatria Esha Vairocana,“
gumamnya seraya merobek lepas kertas gambar tersebut. Ada wibawa dalam suaranya
dan itu membuat Esha sungguh berdiri tanpa melawan. Semakin banyak atap yang
berjatuhan, di satu sisi dinding kayu telah penuh dirayap api. Mereka saling
bertatapan, “Aku tidak bisa membiarkanmu mati melakukan sihir demi menyelamatkanku,
Esha. Tidak ada kasih yang lebih besar... Aku
tahu itu. Tapi aku tidak akan membiarkanmu mati demi aku. Tanpa perlu kau
mati aku sudah tahu sebesar apa kasihmu padaku.“
Padmé menciumnya.
“Jangan mati demi aku, Esha,“ bisiknya
tegas, meletakkan kertas terlipat persegi pada tangan Esha, “Hiduplah, demi
kita berdua.“
Suara letusan pistol. Beruntun. Empat
kali.
Malika telah muncul di puncak tangga.
Padmé melihat
dengan ngeri saat darah mulai muncul di kaus Esha dan celananya. Dunia terasa
seperti berputar.
Jeritan pilu
membelah malam.
Air mata mulai
merembes, Padmé segera meraih Esha yang terjatuh, namun Malika merenggutnya
dari sana dengan kekuatan yang bisa dikatakan tidak normal, bahkan bisa
dibilang ia setengah menyeret Padmé ke dalam nyala api. Berontak sekuat
bagaimanapun tidak dapat membebaskannya.
Kutukan atau
caci maki apapun yang ingin ia lontarkan pada Malika rasanya tidak akan mampu mengobati
rasa perih yang mendera dalam hati Padmé. Pengkhianatan serta kepedihan yang
terjadi pada malam ini telah melukai hatinya sedemikian dalam, dan kini dia
tanpa daya menyaksikan Esha tertimbun kayu dan api. Mati.
Mati. Mati.
Mati. Mati.
...mati...
Sembari
melewati api yang membakar seluruh gedung, Malika¾yang secara misterius mampu melangkah melewatinya dengan
aman, begitu pula dengan Padmé yang diseretnya¾ berkata dingin pada earphone
di telinganya, “Berhasil mengamankan sang tuan putri. Ksatria sudah tewas,
sesuai perintah.“
“Kerja bagus,
Malika,“ kata Uttara, mengawasi gedung percetakan yang terbakar dengan aman
dari dalam vimananya. “Segera kemari, kita harus kembali ke
kantor pusat. Pekerjaan belum usai.“
“Siap.“
***
Gedung percetakan itu telah terbakar
seutuhnya. Tidak ada seorangpun yang berniat memanggil pemadam kebakaran. Tidak
ada seorang pun yang mempedulikan gedung tersebut. Para penduduk sekitar telah
mendengar cerita bahwa kebakaran itu disebabkan oleh pasukan pemberontak, itu
berarti lebih baik membiarkan saja gedung tersebut hangus dan hancur.
Di tengah nyala api jingga di suatu tempat
di dalam gedung yang berantakan, terdapat sebuah tubuh yang anehnya tidak
terbakar, padahal api menari-nari di sekelilingnya, melahap habis segalanya
yang mampu dibakar. Dia terbaring di atas genangan darahnya sendiri. Luka-luka
tembaknya secara ajaib berangsur-angsur sembuh. Tubuhnya terbungkus sinar putih
kebiruan.
Terbatuk pelan, dia membuka matanya.
Pupilnya telah berubah, menyempit seperti pupil ular. Bahkan warna matanya yang
semula hitam berubah menjadi biru. Dengan sangat perlahan ia bangkit berdiri.
Melemaskan otot-ototnya. Kemudian dia menyadari bahwa dalam genggamannya
terdapat kertas terlipat. Ia membukanya dan mendapati sketsa wajahnya terlukis
di sana. Satu kalimat tertulis di bawahnya: “Untuk
Yang Terkasih.”
Jari-jarinya yang bebas mengepal. Tidak
akan lalai lagi, dia berjanji.
Akhirnya dimulai, dihelanya napas panjang.
“Padmé,
tunggulah aku.“
To be continued...
Written
script © Erinda Moniaga 2013
Denpasar,
October 4 2013