every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Wednesday, November 26, 2014

time

“Target berhasil melewati sektor Rho! Saya ulangi, target¾
“Tahan dia! Halangi dia! Siapapun yang berada di dekat sana, tahan dia! Adakah yang bisa mendengarku?!“
“Pak, dia berhasil merobohkan semua penjaga di depan sektor Sigma!!“
“Tidak ada yang sanggup menghentikannya, Pak!!!“
“Target hampir mencapai Level Z!!“
“KUBILANG TAHAN DIA!!!“
“Siap!“
Direktur Biro Investigasi Republik secepat kilat berlari menuju sektor Sigma. Dari bunyi-bunyian berisik seperti suara baku hantam yang terdengar dari earpiece di telinganya, dia bisa mengetahui bahwa sekretarisnya sedang bertarung. Dia tidak mau memikirkan hasilnya karena dia mengetahui benar seberapa baik kapasitas agen yang dilawan sekretarisnya. Gedung sektor Sigma sudah nampak, ada banyak tubuh-tubuh bergelimpangan di depan sana, antara pingsan atau berada dalam keadaan trans setelah dimantrai. Direktur berlari memburu.
“Ta-target berhasil me-melewati sa-saya... me-menuju Level Z, ruang empat puluh empat...“
“SIAPAPUN DI RUANG EMPAT PULUH EMPAT, HENTIKAN DIA!!!“
Jantung sang direktur berderu. Tidak seperti biasanya seorang agen, bahkan dengan posisinya sebagai direktur dan pimpinan, merasa panik. Hampir semua agen-agennya bergeletakan di sepanjang jalan gedung sektor Sigma, seolah-olah mereka agen level bawah yang belum terlatih, bukannya agen level tinggi yang sudah melalui sekian banyak pengalaman mengerikan mengancam jiwa namun tetap bertahan hidup. Anak itu serius.
Sekretarisnya terbaring di sisi pintu ruang empat puluh. Dengan lemas dia mengangkat tangan kirinya, menunjuk ke atas seraya berbisik, “Ruang mesin waktu, Pak.“
Semakin mendekati ruang empat puluh empat, semakin banyak tubuh-tubuh para agen pingsan yang kalah tak sanggup menghentikan si target. Sang direktur akhirnya mencapai ruang empat puluh empat, ruangan dengan berderet-deret tabung-tabung transparan menempel di tembok, satu panel pengoperasian berdiri di tengah-tengah ruangan. Matanya melebar, peluh menetes. Satu mesin telah berputar cepat di tembok sisi kanan ruangan. Dia menghambur meraih panel berisi tombol-tombol yang digunakan untuk mengoperasikan mesin waktu, meninju tombol merah besar dengan huruf ‘X‘ tertera di sana keras-keras.
      “AKSES DIBATALKAN,“ kata suara statis dari mesin. “PERJALANAN WAKTU MENUJU TAHUN 1926 DIBATALKAN.“
      Mesin berupa tabung itu berhenti berputar perlahan-lahan, sang direktur mengembuskan napas, menunduk, kedua tangannya mencengkram pinggiran panel. Sepertinya masih bisa...
      Suara yang berikutnya muncul dari earpiece-nya membuat jantung sang direktur nyaris berhenti berdetak. Bukan suara sang sekretaris. “Maafkan aku, Pak Direktur, aku pergi dulu.“
      Derak statis. Sang direktur mematung. Tabung yang sudah berhenti berputar di hadapannya kosong.
      Suara berikutnya yang muncul adalah suara sekretarisnya, nyaris berteriak, namun tercekat dan serak “Pak, pe-perpindahan terjadi di atap gedung sektor Sigma... Dia...“ terdengar suara menelan ludah, “Dia menggunakan Jembatan Pelangi. Dia... Gayatri... sudah pergi.“

***

Bebauan yang manis menyengat menyebar di udara. Bukan bau yang disukai Nara. Apa yang dihirup indra penciumannya kini mengingatkannya pada wewangian bunga melati yang nyaris membusuk, dan secara otomatis mengingatkannya pada kuburan.
      Dia menengadahkan wajahnya yang sedari tadi menunduk kelelahan. Dia melayang-layang sekitar satu meter di atas permukaan air, terperangkap dalam penjara transparan berbentuk bola, terikat kedua tangan dan kakinya, terduduk lemas. Sepasukan jiwa-jiwa pengembara melayang-layang di sekelilingnya; api jiwa itu berwarna biru gelap, segelap samudra yang tidak beriak. Permukaan danau Batur tenang dan licin mulus laksana permukaan kaca berwarna hijau. Gunung Batur berdiri kokoh dan megah mengelilinginya, sementara bulan purnama dengan warna kuning gading keemasan menggantung tinggi di langit. Ketenangan yang begitu mistis dan tidak wajar merayap di udara, menyebar perlahan, menyebarkan rasa ngeri ke setiap pelosok. Bahkan makhluk-makhluk dari dunia lain dengan kekuatan magis rendah tidak semuanya berani mendekat ke pura kecil yang berada persis di tengah-tengah danau.
      “Bukankah bulan malam ini begitu indah?“
      Mendengar suara lembut itu, Nara menelengkan kepalanya sedikit ke belakang.
      “Bagaimana kabarmu di sana? Kuharap kau berhenti berusaha menyetrum dirimu sendiri,“ sosok itu berjalan perlahan hingga berada dalam jarak pandang Nara, di sisi kirinya. Dia berdiri di tepian kolam seakan-akan melayang. “Aku masih membutuhkanmu hidup. Sebentar lagi, paling tidak.“
      Mau tak mau mata Nara membelalak. Pertama kali bertemu, dia yakin orang itu manusia, namun sekarang tidak lagi. Maksudnya, bukan dari rambut hitamnya yang bergaris-garis putih keabuan, bukan dari pakaiannya yang serba putih, bukan dari fakta bahwa dia terus-terusan menyeringai sinting, bukan. Wajah yang sedang menatapnya dari sisi kiri kolam itu perlahan berubah. Dahinya semakin lama semakin menonjol, matanya semakin membesar, dan keempat gigi taringnya makin lama makin bertambah panjang dan meruncing secara tidak wajar.
      Sosok itu kembali berjalan menyusuri tepian kolam. Bayangan bulan hampir persis berada di tengah-tengah kolam. “Sulit sekali untuk bisa mencapai masa ini, kau tahu. Aku sudah berkelana ke seluruh pelosok nusantara Indonesia untuk mencari artefak ini,“ satu tangan dengan jemari berkuku panjang mengulur, menggapai seberkas api biru yang melayang-layang, menatap penuh sayang seolah-olah api biru itu anaknya sendiri, “Sama sekali tidak kukira ternyata ada di Bali. Dan telah terbenam di dasar danau, membuatku repot harus berwisata ke masa lalu untuk bisa mendapatkannya,“ langkahnya terhenti, dia kini berada di seberang kolam, berdiri menghadap Nara. “Dan setelah aku mendapatkan lokasinya, ternyata benda ini tersegel. Jadi, dengan hati terpaksa aku membobol markas kalian untuk mendapatkan keris ini.“
      Nara tidak berminat memotong monolog yang dilakukannya. Dia memperhatikan sosok itu mengeluarkan sebilah keris dari balik punggungnya, mengangkatnya, “Keris pusaka legendaris dari zaman Kerajaan Singhasari, milik Ken Arok, hasil karya Empu Gandring yang termashyur. Arkeolog dari kalangan akademisi menganggap semua yang tertulis di Pararaton hanyalah kisah, tapi mereka tidak tahu...“ tawanya berderai, bulu kuduk Nara meremang, “semua kisah-kisah itu nyata. Dan inilah tumbal yang diperlukan untuk membuka segel,“ dengan keris itu dia menunjuk ke penjara transparan lain yang juga melayang di dekatnya, di sisi seberang penjara Nara. Lelaki yang terkurung di dalamnya nampak tidak sadarkan diri.
      “Hei,“ Nara berkata kalem, seolah-olah sedang menyapa pedagang di kios koran, tapi dari perubahan ekspresinya, emosinya yang tersulut nampak jelas, “jangan berani-berani kau melibatkan Aria dalam urusan ini.“
      “Ah, kulihat kau sudah mulai bersuara.“
      “Kita selesaikan urusan kita yang tertunda. Lepaskan aku dari kurunganmu yang menyedihkan ini dan hadapi aku.“
      “Penjara Putih milikku yang kausebut menyedihkan itu sudah menyerap paling tidak tiga per empat kekuatanmu, anak muda.“
      “Hmph, memangnya kau tahu batas kekuatanku seberapa? Tidak usah berlagak. Keluarkan aku dari sini¾jangan berani-berani kau mengganggunya!!!“ ketenangan Nara terhapus, tiba-tiba dia melempar badannya ke depan, geram, saat melihat Penjara Putih Aria ditarik secara magis kembali ke tepi. Kuku jemari yang panjang mencengkram pinggirannya. “KAU¾
      “Dasar pembohong.“
      Seandainya bisa tergelincir jatuh, Nara sekarang pasti sudah jatuh ke kolam. Dia terkejut melihat kepala Aria terangkat, mata yang penuh kebencian memandangnya lekat. “Pembohong? Maksudmu apa, Aria?“
      “Orangtuamu membunuh orangtuaku,“ desisnya, suaranya terdengar berat dan dalam, seperti tenggelam dan menggema menggelegak dari dasar air yang gelap dan dingin, “insiden di perairan Laut Banda, di tengah badai itu... dan yang kembali ke markas besar hanya orangtuamu,“ kedua bola mata Aria bergerak ke sisi kiri bawah, lalu terpejam, tersenyum pahit. “Ini tidak... adil, Nara.“
      “Aria, apa yang dia katakan padamu?“ sambar Nara, mengalihkan tatapannya pada sosok putih yang berdiri sambil mencengkram tepian Penjara Putih Aria. “Jangan percaya hal-hal busuk yang dikatakannya. Kau tahu faktanya bahwa¾
      “TAPI AKU TIDAK TAHU!“ dari seberang sana, Aria berseru lantang dan pedih. “AKU TIDAK TAHU APA-APA! Fakta yang kutahu orangtuaku mati tidak wajar, saat menjalankan misi bersama orangtuamu! Tidak ada yang berniat memberitahuku apapun! Aku bahkan tidak yakin apakah kita ini benar-benar bersahabat...“
      “Aria, Ariaku yang manis,“ dengan sengit Nara menyaksikan sosok putih itu mendekatkan bibirnya ke telinga Aria, berbisik manis dan mendayu-dayu, membujuk, dan penuh racun, “sudah kukatakan padamu, kuceritakan dengan detil apa yang terjadi di sana, karena saat misi itu terjadi akulah saksi mata di sana.“
      Bersamaan dengan itu, asap berwarna biru kehitaman mengalir keluar dari ujung-ujung kuku panjangnya, melingkari Aria dari bawah sampai atas, kemudian merasuki si lelaki muda.
      Mata Nara menyipit, giginya menggertak, “Kau¾
      Sosok putih itu melepas cengkramannya, ganti mengibaskan tangan ke udara, mengarahkannya persis ke Nara, sederet mantra sihir digumamkannya hingga Penjara Putih Nara bersinar.
      “Selagi kita menunggu Bulan Biru muncul,“ katanya, “mari kita adakan sedikit pertunjukan menarik.“
      Setengah dari api-api jiwa kebiruan yang melayang-layang mengelilingi mereka semua di tengah-tengah pura bergerak tanpa suara, berkumpul di bawah Penjara Putih Aria. Sosok berjubah putih yang berdiri di belakangnya melepaskan keris dari sarungnya, dengan mata berkilat penuh kegilaan ditebasnya Penjara Putih Aria. Tawanan yang berada di dalamnya tidak terjatuh ke kolam karena api-api jiwa telah berkumpul di bawah kakinya, membuatnya terbang.
      Untuk beberapa saat Nara masih berkutat dengan Penjaranya. Setelah bersinar nyaris membutakan mata, terjadi perubahan yang membuat tawanan di dalamnya menelan ludah panik. Penjara Putih itu pelan-pelan menyusut sambil terus menyerap energinya. 
      “Aku akan melawanmu,“ ujarnya santai seraya mengulurkan keris karya sang empu pada Aria, tenang mengawasi Penjara Nara mengerut, “asalkan kau mampu melewati Aria, wahai agen muda terbaik Biro Investigasi Republik, Nararya Erlangga.“
      Terdesak di dalam kurungannya, semakin terimpit, Nara melihat Aria berdiri tegak, dua meter di atas kolam, tangan kanannya mencengkram keris sangat erat. Wajahnya tanpa ekspresi. Kemudian sekilas dia melirik sang pencuri keris. Lidah sosok berjubah putih itu menjulur ke luar dari mulut, semakin memanjang. Dua tanduk mengintip dari balik helai-helai rambutnya. Nara mengejang melihatnya, perubahan yang terjadi sangatlah drastis dan tidak manusiawi, seakan-akan tubuhnya telah dirasuki raja setan dengan rupa yang sangat laknat, yang hanya akan muncul di mimpi buruk yang paling buruk. Orang ini bukan manusia, pikirnya. Seandainya dia tidak lengah dan membuat dirinya tertangkap sampai terkurung di bola keparat ini...
      Waktu singkat yang digunakan Nara untuk mengamati sang pencuri membuatnya tidak menyadari bahwa Aria terbang, Aria yang sama sekali tidak memiliki kekuatan sihir atau elemental sungguh-sungguh terbang, melompat-lompat ringan di atas air, menuju arahnya.
      “Lakukan Aria!!!“ teriak sang pencuri, girang bukan main. “Balaskan dendamku!“
      Sisa api-api jiwa yang mengelilingi mereka menari-nari seolah menyemangati.
      Bayangan bulan memantul di atas air.
      Angin dingin bertiup sepoi dan kemudian mengencang, membuat permukaan kolam yang tadinya selicin cermin menjadi bergelombang.
      Penjara Nara hanya tersisa beberapa inci lagi sebelum benar-benar akan menekannya hingga hancur, Aria semakin dekat.
      Retakan di langit.
      Serta-merta terjadi guncangan yang sangat-sangat keras.
      “Ada apa ini???“ sang pencuri terjengkang cukup jauh ke belakang, sedangkan Aria mendarat di atas air, menimbulkan gelombang dan kecipak, sorot matanya sama sekali tidak berubah, tetap kosong dan dingin tak terpengaruh.
      Manik mata Nara mendelik takjub saat melihat retakan di langit semakin melebar, seperti kubah besar transparan yang kini diturunkan secara cepat. “Barrier?“ Langit penuh dengan bintang-gemintang yang berkilau laksana kristal, namun nampak asap kehitaman cukup tebal melayang-layang.
      Pulih dari guncangan yang kini telah mereda, Aria berdiri, berjalan kali ini, menuju Nara, kerisnya siap menusuk. Pada saat bersamaan gemuruh suara-suara angin bersuit-suit sementara cahaya putih yang bergulung-gulung dan bersinar-sinar menyeruak di tengah-tengah temaram bintang dan gelapnya malam, meluncur pasti mengarah ke tengah-tengah pura, bayangan bulan di atas kolam pun menghilang.
      Oksigen Nara hampir habis. Matanya silau akibat sinar yang bergulung-gulung di langit. Satu matanya menyipit, setengah pasrah akibat ikatan dan penjara yang membelenggunya. Dia tidak sempat melihat Aria melompat tinggi, bersiap menghabisinya.
      Gulungan cahaya putih menukik tajam.
      Keris Aria berkilat-kilat menghujam.
      Ketika cahaya putih itu menghilang, gadis yang penampilannya berantakan dengan rambut pendek acak-acakan, terengah-engah, berdiri menghalangi hujaman keris yang mengarah pada Nara dengan pedang pendeknya.
      Si gadis melirik Nara yang melayang di belakangnya, terpenjara dan tidak berdaya, “Berantakan sekali, Nara.“
      Aria melompat mundur menjauh, setengah berjongkok di atas kolam, menunggu dengan waspada sembari mengawasi si gadis pendatang baru.
      “Halo, Aria,“ sapa si gadis ceria. Lawan bicaranya tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia mengenalinya. “Cih, hipnosis total. Baiklah, kamu tunggu di situ, sebentar lagi akan kuurus. Berani-beraninya kamu tidak menyapaku balik,“ dia memutar tubuhnya. Dengan menggunakan pedang pendeknya, si gadis merobek Penjara Putih yang terlihat hampir membebat Nara seperti mumi, lalu merapalkan mantra sehingga Nara mampu berdiri di atas air tanpa terbenam. Sedikit kehabisan napas dan duduk di atas air, Nara menyahut, “Seperti biasanya, kau selalu telat, Gayatri.“
      Gayatri bertumpu dengan lututnya di atas air lalu memutuskan ikatan di tangan dan kaki Nara, mendecakkan lidah kemudian berkata sombong, “Pernah dengar istilah ‘pahlawan selalu datang terlambat‘ gak?“
      Sembari memijat pergelangan tangannya yang merah, Nara menjawab tak acuh, “Yang kutahu biasanya pangeran yang selalu datang terlambat.“
      “Kalau begitu anggap saja kau tuan putri yang harus diselamatkan oleh sang pangeran,“ kata Gayatri enteng. Gadis itu tersenyum tulus menatap Nara, menegakkan tubuhnya seraya mengulurkan tangannya.
      Seperti biasanya, mau tak mau senyum Nara tertarik. Apapun situasinya, seburuk apapun, Gayatri tetap optimis dan banyak lagak. Dan akan melakukan apapun, termasuk membobol gudang senjata atau mengalahkan sepasukan agen rahasia pemerintah, jika memang itu diperlukan untuk menyelamatkan orang yang berharga baginya. Nara mengayunkan tangannya, menerima uluran Gayatri, “Kamu itu memang dasar¾
      “Yah, maaf aku harus memotong percakapan yang sangat romantis di sebelah sana,“ sela suara si pencuri, membuat Nara dan Gayatri spontan memalingkan wajah mereka, ekspresi wajah mereka berdua spontan mengeras. “Tapi aku harus tahu,“ lanjutnya, berjalan di atas air menghampiri Aria, “bagaimana caramu menembus barrier yang kuciptakan, gadis busuk kurang ajar?“
      “Kausebut apa aku tadi?!“ teriak Gayatri tersinggung, “Manusia setengah-jadi sepertimu gak berhak menyebutku begitu! Aku gak bakal kaget kalau sebentar lagi ada tentakel atau belalai muncul dari punggung atau bokongmu!“ kemudian dia mengacungkan pedang pendek yang sedari tadi digenggamnya erat-erat di sisi tubuhnya, “Ini pusaka sakti milik Divisi Puncak Jaya, mampu membelah apapun, termasuk barrier atau ilusi, semacam kubah jelek tidak berguna yang kau buat ini. Pedang Nemangkawi. Lagipula,“ suaranya berubah jadi desisan berbahaya, “aku tidak akan meninggalkan sahabat-sahabatku.“
      “Sahabat? Kukira aku mendengarnya dalam bentuk jamak. Memangnya anak ini,“ sang pencuri menjambak rambut Aria yang setengah berlutut di sampingnya, menariknya hingga leher Aria tertarik ke belakang. Ekspresi Aria tetap bergeming, “sahabatmu juga?“
      “Lepaskan tanganmu yang najis itu dari Aria, leak monyet!“ Gayatri sudah hampir melompat untuk menerkam si pencuri namun Nara menahannya.
      “Tunggu!“
      “Mana bisa aku menunggu! Si brengsek pengkhianat negara itu harus kutangkap¾
      “Aku tahu, tapi tung¾
      Lagi-lagi guncangan keras muncul, bahkan lebih keras dari guncangan yang pertama. Gayatri menengadah, memandang puncak Gunung Batur yang berasap. Semakin banyak asap yang membubung keluar. Ini berbahaya, waktu mereka sangat terbatas untuk menangkap sang pencuri. Tidak lama lagi pura di kaki gunung ini akan dipenuhi asap dan hujan abu serta kerikil. Sebenarnya barrier yang dibuat si pencuri akan melindungi mereka, namun jika barrier itu tidak dihancurkan, Gayatri tidak akan bisa masuk. Apa boleh buat, ini risiko.
      Gayatri mengentakkan sesuatu keluar dari jaketnya yang berantakan, identitasnya selaku agen mata-mata pemerintah, “Aku, Gayatri Kusumawardhani, agen resmi dari Biro Investigasi Republik, menyatakan kau, Mahendradatta Sora, sebagai pencuri artefak-artefak berharga milik pemerintah, perusak situs-situs penting negara, serta pelaku pembantaian dua belas anggota dewan dan wakil presiden negara; dengan ini menyatakan secara resmi ditahan!“
      Melihat tindakan Gayatri, Mahendradatta Sora tercengang sejenak, lalu badannya melengkung ke belakang, tertawa terbahak-bahak, “Menahanku? Jangan membuatku tertawa, anak kecil! Kalian kira aku ini siapa, hah?“ sambil berkata begitu, kedua tangannya sekali lagi terangkat, mantra-mantra didaraskan.
      Sisa api-api jiwa kebiruan yang ada berkumpul di depan Sora, saling menumpuk sampai akhirnya membentuk wujud seseorang. Nara dan Gayatri mengamati saat api itu berubah menjadi sesosok perempuan berpakaian serba gothic, rambutnya yang merah menyala sangat kontras di atas bajunya yang sehitam tinta. Kecantikannya terpancar begitu kuat, Nara yang biasanya selalu berwajah datar, terkontrol, dan berpikir logis sampai-sampai tercengang. Jika saja perempuan itu muncul bukan dari kumpulan nyala api, jika saja iris matanya tidak berbentuk seperti iris mata ular, mungkin dia...
      “Peduli amat! Aku cukup mengalahkanmu dan membawamu ke biro!“ tanpa banyak basa-basi Gayatri menerjang maju, pedangnya menghunus, menuju Sora yang menyeringai menyeramkan.
      Si gadis berbaju gothic terbang maju menghalangi, melindungi Sora; terdengar suara dentingan logam beradu. Rupanya gadis itu juga menggunakan pedang.
      “Kau menghalangiku, cewek hantu,“ kata Gayatri, “minggir!“
      “Sayang sekali tidak bisa,“ katanya dingin, gigi-giginya yang nampak dari seringaiannya berupa taring semua. “Coba kalahkan aku, gadis penyihir.“
      Mendengus kesal, Gayatri terpaksa meladeni pengawal pribadi Sora, pertarungan sesama pemain pedang berlangsung sengit di langit. Di sisi lain, Nara yang tadi melamun mengamati si gadis gothic tidak menyadari bahwa Aria sudah melayang ringan, kerisnya nyaris menusuk jantungnya. Meskipun reaksi Nara sedikit lambat, untungnya dia berhasil menghindar, jadi yang terluka hanyalah lengan kirinya.
      “Tidak tepat sasaran,“ Aria akhirnya bersuara, penuh sesal melihat keris yang gagal menusuk organ pusat kehidupan Nara. Diamatinya ujung keris yang kini meneteskan darah. “Sekali lagi.“
      Nara mengelap tetesan darah yang mengalir di lengannya dengan ujung-ujung jemari tangan satunya. Aria yang ada dihadapannya kini bukanlah Aria. Dia harus serius, tidak bisa terus-terusan menghindar; jika tidak, pertarungan yang tanpa tujuan ini akan membuat semuanya sia-sia. “Aria Acintya, agen Biro Investigasi Republik, apa kau sudah lupa apa tugas yang diembankan padamu?“ tangan kiri Nara bersinar, terdengar bunyi dengung aliran listrik yang begitu berisik, sementara sebentuk pedang listrik terwujud di sana.
      “Aku mencari pembunuh orangtuaku!“
      “Dan orang yang kaucari bukanlah aku!“
      Keduanya menjejak air, keris kuno dan pedang elemental bertemu di udara, auranya yang bertabrakan menyebabkan hempasan gelombang yang begitu dahsyat.
      “Buka matamu, Aria!“
      “Paman dan Bibi tetap hidup, mereka kembali padamu, sementara bagaimana nasib orangtuaku?“ Aria mendelik, “Apa kamu mengerti bagaimana rasanya menghadapi dua peti mati yang kosong? Hanya ada foto mereka, sementara tidak ada jejak apapun, tidak ada kabar, tidak ada penjelasan?“ kerisnya mendesak, menari-nari di bawah sinar rembulan. “Lantas aku harus bagaimana? Aku kehilangan kepercayaan, aku tidak tahu lagi mana fakta, mana yang hanya cerita rekayasa!“
      “Kamu harus bagaimana?!“ suara Nara meninggi, dia memperbesar aliran listrik pada pedangnya, dengan kekuatan penuh mendorong Aria hingga terjatuh di gundukan batu yang berada persis di tengah-tengah kolam. “Kamu bertanya harus bagaimana? Kalau kau memang mau tahu jawabannya,“ Nara menerjang, Aria cepat-cepat berdiri pada kakinya, menyambut tebasan berikutnya dari pedang listrik Nara, “kenapa kamu justru lari dari kenyataan, hah?!“
      “Aku tidak¾
      “Kau LARI, Aria!“
      Ledakan cahaya lagi, berbarengan dengan guncangan ketiga yang sangat-sangat keras. Terdengar suara gemuruh dari dalam perut bumi. Tanpa mereka sadari hawa di pegunungan sana menjadi panas akibat terlalu fokus pada pertarungan masing-masing, tidak juga menyadari bahwa ketebalan asap yang menguar keluar dari puncak gunung sudah berada pada status mengkhawatirkan. Dan membahayakan. Seusai guncangan itu, mereka melanjutkan pertarungan seolah-olah tidak ada yang menginterupsi.
      Pada titik ini, keempat petarung itu tidak menyadari bahwa Sora telah berjalan¾lebih tepatnya melangkah di udara, berdiri begitu dekat dengan lokasi pertarungan Nara dan Aria. Persisnya, dia berdiri tidak jauh dari gundukan batu.
      “Kau lari dari kenyataan! Kau menghindar untuk mempercayai orang!“ tusukan bertubi-tubi, yang setiap tusukannya berhasil ditangkis,“Masa kau gak sadar bahwa kau membangun tembok, mengisolasi dirimu dari dunia nyata, menolak mengizinkan siapapun yang berusaha meraihmu ke dalam, dan menenggelamkan dirimu dalam kesengsaraan yang kau buat sendiri?“ tinju tangan kanan Nara yang dialiri arus listrik tegangan tinggi menghantam pipi Aria. “Kita ini sahabat! Sadarlah, bangsat!“
      Pegangan Aria pada keris melonggar sementara badannya dalam irama slow motion mendarat dengan bunyi debam keras pada gundukan batu.
      Tangan kiri Nara mencengkram pergelangan tangan kanannya, mengangkatnya tinggi-tingi di atas kepalanya lalu berteriak, “Vhaita Penggaaaaaaaaaaaa!
      Kilatan petir memancar dari setiap jarinya, tanpa ragu Nara mengarahkannya pada Aria yang terbaring di atas batu.
      Gayatri menoleh, terkejut. Pedang Nemangkawinya berhenti menebas sejenak.
      Nara terengah-engah, melayang, memandang Aria yang terbaring tak sadarkan diri di atas gundukan batu.
      Bayangan bulan berada tepat di tengah-tengah gundukan batu, sinarnya mengintip ragu-ragu dari balik gumpalan awan dan asap. Di sanalah keris legendaris Empu Gandring dengan darah Nara tertancap. Hanya Sora yang mengetahui warna bulan telah berubah menjadi biru. Kejadian berikutnya terjadi sangat cepat, keris yang menancap itu mengeluarkan cahaya yang sangat menyilaukan, lalu teriakan keras Nara menggema, “AAAAAAAARGHHHHHHHHHH!!!!!!“
      Ketakutan, Gayatri melihat tubuh Nara tersetrum. Bukan. Tubuhnya tidak tersetrum. Lebih tepatnya, kekuatan listriknya ditarik keluar dari tubuhnya, diserap oleh keris Empu Gandring.
      “Hen-hentikaaaaaaaaannn!!!“
      “AHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!“
      “AAAAAAAAAAAAAAAAARGGHH!!!“
      Suara tawa Sora dipenuhi kepuasan yang keji, bergaung bersamaan dengan jeritan pilu Gayatri dan teriakan kesakitan Nara. Dengan ngeri Gayatri melihat tubuh Nara berkelojotan, menggelepar, sebelum akhirnya terjun bebas ke air.
      “Jangan menghalangiku, cewek hantu!“
      Gayatri meninggalkan pertarungannya dengan pengawal pribadi Sora, berlari menghambur menuju Nara, berusaha menangkapnya sebelum tercebur ke air.
      Si pengawal mengambil kesempatan itu untuk melemparkan pedangnya menuju Nara, seakan-akan sedang melemparkan panah dart pada papan sasaran.
      Aku tidak akan bisa mencapainya tepat waktu.
      Mata Gayatri melebar.
      Tidak.
      Peluh dingin menetes.
      Tidak.
      Gayatri melontarkan Pedang Nemangkawi.
      TIDAK.
      Mantra-mantra dilantunkan.
      Pedang Nemangkawi membelah pedang pengawal Sora yang kemudian pecah berhamburan menjadi bola-bola api kecil berpendar biru. Si gadis berbaju gothic lenyap.
      Tepat sebelum tubuh Nara menyentuh air, Gayatri menangkapnya dalam pelukannya.
      “Khukhukhukhu...“
      Dengan berang Gayatri memalingkan wajahnya pada sosok bertaring, bertanduk, dan berlidah panjang terjulur yang berdiri di tepian gundukan batu, nampak benar-benar puas. Tidak mempedulikan tubuh Aria yang tergeletak di sana, dia berkata gembira, “Rencanaku sukses!“
      Seketika terdengar suara gemuruh yang begitu keras, seperti suara yang muncul ketika sumbat pipa dibuka. Air di kolam membentuk pusaran, semakin lama semakin menyusut ke dalam, memunculkan sebuah patung prasasti di seberang gundukan batu tempat Sora menjejak. Patung prasasti yang sangat indah, ukirannya sangat detil, bersih, dan rapi. Patung seorang dewi yang tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna di atas padmasana berbentuk bunga teratai. Gayatri terpesona. Betapa wajah yang terukir abadi pada batu itu begitu tenang memancarkan keteduhan, kedamaian, dan kebijaksanaan. Tangannya berada dalam posisi dharmacakra-mudra. Terdapat ukiran lingkaran halo yang melambangkan dewa-dewi atau orang bijaksana yang telah mencapai tingkat kebijaksanaan tertinggi. Arca Prajnaparamita, arca perwujudan dari Ratu Singhasari pertama, Ken Dedes.
      Satu detil berbeda dari arca yang dipajang pada Museum Nasional Indonesia adalah di pinggang sang dewi tersemat sebilah keris.
      “Akhirnya,“ Sora nyaris berdendang saking bahagianya, “akhirnya aku mendapatkanmu,“ dengan gerakan takzim dia mendekat, perlahan mencabut keris sampai terangkat sepenuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu terkekeh, “Ahahahahahaha!“ tawanya yang melengking itu membuat bulu kuduk meremang. Tawa panjang kesetanan dan penuh kepuasan liar yang menjijikkan. “Pemerintah hanya mengirim tiga anak kecil,“ katanya, mencemooh, “tiga anak kecil tidak berdaya, tidak berpengalaman, sok tahu, sok bersikap pahlawan!“
      “Diam kau, pengkhianat negara!“ seru Gayatri, memeluk Nara erat-erat. Gadis itu merasa putus asa. Dia juga memperhatikan bahwa sejak keris Prajnaparamita diambil Sora, wujudnya yang begitu buruk rupa sedikit demi sedikit kembali menjadi manusia biasa. Kutukan yang terlepaskah...?
      “Apa kau tahu, gadis kecil?“ Sora menendang-nendang tubuh Aria, nada bicaranya merendahkan, “Si bodoh Aria ini mau saja kumanipulasi! Siapa yang membunuh orangtuanya, katanya? Orangtua Nara? Itu hanyalah lelucon karanganku! Yang membunuh orangtua Aria adalah aku. Kedua orangtua mereka melaksanakan misi mereka dengan baik di Laut Banda, melindungi presiden dengan taruhan nyawa. Sayang sekali yang berhasil kulenyapkan hanya pasangan itu! Orangtua Nara berhasil melukaiku dan melarikan presiden dari sana. Mataku ini adalah mata artifisial, kaukira gara-gara siapa? Mengapa Nara yang menjadi korban? Itu mudah. Karena dia adalah keturunan Ken Arok.“
      “Apa?“ tanya Gayatri, terkaget-kaget “Mustahil, memangnya dari mana kau¾
      “Aku menelitinya, tentu saja, gadis bodoh,“ ujarnya sombong, “kausangka aku tidak menyelediki apa-apa saja yang kuperlukan untuk memiliki artefak-artefak sakti milik negara kita? Posisiku sebagai anggota dewan bukan hanya untuk hiasan, nona muda!
      “Selain darah keturunan Ken Arok, hal lain yang juga diperlukan adalah absorbsi energi. Si bodoh Nara itu beruntung dia memiliki kekuatan elemen petir. Jika tidak, energi kehidupannya akan diserap habis dan dia akan mati. Atau mungkin malah dia sudah mati?“
       Mendengar penjabaran Sora tanpa sadar Gayatri mengeratkan pelukannya pada Nara yang pingsan. Hidup, dia akan hidup, Gayatri meyakinkan dirinya sendiri. Betapa dia marah mendengar cara Sora menjelaskan, seakan-akan dia sedang membicarakan bahan-bahan yang diperlukan pada resep memasak telur dadar, remeh-temeh.
      Dia harus menangkapnya. Tapi energi sihirnya hampir mencapai batas. Bahkan mungkin membuka Jembatan Pelangi pun dia takkan mampu. Sementara dua sahabatnya terkulai nyaris mati...
      Apa yang harus kulakukan...?
      “Keris Prajnaparamita ini akan membuat pemiliknya hidup kekal abadi, tahukah kau? Dengan dua keris ini aku bisa kembali berkuasa dan memberi pelajaran pada semua agen brengsek di Biro Investigasi Republik yang telah berani dan lancang membongkar bisnis pribadiku!“ dia merentangkan kedua tangannya, lalu dengan lagak dramatis tertawa terbahak-bahak, tawa gila dan kesetanan tak terkendali.
      Nara... Aria...
      BOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOM!!!
      Hal yang ditakuti Gayatri terjadi.
      Gunung Batur meletus.
      Gunung itu memuntahkan cairan lavanya yang berwarna merah, jingga, juga kuning dengan begitu meriah laksana kembang api di perayaan tahun baru. Paket lain yang turut ditumpahkan adalah hujan batu lahar, kerikil, abu, dan asap. Hawa pun menjadi sangat panas. Dari pura di kaki gunung, Gayatri memperhatikan kejadian alam mahadahsyat ini dengan gemetaran. Matanya berkaca-kaca.
      “Baiklah, saudara-saudari sekalian,“ Sora membuat suaranya terdengar resmi, berdeham-deham membersihkan tenggorokan, “Karena urusanku sudah selesai, waktunya aku permisi. Semoga kalian berun¾AAAAAAAAAAAARRRGGGHHH!!!“
      Bunyi tusukan benda logam menembus daging manusia terdengar lirih.
      “Astaga,“ gumam suara teredam, “Nara sialan itu menyetrumku kuat sekali.“
      “Aria!“ jerit Gayatri lega. “Aria, Nara pingsan dan kekuatanku sudah¾
      “Tenanglah,“ sosok lelaki yang terbaring itu bergerak, bangkit dengan gerakan kaku sembari terus menekan keris Empu Gandring pada punggung telapak kaki Sora.
      “Terkutuk kau, Aria¾
      “Nara sudah melakukan yang terbaik untuk mematahkan hipnosismu padaku, Mahendradatta,“ tubuhnya benar-benar sudah berdiri tegak, ada kilatan tanpa ampun dalam matanya, “Aku mendengar semua pengakuanmu. Kau,“ Aria meraih ke dalam tas kecil yang tergantung di sisi kanan pahanya, Sora tidak bisa bergerak karena keris sang empu menancap tajam dan benda itu mulai menyerap kekuatannya, “penjahat dan pengkhianat, pencuri artefak-artefak kuno, perusak situs-situs berharga negara, serta pelaku pembantaian dua belas anggota dewan dan wakil presiden negara, Mahendradatta Sora, ditahan,“ moncong pistol mengarah pada dahi Sora, Aria hampir tidak mempercayai matanya saat melihat wajah normal manusia balik menatapnya. Hanya saja sayangnya ekspresi bengis dan tamak yang tergurat di sana merusak kemanusiaannya.
      “MATILAH!“ Sora mengayunkan keris Prajnaparamita, Aria menjejak gundukan batu sekuat tenaga, bersalto di udara lalu menekan pelatuknya tiga kali.
      Sora menoleh, keris Prajnaparamita terlepas dari tangannya, wujudnya mulai berubah, tanduk mendesak keluar, taring-taringnya memanjang, bola matanya membesar dalam kecepatan tidak normal, lidahnya kembali terjulur, “Terkutuklah kau, Aria Acintyaaaaaaaa!“
      Letusan kedua menggelegar, memuntahkan lahar, lava, asap, abu, kerikil dalam volume lebih masif.
      Sora luruh ke gundukan batu.
      Aria buru-buru berlari menghampiri Gayatri. Ya dia masih bisa berlari di atas air meskipun hipnosisnya sudah dipatahkan. Suhu semakin meningkat dan tak lama lagi pura ini akan tenggelam dalam sungai lava dan batuan lahar; sekilas melihat kondisinya, Aria langsung tahu bahwa Gayatri tidak akan sanggup membuka Jembatan Pelangi, dan Nara...
      “Aria, Aria,“ Gayatri hampir menangis, suaranya tercekat, “kita¾aku... aku tidak bisa membuka portal Jembatan Pelangi, energi sihirku¾dan Nara, dia tubuhnya semakin dingin¾aku tidak bisa¾aku tidak tahu harus melakukan apa¾kita, kita... Kita akan ma-mati¾
      “Tidak akan ada yang mati!“ kata Aria, menenangkan si gadis. “Tidak akan ada yang mati. Percayalah padaku.“
      Guncangan keras lagi. Tak perlu diragukan lagi akan ada letusan susulan.
      Waktu mereka sudah habis.
      Aria mengeluarkan tiga pasang gelang besi dengan layar kecil tertera di sana. Cepat-cepat dipasangkannya dua pasang yang pertama pada pergelangan tangan Gayatri dan Nara.
      “Apa…?“
      Pertanyaan Gayatri tidak dijawab Aria. Dia lalu berbalik terbang ke tempat Sora tergeletak, memasangkan sepasang gelang yang sama pada pergelangan tangannya, mencabut keris empu Gandring dari kakinya, mengambil keris Prajnaparamita yang sama terkapar di sana, dan kembali ke sisi Gayatri. Sebuah alat lain diambil Aria dari tas kecilnya, dengan cekatan dia memencet serangkaian tombolnya.
      “Aria, apa yang kau¾“ kalimat Gayatri terputus, dia terbatuk-batuk keras, hujan abu menjatuhi mereka.
      “Gayatri, bisakah kau membuat barrier?“
      “Untuk menutupi pura ini secara keseluruhan? Tidak bisa.“
      “Bukan, barrier yang cukup untuk melindungimu, Nara, dan Sora saat kalian terisap ke wormhole.“
      “Kalau itu aku bisa, tapi bagaimana¾
      “Sudahlah, jangan banyak tanya, lakukan saja!“
      Menuruti paksaan Aria, dengan satu tangannya yang bebas Gayatri mengerahkan segenap kekuatannya yang tersisa untuk memunculkan jaringan energi tipis yang kemudian membentuk lapisan melindungi tubuhnya dan Nara, serta Sora.
      “Persiapan selesai, sebentar lagi kalian akan berangkat.“
      Awalnya Gayatri tidak menangkap apa maksud Aria. Namun saat mendengar suara gemuruh angin ribut dan menengadah, dia melihat langit terbelah. Sontak dia langsung mengerti.
      “Tidak, Aria!“
      “Jangan banyak protes, Gayatri,“ Aria berkata tegas.
      Bahkan saat Aria mengucapkan suku kata terakhir namanya, si gadis merasa tubuhnya dan Nara mulai terangkat naik ke langit.
      Untuk kali ketiga Gunung Batur memuntahkan isi perutnya.
      “TIDAK, Aria¾tanganku, raih tanganku!“ bibir Gayatri gemetar, dia melirik Nara yang masih tidak sadarkan diri dalam pelukannya, “Nara tidak akan memaafkanku! Kumohon, genggam tanganku! Kita harus pulang!“ Gayatri mengulurkan tangan kanannya, melambai-lambaikannya, kalut.
      Aria tersenyum.
      “Jangan cengar-cengir kayak orang bego dan cepatlah raih tanganku, Aria!“
      Aria melirik sang tawanan negara yang tadi ditembakinya dengan dua peluru timah dan satu peluru bius dosis tinggi, masih pingsan. Bagus. Tubuhnya juga sudah melayang naik.
      “ARIA!“
      Aria memalingkan wajahnya pada Gayatri yang melayang lima meter di atasnya.
      Gadis itu menangis. Satu tangannya masih tetap terulur.
      Aliran lava sudah akan mencapai pura.
      “Tidak bisa, Gayatri,“ tuturnya tenang, “Tubuhku akan tercabik-cabik jika melakukan lintas dimensi dan waktu tanpa kedua gelang itu.“
      “Peneliti bodoh, kenapa kau menciptakan benda ini jika tidak bisa menyelamatkanmu?!“
      Aria tak menyahut, hanya tersenyum.
      Lava membanjiri pura, disusul serangkaian hujan batu lahar besar-besar menghantam tempat itu.
      Wajah Gayatri sudah basah akan air mata.
      “Bego...“
      Dengan sisa-sisa kekuatan sihir pemberian Sora yang ada pada tubuhnya, Aria melompat.
      Tinggi. Sangat tinggi.
      Hingga mencapai Gayatri dan Nara.




      Dia meraih wajah Gayatri, mendekat, lalu mengecupnya di bibir.
      “Sampaikan salamku pada Nara.“
      Gayatri, Nara, dan Sora terisap, menghilang di balik gumpalan awan.
      Aria terjun bebas menuju lautan lava.
      Sial, bahkan di saat-saat terakhir pun aku tidak berani mengatakannya...



***



[continued to: I remember]




story
© Erinda Moniaga, 2013
10.24 AM
13022013

illustration 
© Dewa Astana, 2013

No comments:

Post a Comment