“Target
berhasil melewati sektor Rho! Saya ulangi, target¾“
“Tahan
dia! Halangi dia! Siapapun yang berada di dekat sana, tahan dia! Adakah yang
bisa mendengarku?!“
“Pak,
dia berhasil merobohkan semua penjaga di depan sektor Sigma!!“
“Tidak
ada yang sanggup menghentikannya, Pak!!!“
“Target
hampir mencapai Level Z!!“
“KUBILANG
TAHAN DIA!!!“
“Siap!“
Direktur
Biro Investigasi Republik secepat kilat berlari menuju sektor Sigma. Dari
bunyi-bunyian berisik seperti suara baku hantam yang terdengar dari earpiece di telinganya, dia bisa
mengetahui bahwa sekretarisnya sedang bertarung. Dia tidak mau memikirkan
hasilnya karena dia mengetahui benar seberapa baik kapasitas agen yang dilawan
sekretarisnya. Gedung sektor Sigma sudah nampak, ada banyak tubuh-tubuh
bergelimpangan di depan sana, antara pingsan atau berada dalam keadaan trans
setelah dimantrai. Direktur berlari memburu.
“Ta-target
berhasil me-melewati sa-saya... me-menuju Level Z, ruang empat puluh empat...“
“SIAPAPUN
DI RUANG EMPAT PULUH EMPAT, HENTIKAN DIA!!!“
Jantung
sang direktur berderu. Tidak seperti biasanya seorang agen, bahkan dengan
posisinya sebagai direktur dan pimpinan, merasa panik. Hampir semua
agen-agennya bergeletakan di sepanjang jalan gedung sektor Sigma, seolah-olah
mereka agen level bawah yang belum terlatih, bukannya agen level tinggi yang
sudah melalui sekian banyak pengalaman mengerikan mengancam jiwa namun tetap
bertahan hidup. Anak itu serius.
Sekretarisnya
terbaring di sisi pintu ruang empat puluh. Dengan lemas dia mengangkat tangan
kirinya, menunjuk ke atas seraya berbisik, “Ruang mesin waktu, Pak.“
Semakin
mendekati ruang empat puluh empat, semakin banyak tubuh-tubuh para agen pingsan
yang kalah tak sanggup menghentikan si target. Sang direktur akhirnya mencapai
ruang empat puluh empat, ruangan dengan berderet-deret tabung-tabung transparan
menempel di tembok, satu panel pengoperasian berdiri di tengah-tengah ruangan.
Matanya melebar, peluh menetes. Satu mesin telah berputar cepat di tembok sisi
kanan ruangan. Dia menghambur meraih panel berisi tombol-tombol yang digunakan
untuk mengoperasikan mesin waktu, meninju tombol merah besar dengan huruf ‘X‘
tertera di sana keras-keras.
“AKSES DIBATALKAN,“ kata suara statis dari mesin. “PERJALANAN WAKTU MENUJU
TAHUN 1926 DIBATALKAN.“
Mesin berupa
tabung itu berhenti berputar perlahan-lahan, sang direktur mengembuskan napas,
menunduk, kedua tangannya mencengkram pinggiran panel. Sepertinya masih bisa...
Suara yang
berikutnya muncul dari earpiece-nya
membuat jantung sang direktur nyaris berhenti berdetak. Bukan suara sang
sekretaris. “Maafkan aku, Pak Direktur, aku pergi dulu.“
Derak statis.
Sang direktur mematung. Tabung yang sudah berhenti berputar di hadapannya
kosong.
Suara
berikutnya yang muncul adalah suara sekretarisnya, nyaris berteriak, namun
tercekat dan serak “Pak, pe-perpindahan terjadi di atap gedung sektor Sigma...
Dia...“ terdengar suara menelan ludah, “Dia menggunakan Jembatan Pelangi.
Dia... Gayatri... sudah pergi.“
***
Bebauan yang manis
menyengat menyebar di udara. Bukan bau yang disukai Nara. Apa yang dihirup
indra penciumannya kini mengingatkannya pada wewangian bunga melati yang nyaris
membusuk, dan secara otomatis mengingatkannya pada kuburan.
Dia menengadahkan wajahnya yang sedari
tadi menunduk kelelahan. Dia melayang-layang sekitar satu meter di atas permukaan
air, terperangkap dalam penjara transparan berbentuk bola, terikat kedua tangan
dan kakinya, terduduk lemas. Sepasukan jiwa-jiwa pengembara melayang-layang di
sekelilingnya; api jiwa itu berwarna biru gelap, segelap samudra yang tidak
beriak. Permukaan danau Batur tenang dan licin mulus laksana permukaan kaca
berwarna hijau. Gunung Batur berdiri kokoh dan megah mengelilinginya, sementara
bulan purnama dengan warna kuning gading keemasan menggantung tinggi di langit.
Ketenangan yang begitu mistis dan tidak wajar merayap di udara, menyebar
perlahan, menyebarkan rasa ngeri ke setiap pelosok. Bahkan makhluk-makhluk dari
dunia lain dengan kekuatan magis rendah tidak semuanya berani mendekat ke pura
kecil yang berada persis di tengah-tengah danau.
“Bukankah bulan malam ini begitu indah?“
Mendengar suara lembut itu, Nara
menelengkan kepalanya sedikit ke belakang.
“Bagaimana kabarmu di sana? Kuharap kau
berhenti berusaha menyetrum dirimu sendiri,“ sosok itu berjalan perlahan hingga
berada dalam jarak pandang Nara, di sisi kirinya. Dia berdiri di tepian kolam
seakan-akan melayang. “Aku masih membutuhkanmu hidup. Sebentar lagi, paling
tidak.“
Mau tak mau mata Nara membelalak. Pertama
kali bertemu, dia yakin orang itu manusia, namun sekarang tidak lagi.
Maksudnya, bukan dari rambut hitamnya yang bergaris-garis putih keabuan, bukan
dari pakaiannya yang serba putih, bukan dari fakta bahwa dia terus-terusan
menyeringai sinting, bukan. Wajah yang sedang menatapnya dari sisi kiri kolam
itu perlahan berubah. Dahinya semakin lama semakin menonjol, matanya semakin
membesar, dan keempat gigi taringnya makin lama makin bertambah panjang dan
meruncing secara tidak wajar.
Sosok itu kembali berjalan menyusuri
tepian kolam. Bayangan bulan hampir persis berada di tengah-tengah kolam.
“Sulit sekali untuk bisa mencapai masa ini, kau tahu. Aku sudah berkelana ke
seluruh pelosok nusantara Indonesia untuk mencari artefak ini,“ satu tangan
dengan jemari berkuku panjang mengulur, menggapai seberkas api biru yang
melayang-layang, menatap penuh sayang seolah-olah api biru itu anaknya sendiri,
“Sama sekali tidak kukira ternyata ada di Bali. Dan telah terbenam di dasar
danau, membuatku repot harus berwisata ke masa lalu untuk bisa mendapatkannya,“
langkahnya terhenti, dia kini berada di seberang kolam, berdiri menghadap Nara.
“Dan setelah aku mendapatkan lokasinya, ternyata benda ini tersegel. Jadi,
dengan hati terpaksa aku membobol markas kalian untuk mendapatkan keris ini.“
Nara tidak berminat memotong monolog yang
dilakukannya. Dia memperhatikan sosok itu mengeluarkan sebilah keris dari balik
punggungnya, mengangkatnya, “Keris pusaka legendaris dari zaman Kerajaan
Singhasari, milik Ken Arok, hasil karya Empu Gandring yang termashyur. Arkeolog
dari kalangan akademisi menganggap semua yang tertulis di Pararaton hanyalah
kisah, tapi mereka tidak tahu...“ tawanya berderai, bulu kuduk Nara meremang,
“semua kisah-kisah itu nyata. Dan inilah tumbal yang diperlukan untuk membuka
segel,“ dengan keris itu dia menunjuk ke penjara transparan lain yang juga
melayang di dekatnya, di sisi seberang penjara Nara. Lelaki yang terkurung di
dalamnya nampak tidak sadarkan diri.
“Hei,“ Nara berkata kalem, seolah-olah
sedang menyapa pedagang di kios koran, tapi dari perubahan ekspresinya,
emosinya yang tersulut nampak jelas, “jangan berani-berani kau melibatkan Aria
dalam urusan ini.“
“Ah, kulihat kau sudah mulai bersuara.“
“Kita selesaikan urusan kita yang
tertunda. Lepaskan aku dari kurunganmu yang menyedihkan ini dan hadapi aku.“
“Penjara Putih milikku yang kausebut
menyedihkan itu sudah menyerap paling tidak tiga per empat kekuatanmu, anak
muda.“
“Hmph, memangnya kau tahu batas kekuatanku
seberapa? Tidak usah berlagak. Keluarkan aku dari sini¾jangan berani-berani kau mengganggunya!!!“
ketenangan Nara terhapus, tiba-tiba dia melempar badannya ke depan, geram, saat
melihat Penjara Putih Aria ditarik secara magis kembali ke tepi. Kuku jemari
yang panjang mencengkram pinggirannya. “KAU¾“
“Dasar pembohong.“
Seandainya bisa tergelincir jatuh, Nara
sekarang pasti sudah jatuh ke kolam. Dia terkejut melihat kepala Aria
terangkat, mata yang penuh kebencian memandangnya lekat. “Pembohong? Maksudmu
apa, Aria?“
“Orangtuamu membunuh orangtuaku,“
desisnya, suaranya terdengar berat dan dalam, seperti tenggelam dan menggema
menggelegak dari dasar air yang gelap dan dingin, “insiden di perairan Laut
Banda, di tengah badai itu... dan yang kembali ke markas besar hanya
orangtuamu,“ kedua bola mata Aria bergerak ke sisi kiri bawah, lalu terpejam,
tersenyum pahit. “Ini tidak... adil, Nara.“
“Aria, apa yang dia katakan padamu?“
sambar Nara, mengalihkan tatapannya pada sosok putih yang berdiri sambil
mencengkram tepian Penjara Putih Aria. “Jangan percaya hal-hal busuk yang
dikatakannya. Kau tahu faktanya bahwa¾“
“TAPI AKU TIDAK TAHU!“ dari seberang sana,
Aria berseru lantang dan pedih. “AKU TIDAK TAHU APA-APA! Fakta yang kutahu
orangtuaku mati tidak wajar, saat menjalankan misi bersama orangtuamu! Tidak
ada yang berniat memberitahuku apapun! Aku bahkan tidak yakin apakah kita ini
benar-benar bersahabat...“
“Aria, Ariaku yang manis,“ dengan sengit
Nara menyaksikan sosok putih itu mendekatkan bibirnya ke telinga Aria, berbisik
manis dan mendayu-dayu, membujuk, dan penuh racun, “sudah kukatakan padamu,
kuceritakan dengan detil apa yang terjadi di sana, karena saat misi itu terjadi
akulah saksi mata di sana.“
Bersamaan dengan itu, asap berwarna biru
kehitaman mengalir keluar dari ujung-ujung kuku panjangnya, melingkari Aria
dari bawah sampai atas, kemudian merasuki si lelaki muda.
Mata Nara menyipit, giginya menggertak,
“Kau¾“
Sosok putih itu melepas cengkramannya,
ganti mengibaskan tangan ke udara, mengarahkannya persis ke Nara, sederet
mantra sihir digumamkannya hingga Penjara Putih Nara bersinar.
“Selagi kita menunggu Bulan Biru muncul,“
katanya, “mari kita adakan sedikit pertunjukan menarik.“
Setengah dari api-api jiwa kebiruan yang
melayang-layang mengelilingi mereka semua di tengah-tengah pura bergerak tanpa
suara, berkumpul di bawah Penjara Putih Aria. Sosok berjubah putih yang berdiri
di belakangnya melepaskan keris dari sarungnya, dengan mata berkilat penuh
kegilaan ditebasnya Penjara Putih Aria. Tawanan yang berada di dalamnya tidak
terjatuh ke kolam karena api-api jiwa telah berkumpul di bawah kakinya,
membuatnya terbang.
Untuk beberapa saat Nara masih berkutat
dengan Penjaranya. Setelah bersinar nyaris membutakan mata, terjadi perubahan
yang membuat tawanan di dalamnya menelan ludah panik. Penjara Putih itu
pelan-pelan menyusut sambil terus menyerap energinya.
“Aku akan melawanmu,“ ujarnya santai
seraya mengulurkan keris karya sang empu pada Aria, tenang mengawasi Penjara
Nara mengerut, “asalkan kau mampu melewati Aria, wahai agen muda terbaik Biro
Investigasi Republik, Nararya Erlangga.“
Terdesak di dalam kurungannya, semakin
terimpit, Nara melihat Aria berdiri tegak, dua meter di atas kolam, tangan
kanannya mencengkram keris sangat erat. Wajahnya tanpa ekspresi. Kemudian sekilas
dia melirik sang pencuri keris. Lidah sosok berjubah putih itu menjulur ke luar
dari mulut, semakin memanjang. Dua tanduk mengintip dari balik helai-helai
rambutnya. Nara mengejang melihatnya, perubahan yang terjadi sangatlah drastis
dan tidak manusiawi, seakan-akan tubuhnya telah dirasuki raja setan dengan rupa
yang sangat laknat, yang hanya akan muncul di mimpi buruk yang paling buruk.
Orang ini bukan manusia, pikirnya. Seandainya dia tidak lengah dan membuat
dirinya tertangkap sampai terkurung di bola keparat ini...
Waktu singkat yang digunakan Nara untuk
mengamati sang pencuri membuatnya tidak menyadari bahwa Aria terbang, Aria yang
sama sekali tidak memiliki kekuatan sihir atau elemental sungguh-sungguh
terbang, melompat-lompat ringan di atas air, menuju arahnya.
“Lakukan Aria!!!“ teriak sang pencuri,
girang bukan main. “Balaskan dendamku!“
Sisa api-api jiwa yang mengelilingi mereka
menari-nari seolah menyemangati.
Bayangan bulan memantul di atas air.
Angin dingin
bertiup sepoi dan kemudian mengencang, membuat permukaan kolam yang tadinya
selicin cermin menjadi bergelombang.
Penjara Nara
hanya tersisa beberapa inci lagi sebelum benar-benar akan menekannya hingga
hancur, Aria semakin dekat.
Retakan di
langit.
Serta-merta
terjadi guncangan yang sangat-sangat keras.
“Ada
apa ini???“ sang pencuri terjengkang cukup jauh ke belakang, sedangkan Aria
mendarat di atas air, menimbulkan gelombang dan kecipak, sorot matanya sama
sekali tidak berubah, tetap kosong dan dingin tak terpengaruh.
Manik mata Nara mendelik takjub saat
melihat retakan di langit semakin melebar, seperti kubah besar transparan yang
kini diturunkan secara cepat. “Barrier?“
Langit penuh dengan bintang-gemintang yang berkilau laksana kristal, namun
nampak asap kehitaman cukup tebal melayang-layang.
Pulih dari guncangan yang kini telah
mereda, Aria berdiri, berjalan kali ini, menuju Nara, kerisnya siap menusuk.
Pada saat bersamaan gemuruh suara-suara angin bersuit-suit sementara cahaya
putih yang bergulung-gulung dan bersinar-sinar menyeruak di tengah-tengah
temaram bintang dan gelapnya malam, meluncur pasti mengarah ke tengah-tengah
pura, bayangan bulan di atas kolam pun menghilang.
Oksigen Nara hampir habis. Matanya silau
akibat sinar yang bergulung-gulung di langit. Satu matanya menyipit, setengah
pasrah akibat ikatan dan penjara yang membelenggunya. Dia tidak sempat melihat
Aria melompat tinggi, bersiap menghabisinya.
Gulungan cahaya putih menukik tajam.
Keris Aria berkilat-kilat menghujam.
Ketika cahaya putih itu menghilang, gadis
yang penampilannya berantakan dengan rambut pendek acak-acakan, terengah-engah,
berdiri menghalangi hujaman keris yang mengarah pada Nara dengan pedang
pendeknya.
Si gadis melirik Nara yang melayang di
belakangnya, terpenjara dan tidak berdaya, “Berantakan sekali, Nara.“
Aria melompat mundur menjauh, setengah
berjongkok di atas kolam, menunggu dengan waspada sembari mengawasi si gadis
pendatang baru.
“Halo, Aria,“ sapa si gadis ceria. Lawan
bicaranya tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengenalinya. “Cih, hipnosis
total. Baiklah, kamu tunggu di situ, sebentar lagi akan kuurus.
Berani-beraninya kamu tidak menyapaku balik,“ dia memutar tubuhnya. Dengan menggunakan
pedang pendeknya, si gadis merobek Penjara Putih yang terlihat hampir membebat
Nara seperti mumi, lalu merapalkan mantra sehingga Nara mampu berdiri di atas
air tanpa terbenam. Sedikit kehabisan napas dan duduk di atas air, Nara
menyahut, “Seperti biasanya, kau selalu telat, Gayatri.“
Gayatri bertumpu dengan lututnya di atas
air lalu memutuskan ikatan di tangan dan kaki Nara, mendecakkan lidah kemudian
berkata sombong, “Pernah dengar istilah ‘pahlawan selalu datang terlambat‘
gak?“
Sembari memijat pergelangan tangannya yang
merah, Nara menjawab tak acuh, “Yang kutahu biasanya pangeran yang selalu
datang terlambat.“
“Kalau begitu anggap saja kau tuan putri
yang harus diselamatkan oleh sang pangeran,“ kata Gayatri enteng. Gadis itu
tersenyum tulus menatap Nara, menegakkan tubuhnya seraya mengulurkan tangannya.
Seperti biasanya, mau tak mau senyum Nara
tertarik. Apapun situasinya, seburuk apapun, Gayatri tetap optimis dan banyak
lagak. Dan akan melakukan apapun, termasuk membobol gudang senjata atau
mengalahkan sepasukan agen rahasia pemerintah, jika memang itu diperlukan untuk
menyelamatkan orang yang berharga baginya. Nara mengayunkan tangannya, menerima
uluran Gayatri, “Kamu itu memang dasar¾“
“Yah, maaf aku harus memotong percakapan
yang sangat romantis di sebelah sana,“ sela suara si pencuri, membuat Nara dan
Gayatri spontan memalingkan wajah mereka, ekspresi wajah mereka berdua spontan
mengeras. “Tapi aku harus tahu,“ lanjutnya, berjalan di atas air menghampiri
Aria, “bagaimana caramu menembus barrier
yang kuciptakan, gadis busuk kurang ajar?“
“Kausebut apa aku tadi?!“ teriak Gayatri
tersinggung, “Manusia setengah-jadi sepertimu gak berhak menyebutku begitu! Aku
gak bakal kaget kalau sebentar lagi ada tentakel atau belalai muncul dari
punggung atau bokongmu!“ kemudian dia mengacungkan pedang pendek yang sedari
tadi digenggamnya erat-erat di sisi tubuhnya, “Ini pusaka sakti milik Divisi Puncak
Jaya, mampu membelah apapun, termasuk barrier
atau ilusi, semacam kubah jelek tidak berguna yang kau buat ini. Pedang
Nemangkawi. Lagipula,“ suaranya berubah jadi desisan berbahaya, “aku tidak akan
meninggalkan sahabat-sahabatku.“
“Sahabat? Kukira aku mendengarnya dalam
bentuk jamak. Memangnya anak ini,“ sang pencuri menjambak rambut Aria yang
setengah berlutut di sampingnya, menariknya hingga leher Aria tertarik ke
belakang. Ekspresi Aria tetap bergeming, “sahabatmu juga?“
“Lepaskan tanganmu yang najis itu dari
Aria, leak monyet!“ Gayatri sudah hampir melompat untuk menerkam si pencuri
namun Nara menahannya.
“Tunggu!“
“Mana bisa aku menunggu! Si brengsek
pengkhianat negara itu harus kutangkap¾“
“Aku tahu, tapi tung¾“
Lagi-lagi guncangan keras muncul, bahkan lebih
keras dari guncangan yang pertama. Gayatri menengadah, memandang puncak Gunung
Batur yang berasap. Semakin banyak asap yang membubung keluar. Ini berbahaya,
waktu mereka sangat terbatas untuk menangkap sang pencuri. Tidak lama lagi pura
di kaki gunung ini akan dipenuhi asap dan hujan abu serta kerikil. Sebenarnya barrier yang dibuat si pencuri akan
melindungi mereka, namun jika barrier
itu tidak dihancurkan, Gayatri tidak akan bisa masuk. Apa boleh buat, ini
risiko.
Gayatri mengentakkan sesuatu keluar dari
jaketnya yang berantakan, identitasnya selaku agen mata-mata pemerintah, “Aku,
Gayatri Kusumawardhani, agen resmi dari Biro Investigasi Republik, menyatakan
kau, Mahendradatta Sora, sebagai pencuri artefak-artefak berharga milik pemerintah,
perusak situs-situs penting negara, serta pelaku pembantaian dua belas anggota
dewan dan wakil presiden negara; dengan ini menyatakan secara resmi ditahan!“
Melihat tindakan Gayatri, Mahendradatta
Sora tercengang sejenak, lalu badannya melengkung ke belakang, tertawa
terbahak-bahak, “Menahanku? Jangan membuatku tertawa, anak kecil! Kalian kira
aku ini siapa, hah?“ sambil berkata begitu, kedua tangannya sekali lagi
terangkat, mantra-mantra didaraskan.
Sisa api-api jiwa kebiruan yang ada
berkumpul di depan Sora, saling menumpuk sampai akhirnya membentuk wujud
seseorang. Nara dan Gayatri mengamati saat api itu berubah menjadi sesosok
perempuan berpakaian serba gothic,
rambutnya yang merah menyala sangat kontras di atas bajunya yang sehitam tinta.
Kecantikannya terpancar begitu kuat, Nara yang biasanya selalu berwajah datar,
terkontrol, dan berpikir logis sampai-sampai tercengang. Jika saja perempuan
itu muncul bukan dari kumpulan nyala api, jika saja iris matanya tidak
berbentuk seperti iris mata ular, mungkin dia...
“Peduli amat! Aku cukup mengalahkanmu dan
membawamu ke biro!“ tanpa banyak basa-basi Gayatri menerjang maju, pedangnya
menghunus, menuju Sora yang menyeringai menyeramkan.
Si gadis berbaju gothic terbang maju menghalangi, melindungi Sora; terdengar suara
dentingan logam beradu. Rupanya gadis itu juga menggunakan pedang.
“Kau menghalangiku, cewek hantu,“ kata
Gayatri, “minggir!“
“Sayang sekali tidak bisa,“ katanya dingin,
gigi-giginya yang nampak dari seringaiannya berupa taring semua. “Coba kalahkan
aku, gadis penyihir.“
Mendengus kesal, Gayatri terpaksa meladeni
pengawal pribadi Sora, pertarungan sesama pemain pedang berlangsung sengit di
langit. Di sisi lain, Nara yang tadi melamun mengamati si gadis gothic tidak menyadari bahwa Aria sudah
melayang ringan, kerisnya nyaris menusuk jantungnya. Meskipun reaksi Nara
sedikit lambat, untungnya dia berhasil menghindar, jadi yang terluka hanyalah
lengan kirinya.
“Tidak tepat sasaran,“ Aria akhirnya
bersuara, penuh sesal melihat keris yang gagal menusuk organ pusat kehidupan
Nara. Diamatinya ujung keris yang kini meneteskan darah. “Sekali lagi.“
Nara mengelap tetesan darah yang mengalir
di lengannya dengan ujung-ujung jemari tangan satunya. Aria yang ada
dihadapannya kini bukanlah Aria. Dia harus serius, tidak bisa terus-terusan
menghindar; jika tidak, pertarungan yang tanpa tujuan ini akan membuat semuanya
sia-sia. “Aria Acintya, agen Biro Investigasi Republik, apa kau sudah lupa apa
tugas yang diembankan padamu?“ tangan kiri Nara bersinar, terdengar bunyi
dengung aliran listrik yang begitu berisik, sementara sebentuk pedang listrik
terwujud di sana.
“Aku mencari pembunuh orangtuaku!“
“Dan orang yang kaucari bukanlah aku!“
Keduanya menjejak air, keris kuno dan
pedang elemental bertemu di udara, auranya yang bertabrakan menyebabkan hempasan
gelombang yang begitu dahsyat.
“Buka matamu, Aria!“
“Paman dan Bibi tetap hidup, mereka
kembali padamu, sementara bagaimana nasib orangtuaku?“ Aria mendelik, “Apa kamu
mengerti bagaimana rasanya menghadapi dua peti mati yang kosong? Hanya ada foto
mereka, sementara tidak ada jejak apapun, tidak ada kabar, tidak ada
penjelasan?“ kerisnya mendesak, menari-nari di bawah sinar rembulan. “Lantas
aku harus bagaimana? Aku kehilangan kepercayaan, aku tidak tahu lagi mana
fakta, mana yang hanya cerita rekayasa!“
“Kamu harus bagaimana?!“ suara Nara
meninggi, dia memperbesar aliran listrik pada pedangnya, dengan kekuatan penuh
mendorong Aria hingga terjatuh di gundukan batu yang berada persis di
tengah-tengah kolam. “Kamu bertanya harus bagaimana? Kalau kau memang mau tahu
jawabannya,“ Nara menerjang, Aria cepat-cepat berdiri pada kakinya, menyambut
tebasan berikutnya dari pedang listrik Nara, “kenapa kamu justru lari dari
kenyataan, hah?!“
“Aku tidak¾“
“Kau LARI, Aria!“
Ledakan cahaya lagi, berbarengan dengan
guncangan ketiga yang sangat-sangat keras. Terdengar suara gemuruh dari dalam
perut bumi. Tanpa mereka sadari hawa di pegunungan sana menjadi panas akibat
terlalu fokus pada pertarungan masing-masing, tidak juga menyadari bahwa
ketebalan asap yang menguar keluar dari puncak gunung sudah berada pada status
mengkhawatirkan. Dan membahayakan. Seusai guncangan itu, mereka melanjutkan
pertarungan seolah-olah tidak ada yang menginterupsi.
Pada titik ini, keempat petarung itu tidak
menyadari bahwa Sora telah berjalan¾lebih
tepatnya melangkah di udara, berdiri begitu dekat dengan lokasi pertarungan
Nara dan Aria. Persisnya, dia berdiri tidak jauh dari gundukan batu.
“Kau lari dari kenyataan! Kau menghindar
untuk mempercayai orang!“ tusukan bertubi-tubi, yang setiap tusukannya berhasil
ditangkis,“Masa kau gak sadar bahwa kau membangun tembok, mengisolasi dirimu
dari dunia nyata, menolak mengizinkan siapapun yang berusaha meraihmu ke dalam,
dan menenggelamkan dirimu dalam kesengsaraan yang kau buat sendiri?“ tinju tangan
kanan Nara yang dialiri arus listrik tegangan tinggi menghantam pipi Aria. “Kita
ini sahabat! Sadarlah, bangsat!“
Pegangan Aria pada keris melonggar sementara
badannya dalam irama slow motion
mendarat dengan bunyi debam keras pada gundukan batu.
Tangan kiri Nara mencengkram pergelangan
tangan kanannya, mengangkatnya tinggi-tingi di atas kepalanya lalu berteriak, “Vhaita Penggaaaaaaaaaaaa!“
Kilatan petir memancar dari setiap jarinya,
tanpa ragu Nara mengarahkannya pada Aria yang terbaring di atas batu.
Gayatri menoleh, terkejut. Pedang
Nemangkawinya berhenti menebas sejenak.
Nara terengah-engah, melayang, memandang
Aria yang terbaring tak sadarkan diri di atas gundukan batu.
Bayangan bulan berada tepat di
tengah-tengah gundukan batu, sinarnya mengintip ragu-ragu dari balik gumpalan
awan dan asap. Di sanalah keris legendaris Empu Gandring dengan darah Nara
tertancap. Hanya Sora yang mengetahui warna bulan telah berubah menjadi biru.
Kejadian berikutnya terjadi sangat cepat, keris yang menancap itu mengeluarkan
cahaya yang sangat menyilaukan, lalu teriakan keras Nara menggema,
“AAAAAAAARGHHHHHHHHHH!!!!!!“
Ketakutan, Gayatri melihat tubuh Nara
tersetrum. Bukan. Tubuhnya tidak tersetrum. Lebih tepatnya, kekuatan listriknya
ditarik keluar dari tubuhnya, diserap oleh keris Empu Gandring.
“Hen-hentikaaaaaaaaannn!!!“
“AHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!“
“AAAAAAAAAAAAAAAAARGGHH!!!“
Suara tawa Sora dipenuhi kepuasan yang
keji, bergaung bersamaan dengan jeritan pilu Gayatri dan teriakan kesakitan
Nara. Dengan ngeri Gayatri melihat tubuh Nara berkelojotan, menggelepar,
sebelum akhirnya terjun bebas ke air.
“Jangan menghalangiku, cewek hantu!“
Gayatri meninggalkan pertarungannya dengan
pengawal pribadi Sora, berlari menghambur menuju Nara, berusaha menangkapnya
sebelum tercebur ke air.
Si pengawal mengambil kesempatan itu untuk
melemparkan pedangnya menuju Nara, seakan-akan sedang melemparkan panah dart pada papan sasaran.
Aku
tidak akan bisa mencapainya tepat waktu.
Mata Gayatri melebar.
Tidak.
Peluh dingin menetes.
Tidak.
Gayatri melontarkan Pedang Nemangkawi.
TIDAK.
Mantra-mantra dilantunkan.
Pedang Nemangkawi membelah pedang pengawal
Sora yang kemudian pecah berhamburan menjadi bola-bola api kecil berpendar
biru. Si gadis berbaju gothic lenyap.
Tepat sebelum tubuh Nara menyentuh air,
Gayatri menangkapnya dalam pelukannya.
“Khukhukhukhu...“
Dengan berang Gayatri memalingkan wajahnya
pada sosok bertaring, bertanduk, dan berlidah panjang terjulur yang berdiri di
tepian gundukan batu, nampak benar-benar puas. Tidak mempedulikan tubuh Aria
yang tergeletak di sana, dia berkata gembira, “Rencanaku sukses!“
Seketika terdengar suara gemuruh yang
begitu keras, seperti suara yang muncul ketika sumbat pipa dibuka. Air di kolam
membentuk pusaran, semakin lama semakin menyusut ke dalam, memunculkan sebuah
patung prasasti di seberang gundukan batu tempat Sora menjejak. Patung prasasti
yang sangat indah, ukirannya sangat detil, bersih, dan rapi. Patung seorang dewi
yang tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna di atas padmasana
berbentuk bunga teratai. Gayatri terpesona. Betapa wajah yang terukir abadi
pada batu itu begitu tenang memancarkan keteduhan, kedamaian, dan
kebijaksanaan. Tangannya berada dalam posisi dharmacakra-mudra. Terdapat ukiran
lingkaran halo yang melambangkan dewa-dewi atau orang bijaksana yang telah
mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi. Arca Prajnaparamita, arca perwujudan
dari Ratu Singhasari pertama, Ken Dedes.
Satu detil berbeda dari arca yang dipajang
pada Museum Nasional Indonesia adalah di pinggang sang dewi tersemat sebilah
keris.
“Akhirnya,“ Sora nyaris berdendang saking
bahagianya, “akhirnya aku mendapatkanmu,“ dengan gerakan takzim dia mendekat,
perlahan mencabut keris sampai terangkat sepenuhnya, mengangkatnya
tinggi-tinggi, lalu terkekeh, “Ahahahahahaha!“ tawanya yang melengking itu
membuat bulu kuduk meremang. Tawa panjang kesetanan dan penuh kepuasan liar
yang menjijikkan. “Pemerintah hanya mengirim tiga anak kecil,“ katanya,
mencemooh, “tiga anak kecil tidak berdaya, tidak berpengalaman, sok tahu, sok
bersikap pahlawan!“
“Diam kau, pengkhianat negara!“ seru
Gayatri, memeluk Nara erat-erat. Gadis itu merasa putus asa. Dia juga
memperhatikan bahwa sejak keris Prajnaparamita diambil Sora, wujudnya yang
begitu buruk rupa sedikit demi sedikit kembali menjadi manusia biasa. Kutukan
yang terlepaskah...?
“Apa kau tahu, gadis kecil?“ Sora
menendang-nendang tubuh Aria, nada bicaranya merendahkan, “Si bodoh Aria ini
mau saja kumanipulasi! Siapa yang membunuh orangtuanya, katanya? Orangtua Nara?
Itu hanyalah lelucon karanganku! Yang membunuh orangtua Aria adalah aku. Kedua orangtua mereka melaksanakan
misi mereka dengan baik di Laut Banda, melindungi presiden dengan taruhan nyawa.
Sayang sekali yang berhasil kulenyapkan hanya pasangan itu! Orangtua Nara
berhasil melukaiku dan melarikan presiden dari sana. Mataku ini adalah mata
artifisial, kaukira gara-gara siapa? Mengapa Nara yang menjadi korban? Itu
mudah. Karena dia adalah keturunan Ken Arok.“
“Apa?“ tanya Gayatri, terkaget-kaget
“Mustahil, memangnya dari mana kau¾“
“Aku menelitinya, tentu saja, gadis
bodoh,“ ujarnya sombong, “kausangka aku tidak menyelediki apa-apa saja yang
kuperlukan untuk memiliki artefak-artefak sakti milik negara kita? Posisiku
sebagai anggota dewan bukan hanya untuk hiasan, nona muda!
“Selain darah keturunan Ken Arok, hal lain
yang juga diperlukan adalah absorbsi energi. Si bodoh Nara itu beruntung dia
memiliki kekuatan elemen petir. Jika tidak, energi kehidupannya akan diserap
habis dan dia akan mati. Atau mungkin malah dia sudah mati?“
Mendengar penjabaran Sora tanpa sadar Gayatri
mengeratkan pelukannya pada Nara yang pingsan. Hidup, dia akan hidup, Gayatri meyakinkan dirinya sendiri. Betapa
dia marah mendengar cara Sora menjelaskan, seakan-akan dia sedang membicarakan
bahan-bahan yang diperlukan pada resep memasak telur dadar, remeh-temeh.
Dia harus menangkapnya. Tapi energi
sihirnya hampir mencapai batas. Bahkan mungkin membuka Jembatan Pelangi pun dia
takkan mampu. Sementara dua sahabatnya terkulai nyaris mati...
Apa
yang harus kulakukan...?
“Keris Prajnaparamita ini akan membuat
pemiliknya hidup kekal abadi, tahukah kau? Dengan dua keris ini aku bisa
kembali berkuasa dan memberi pelajaran pada semua agen brengsek di Biro
Investigasi Republik yang telah berani dan lancang membongkar bisnis
pribadiku!“ dia merentangkan kedua tangannya, lalu dengan lagak dramatis
tertawa terbahak-bahak, tawa gila dan kesetanan tak terkendali.
Nara...
Aria...
BOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOM!!!
Hal yang ditakuti Gayatri terjadi.
Gunung Batur meletus.
Gunung itu memuntahkan cairan lavanya yang
berwarna merah, jingga, juga kuning dengan begitu meriah laksana kembang api di
perayaan tahun baru. Paket lain yang turut ditumpahkan adalah hujan batu lahar,
kerikil, abu, dan asap. Hawa pun menjadi sangat panas. Dari pura di kaki
gunung, Gayatri memperhatikan kejadian alam mahadahsyat ini dengan gemetaran.
Matanya berkaca-kaca.
“Baiklah, saudara-saudari sekalian,“ Sora
membuat suaranya terdengar resmi, berdeham-deham membersihkan tenggorokan,
“Karena urusanku sudah selesai, waktunya aku permisi. Semoga kalian berun¾AAAAAAAAAAAARRRGGGHHH!!!“
Bunyi tusukan benda logam menembus daging
manusia terdengar lirih.
“Astaga,“ gumam suara teredam, “Nara
sialan itu menyetrumku kuat sekali.“
“Aria!“ jerit Gayatri lega. “Aria, Nara
pingsan dan kekuatanku sudah¾“
“Tenanglah,“ sosok lelaki yang terbaring
itu bergerak, bangkit dengan gerakan kaku sembari terus menekan keris Empu Gandring
pada punggung telapak kaki Sora.
“Terkutuk kau, Aria¾“
“Nara sudah melakukan yang terbaik untuk
mematahkan hipnosismu padaku, Mahendradatta,“ tubuhnya benar-benar sudah
berdiri tegak, ada kilatan tanpa ampun dalam matanya, “Aku mendengar semua pengakuanmu.
Kau,“ Aria meraih ke dalam tas kecil yang tergantung di sisi kanan pahanya,
Sora tidak bisa bergerak karena keris sang empu menancap tajam dan benda itu
mulai menyerap kekuatannya, “penjahat dan pengkhianat, pencuri artefak-artefak
kuno, perusak situs-situs berharga negara, serta pelaku pembantaian dua belas
anggota dewan dan wakil presiden negara, Mahendradatta Sora, ditahan,“ moncong
pistol mengarah pada dahi Sora, Aria hampir tidak mempercayai matanya saat
melihat wajah normal manusia balik menatapnya. Hanya saja sayangnya ekspresi
bengis dan tamak yang tergurat di sana merusak kemanusiaannya.
“MATILAH!“ Sora mengayunkan keris
Prajnaparamita, Aria menjejak gundukan batu sekuat tenaga, bersalto di udara
lalu menekan pelatuknya tiga kali.
Sora menoleh, keris Prajnaparamita
terlepas dari tangannya, wujudnya mulai berubah, tanduk mendesak keluar,
taring-taringnya memanjang, bola matanya membesar dalam kecepatan tidak normal,
lidahnya kembali terjulur, “Terkutuklah kau, Aria Acintyaaaaaaaa!“
Letusan kedua menggelegar, memuntahkan
lahar, lava, asap, abu, kerikil dalam volume lebih masif.
Sora luruh ke gundukan batu.
Aria buru-buru berlari menghampiri
Gayatri. Ya dia masih bisa berlari di atas air meskipun hipnosisnya sudah
dipatahkan. Suhu semakin meningkat dan tak lama lagi pura ini akan tenggelam
dalam sungai lava dan batuan lahar; sekilas melihat kondisinya, Aria langsung
tahu bahwa Gayatri tidak akan sanggup membuka Jembatan Pelangi, dan Nara...
“Aria, Aria,“ Gayatri hampir menangis,
suaranya tercekat, “kita¾aku...
aku tidak bisa membuka portal Jembatan Pelangi, energi sihirku¾dan Nara, dia tubuhnya semakin dingin¾aku tidak bisa¾aku tidak tahu harus melakukan apa¾kita, kita... Kita akan ma-mati¾“
“Tidak akan ada yang mati!“ kata Aria,
menenangkan si gadis. “Tidak akan ada yang mati. Percayalah padaku.“
Guncangan keras lagi. Tak perlu diragukan
lagi akan ada letusan susulan.
Waktu mereka sudah habis.
Aria mengeluarkan tiga pasang gelang besi
dengan layar kecil tertera di sana. Cepat-cepat dipasangkannya dua pasang yang
pertama pada pergelangan tangan Gayatri dan Nara.
“Apa…?“
Pertanyaan Gayatri tidak dijawab Aria. Dia
lalu berbalik terbang ke tempat Sora tergeletak, memasangkan sepasang gelang
yang sama pada pergelangan tangannya, mencabut keris empu Gandring dari
kakinya, mengambil keris Prajnaparamita yang sama terkapar di sana, dan kembali
ke sisi Gayatri. Sebuah alat lain diambil Aria dari tas kecilnya, dengan
cekatan dia memencet serangkaian tombolnya.
“Aria, apa yang kau¾“ kalimat Gayatri terputus, dia
terbatuk-batuk keras, hujan abu menjatuhi mereka.
“Gayatri, bisakah kau membuat barrier?“
“Untuk menutupi pura ini secara
keseluruhan? Tidak bisa.“
“Bukan, barrier yang cukup untuk melindungimu, Nara, dan Sora saat kalian
terisap ke wormhole.“
“Kalau itu aku bisa, tapi bagaimana¾“
“Sudahlah, jangan banyak tanya, lakukan
saja!“
Menuruti paksaan Aria, dengan satu
tangannya yang bebas Gayatri mengerahkan segenap kekuatannya yang tersisa untuk
memunculkan jaringan energi tipis yang kemudian membentuk lapisan melindungi
tubuhnya dan Nara, serta Sora.
“Persiapan selesai, sebentar lagi kalian
akan berangkat.“
Awalnya Gayatri tidak menangkap apa maksud
Aria. Namun saat mendengar suara gemuruh angin ribut dan menengadah, dia
melihat langit terbelah. Sontak dia langsung mengerti.
“Tidak, Aria!“
“Jangan banyak protes, Gayatri,“ Aria
berkata tegas.
Bahkan saat Aria mengucapkan suku kata
terakhir namanya, si gadis merasa tubuhnya dan Nara mulai terangkat naik ke
langit.
Untuk kali ketiga Gunung Batur memuntahkan
isi perutnya.
“TIDAK,
Aria¾tanganku, raih
tanganku!“ bibir Gayatri gemetar, dia melirik Nara yang masih tidak sadarkan
diri dalam pelukannya, “Nara tidak akan memaafkanku! Kumohon, genggam tanganku!
Kita harus pulang!“ Gayatri mengulurkan tangan kanannya, melambai-lambaikannya,
kalut.
Aria tersenyum.
“Jangan cengar-cengir kayak orang bego dan
cepatlah raih tanganku, Aria!“
Aria melirik sang tawanan negara yang tadi
ditembakinya dengan dua peluru timah dan satu peluru bius dosis tinggi, masih
pingsan. Bagus. Tubuhnya juga sudah melayang naik.
“ARIA!“
Aria memalingkan wajahnya pada Gayatri
yang melayang lima meter di atasnya.
Gadis itu menangis. Satu tangannya masih
tetap terulur.
Aliran lava sudah akan mencapai pura.
“Tidak bisa, Gayatri,“ tuturnya tenang,
“Tubuhku akan tercabik-cabik jika melakukan lintas dimensi dan waktu tanpa
kedua gelang itu.“
“Peneliti bodoh, kenapa kau menciptakan
benda ini jika tidak bisa menyelamatkanmu?!“
Aria tak menyahut, hanya tersenyum.
Lava membanjiri pura, disusul serangkaian
hujan batu lahar besar-besar menghantam tempat itu.
Wajah Gayatri sudah basah akan air mata.
“Bego...“
Dengan sisa-sisa kekuatan sihir pemberian
Sora yang ada pada tubuhnya, Aria melompat.
Tinggi. Sangat tinggi.
Hingga mencapai Gayatri dan Nara.
Dia meraih wajah Gayatri, mendekat, lalu
mengecupnya di bibir.
“Sampaikan salamku pada Nara.“
Gayatri, Nara, dan Sora terisap,
menghilang di balik gumpalan awan.
Aria terjun bebas menuju lautan lava.
Sial,
bahkan di saat-saat terakhir pun aku tidak berani mengatakannya...
story
©
Erinda Moniaga, 2013
10.24
AM
13022013
illustration
No comments:
Post a Comment