every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Wednesday, February 22, 2012

artwork for Elysium

Hello everyone :D
Sungguh menyenangkan sekali tanggal 18 Febuari cerita fantasi yang mau kuikutkan lomba bisa selesai tepat waktu, dan bisa di-submit juga sebelum deadline. 
Proses supaya bisa menulis cerita itu lumayan juga, karena writer's block yang terjadi selama 3 minggu itu sangat merepotkan -_-
Nah, yang penting sudah jadi. Syukur-syukur menang. Kalah ya mau gimana, nasib, hahaha. Toh nanti aku bisa buat cerita lagi yang baru :D

Jadi di postingan ini aku mau mengunggah gambar yang dibuatkan kawanku, si Dewa Astana aka Degus, untuk cerita Elysium. Temanku ini sudah membuatkan sketsa gambarnya jauh sebelum cerita Elysium itu sendiri tamat. Yang dibuatkan artwork-nya adalah kedua tokoh utama ceritanya, Ra Ptolemaus dan Varuna :D
Sketsa gambarnya cuma sekali mengalami perubahan untuk Varuna, sedangkan si Ra ada dua kali sebelum akhirnya versi finalnya jadi.

Well, daripada berlama-lama ngomong gak penting, langsung aja, inilah dia gambarnya:
Ra Ptolemaus

Varuna The Water Phoenix
Aku sangat, sangat, sangat suka sekali gambar yang dibuatkan temanku iniiiii!!!!!! XD XD XD
Ra ama Varuna, mereka berdua seperti inilah di imajinasiku dan temanku yang luar biasa itu sukses menerjemahkan imajinasiku di otak dan tulisan menjadi gambar keren di atas :3
Itu si Varuna di gambar yang versi sketsa 85% di laptopku, ada versi zoom-in, and she looks so beautiful. Ra juga sama, ada versi zoom-in-nya. Kakoiiii!!!!! >.<
Seandainya ada yang mau buatin gambar Zev, Jord, sama Hyperion. Mereka bertiga itu juga super cool sekali kalau di imajinasiku. Sayang ya aku gak pintar gambar -_-
Thanks so much, my friend, Degus!!! XD

Sekian cuap-cuapku di postingan ini. Mungkin nanti cerita Elysium ini bakal kujadikan novel, setelah banyak temanku yang sudah membaca memprotes kenapa ceritanya hanya sependek itu. Yang diikutkan di  lomba juga sebenarnya versi yang sudah dipadatkan, karena aslinya ada 14 halaman, sedangkan syarat lomba hanya boleh 9ribu-10ribu characters tanpa spasi.

Oh ya, yang belum baca Elysium, silakan di-klik link berikut >> Elysium

Terima kasih banyak bagi yang sudah membaca XD
Kalau boleh minta komentarnya, silakan langsung ditinggalkan :D

Have a nice day, everyone!


xoxo,
Erinda Moniaga

Tuesday, February 21, 2012

Elysium


Lomba Fiksi Fantasi 2012
Judul : Elysium
Keyword : rajah, salju, cerpelai, rasi, palung

Ra berlari sekencang-kencangnya menuju arena pertempuran. Isi pikirannya kini bercabang. Benar, memang, bahwa misi membunuh sang Phoenix Air masih berada di urutan teratas dalam daftarnya, namun perkataan si Phoenix Air sudah mengganggunya sedemikian rupa. Bahwa sesungguhnya Ras Manusialah yang bersalah. Bahwa para Makhluk Mistis hanyalah korban, kambing hitam semata dari cerita busuk yang dikarang-karang para petinggi Ras Manusia. Bahwa mereka sesungguhnya bersedia untuk tinggal berdampingan di Elysium. Di surga.
      Semua itu terbalik dari apa yang dia ketahui, dari apa yang sudah dicamkan para penguasa di tanah kelahirannya. Mana sebenarnya kenyataannya?
      Ra harus menemukan Varuna, si gadis penjelmaan Phoenix Air. Gadis itu berutang penjelasan lebih lanjut. Dan jika dia berdusta, tiada ampun lagi, dia harus mati. Mestinya sewaktu tadi Varuna menyembuhkan luka-lukanya, Ra tidak usah ragu. Kenapa dia tidak bisa membunuh gadis itu? Satu lagi hal yang mengusiknya, perkataan Varuna bahwa meskipun di masa ini lagi-lagi mereka tidak bisa bersatu, dia yakin mereka akan bersatu nanti, di suatu masa yang akan datang. Apa maksudnya? Mengapa dia berbicara seolah-olah sudah mengenalnya lama sekali, padahal ini kali pertama mereka bersua? Bagaimana gadis itu bisa mengetahui namanya? Dan, yang paling penting, kenapa musuhnya itu mau menyembuhkan luka-lukanya?
      Ra harus menemukannya, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Benang yang terlampau kusut ini harus diuraikan.
      Suara-suara pedang yang saling bersilang terdengar nyaring saat Ra mencapai arena perang di tepi pantai. Rangkaian mantra sihir terucap bagai lagu kematian. Teriakan-teriakan haus kekuasaan para manusia. Makhluk mistis yang berusaha sesedikit mungkin untuk melukai para manusia dan sedapat mungkin hanya melakukan sihir pertahanan. Darah. Mayat-mayat bergelimpangan dengan luka-luka mengenaskan dan menganga. Mata-mata yang terbuka namun tidak lagi memandang.
      Ra menjerit dalam hati, inikah perangai manusia? Manusia yang katanya adalah ciptaan paling mulia?
      Dia berlari, giginya menggertak keras. Tinggi-tinggi diangkatnya pedangnya pada tangan kanannya dengan gerakan mengancam, tapi tidak menusuk siapa-siapa. Dia melihat ke segala arah, matanya mencari-cari Varuna.
      Kemudian dari pusat medan tempur terjadilah ledakan cahaya biru. Sinarnya sangat menyilaukan, semua yang ada di sana sampai harus menutup mata sejenak. Terdengar teriakan Orion Ptolemaus, Jendral Ras Manusia, kakaknya, membahana, “Dasar Makhluk Mistis tolol! Saudaramu si Naga Api Hyperion setengah mati berusaha menyembunyikanmu, tapi kau sendiri datang ke mari! Sudah siap mati rupanya kau?“
      Wajah Ra memucat ketika mendengar perkataan itu. Dia akhirnya sampai di sana, terengah-engah, melihat Varuna berdiri dengan tenang dan anggun. Gadis perwujudan Phoenix Air itu berambut cokelat madu dan bermata biru, ekspresinya begitu lemah lembut. Dengan nada tegas dia menyahuti ucapan Orion, “Perang konyol ini tidak perlu terjadi, wahai Manusia. Sudah kami katakan bahwa kami bersedia hidup bersama-sama. Kami bersedia membagi buah dari Pohon Kehidupan. Kami bersedia membagi Elysium, membagi surga. Mengapa kalian tidak mau?“
      Orion tertawa terbahak-bahak, lalu menyeringai sadis serta dipenuhi hawa nafsu, “Berbagi katamu? Yang benar saja! Kami harus menjadi penguasa mutlak surga ini, tidak perlu dibagi-bagi! Makhluk seperti kalian tidak pantas hidup! Hanya kamilah,“ Orion memperlihatkan rajah dengan simbol-simbol kuno yang terlukis di lengan kanannya, penuh kebanggaan; rajah yang menandakan dia adalah keturunan manusia bukannya makhluk mistis, “Ras Manusia, yang pantas menghuni surga!“
      Kernyitan pada dahi Varuna semakin dalam. Dia teringat Pohon Kehidupan yang bersemayam di pusat Elysium. Pohon Kehidupan yang menyokong surga ini dari dalam. Dia teringat padang yang mengelilingi Pohon Kehidupan, bunga-bunga sewarna lembayung sedang bersemi dengan cantiknya. Gunung-gunung dengan puncak salju putih menjulang di selatan pulau. Pantai dengan pasir putih yang begitu lembut terserak di utara pulau. Perkampungan para Makhluk Mistis berada di segala sisi Elysium, hidup saling berdampingan dengan damai. Hewan berbagai jenis hidup dengan tenang di hutan, singa dengan domba, cerpelai dengan ular, harimau dengan kelinci, tidak ada saling membunuh. Sebuah sungai yang berpusat dari tengah hutan Elysium terbagi menjadi empat, masing-masing mengaliri empat penjuru pulau, sisi utara, timur, selatan, dan barat.
      Segalanya terproyeksikan dengan jelas dalam benak Varuna. Elysium yang indah dan damai. Hatinya merana dan bertanya-tanya, mengapa perang ini harus terjadi?
      “Varuna!“ Ra mendongak, tidak jauh dari sana seorang laki-laki berjuang untuk mendekat. Ra bisa mengetahui bahwa laki-laki itu sangat khawatir dan ketakutan. Matanya yang sewarna langit senja kemerahan sudah bertutur segalanya. “Varuna, jangan, hentikan, kembalilah ke Pohon Kehidupan, hanya kau yang bisa menjaga¾ugh,” lalai tidak berkonsentrasi, sebuah pedang sukses menembus perutnya. Varuna seketika menjerit.
      “Hyperion...“ lutut gadis itu goyah melihat sang Naga Api Hyperion terluka, ia terjatuh. Air mata dengan deras mengalir, “Kumohon, hentikan, jangan lukai saudara-saudaraku lebih dari ini!“
      Kepuasan liar tergambar dengan jelas pada mata Orion. “Jadi?“
      “Bunuh aku, bunuh saja aku, hentikan perang ini, jangan lukai saudara-saudaraku lagi, jangan ada lagi manusia yang mati sia-sia! “
      Adegan yang terjadi di depan matanya membuat Ra muak. Tempat tanah kelahirannya sudah sangat sekarat. Banyak manusia yang keracunan. Mulanya Ra tidak tahu apa sebabnya, dia menerima segala cerita yang dijejalkan padanya, bahwa kehancuran dan kematian Ras Manusia disebabkan oleh para Makhluk Mistis, oleh karena itu Ras Manusia harus merebut Elysium, tempat tinggal Makhluk Mistis, sebagai ganjaran atas perbuatan jahat mereka. Namun setelah melihat bagaimana cara kakaknya memperlakukan Varuna serta sesama bangsa penghuni Elysium, Ra mulai tidak meyakini apa yang diceritakan padanya. Mungkin Varuna memang benar. Mungkin memang manusia yang telah merusak tanah kelahiran mereka sendiri dengan berusaha melakukan sihir-sihir terlarang, dan gagal total. Akibat tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, akhirnya mereka membuat cerita seolah-olah para Makhluk Mistislah yang berbuat keji.
      Ra merasa gamang.
      Orion melihat sekelilingnya. Perang masih berlangsung, tapi sebagian pasukan yang berada di dekat-dekat sana terdiam akibat mendengar pembicaraan mereka. Kemudian dilihatnya Ra berdiri tidak jauh dari sisinya, “Wahai, Ra, adikku sang pemanah terbaik, kuberi kau kehormatan untuk membunuh si Phoenix Air ini. Phoenix yang daging dan darahnya mampu memberikan kesembuhan dan hidup abadi! Lakukan, adikku, demi saudara-saudara kita yang sekarat di tanah kelahiran kita!“
      Varuna menoleh ke arah Ra. Tatapannya seolah-olah mengatakan ‘lakukan saja.’
      Ra menelan ludah. Bukan situasi begini yang ia harapkan.
      “Ayo, pasukanku, beri semangat pada pahlawan kita, Ra Ptolemaus!“ Orion meraung pada pasukannya sembari tertawa buas.
      “Varuna!“ seekor serigala berbulu perak, sang Serigala Angin Zev, dan rusa jantan berbulu cokelat kemerahan, sang Rusa Tanah Jord, muncul. “Varuna, terbang ke sini, cepat!“
      Ra tidak mengerti. Kenapa gadis itu justru menggeleng dan tersenyum? Kenapa dia pasrah? Kenapa dia tidak melawan, tidak membunuh pasukan manusia satu per satu? Dia Makhluk Mistis terkuat, penjaga Pohon Kehidupan, penjaga Elysium, penjaga surga!
      “Ra, jangan biarkan kami menunggu terlalu lama!“ Orion berkata memperingatkan. “Lakukan segera!“
      Pikiran Ra kosong.
      Busur Ra terangkat. Panah saktinya, Silverataca, siap dilepaskan.
      Jord dan Zev, yang telah berubah ke wujud manusia namun masih tetap melayang di langit, mengambil ancang-ancang akan membunuh Ra, tapi Varuna berkata, “Jangan lakukan apa-apa. Rasi bintang di langit sudah mengatakan ramalannya. Aku tidak mau itu terjadi, kalian mengerti kan?“
      Pikiran Ra kosong.
      Matanya menatap mata Varuna. Suara riuh hiruk-pikuk dari arena perang lenyap ditelan kesunyian, seakan-akan sekeliling mereka membelesak lenyap, dan hanya tersisa keheningan. Arus waktu membeku.
      Lagi-lagi nuansa itu. Lembar-lembar lama dari suatu masa pelan-pelan menyeruak. Ada sesuatu yang sedari awal mengusiknya mengenai Varuna. Matanya, suaranya...
      “Ra...“ bisik Varuna.
      Ada suara-suara terdengar, Ra tidak tahu dari mana, tapi dia mendengarnya. Suara-suara itu memanggilnyakah?
      Siapa... siapa itu yang memanggilnya?
      Ra...
      Pemahaman mendadak muncul.
      Itu suara jiwa. Suara jiwanya yang memanggilnya dan membangunkan apa yang telah lama tertidur.
      Itu suara paruhan jiwanya yang telah lama terpisah.
      Segalanya menjadi jelas bagi Ra.
      Mengapa Varuna tahu namanya. Mengapa Varuna berkata suatu saat nanti mereka akan bersatu, meskipun di masa lalu dan kini tiada mungkin.
      Ya, segalanya menjadi jelas bagi Ra.
      “Varuna...“ ganti Ra berbisik.
      Anak panahnya dilepaskan.
      Varuna tidak memejamkan matanya sama sekali, siap menerima kematiannya. Jord, Zev, Hyperion, dan segenap Makhluk Mistis yang berada di sekitar sana berteriak. Orion mengeluarkan tawa kemenangan sementara pasukannya bersorak-sorai.
      Panah itu menancap di dahi salah satu perwira tinggi Ras Manusia yang berdiri di belakang Varuna.
      Ra menurunkan busurnya, tersenyum pada Varuna.

      Aku percaya padamu.
      Sungguh?
      Ya. Tidak akan kubiarkan siapapun mati lagi.
Terima kasih, Ra.
      Varuna, aku sudah tahu...
Apa yang kauketahui?
      Bahwa sesungguhnya kita adalah¾

      Mata Ra membelalak ketakutan saat melihat Orion berseru murka, menarik pedangnya keluar dari sarungnya, membabi buta berlari ke arah Varuna, berniat menghabisinya. Mulutnya merapalkan mantra-mantra, membuat Varuna yang tidak siap untuk bertahan menjadi tidak bisa bergerak. Ra melolong.
      Dia melempar badannya menjadi tameng antara Varuna dan kakaknya.
      Tertusuk persis di jantung. Semua makhluk yang ada di sana terdiam. Darah muncrat, membasahi Varuna yang dilindungi oleh Ra.
      Keheningan sungguh merayap di sekeliling tempat itu.
       Varuna memandangi telapak tangannya yang basah oleh darah Ra. Gelombang demi gelombang emosi berkecamuk dalam palung hatinya, merangkak naik, siap muncul di permukaan untuk meledak.
      Orion menarik pedangnya, matanya melebar dibanjiri keterkejutan yang amat sangat.
      Ra terbatuk, gumpalan darah keluar, “Varuna...“ mata hitam dan mata biru bertemu, “maafkan...“ dia terjatuh menimpa si gadis.
      Varuna menunduk, memandang pemuda yang ada dalam pelukannya. “Ra?“
      Dia sudah tahu. Dia sudah tahu ini akan terjadi.
      “Ra?“ katanya putus asa. Air mata bagaikan butir permata berjatuhan. “Ra, jawab aku,“ tangannya mengeluarkan sinar biru penyembuh, berusaha menyembuhkannnya. “Ra...“
      Sia-sia, dia tahu ini sia-sia. Karena itu dia yang mestinya mati. Mestinya dia yang mati, dia saja, jangan orang lain. Sudah terlambat.
      Namun Ra tak menjawab. Tidak lagi. Tidak akan.
      Apa gunanya perang ini? Mengapa manusia-manusia itu begitu rakus? Mengapa harus mengorbankan begitu banyak nyawa? Mengapa mereka tidak bisa hidup berdampingan? Mengapa saudara-saudaranya, Jord, Zev, dan Hyperion mesti terluka? Mengapa dunia ini begitu rusak? Mengapa Ra harus mati? Mestinya dia saja. Cukup dia saja yang menanggungnya!
      Ra sudah pergi.
      Dan Varuna pun menjerit.
      Kekuatannya yang tersegel terlepas.
      Kiamat dunia pun terjadi.
      Semuanya sesuai penglihatannya, Varuna, sang Phoenix Air. Si gadis jelmaan Phoenix penguasa air yang mampu melihat masa lalu dan masa depan. Gadis dengan kekuatan luar biasa. Gadis yang berusaha mati-matian untuk membelokkan kenyataan tapi tidak berdaya.
      Dialah deus penghancur dunia.



-Erinda Moniaga-