every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Saturday, April 18, 2015

Le Printemps - Nightfall

Le Printemps – Nightfall


-Paris, hari pertama musim semi-

      Semoga semuanya akan baik-baik saja, Papa J. In Your Name, I Pray. Amen.
      Ze membuka genggaman jari-jarinya yang bertaut dan matanya bersamaan dengan ucapan kata ‘amin’ dalam hati, tak disadarinya ia menarik napas. Selalu begitu sehabis berdoa. Seraya melipat kertas tata ibadah dan menaruhnya di laci bangku panjang gereja, Ze memperhatikan umat lainnya. Beberapa masih berdiri di tempat, saling bersalaman satu dengan yang lain, sementara sebagian besar sedang berjalan menuju pintu keluar, walaupun tak sedikit pula yang masih mengobrol di koridor gereja. Berbagai bahasa terdengar berseliweran selain bahasa Inggris dan bahasa Prancis. Dia yakin itu bahasa Jerman... ada Mandarin... dan Indonesia?! Hmm...
      Ze menelengkan lehernya ke samping kiri, Elia masih khusyuk berdoa. Ia melihat pangkal hidungnya berkerut dalam. Tidak biasanya Elia berdoa selama ini. Ze kembali duduk, menunggunya sembari menikmati not-not piano yang dimainkan oleh pemain musik gereja. Lagu yang dimainkan tidak biasanya juga melodi sedih seperti ini, karena umumnya lagu-lagu pengantar umat pulang pasti lagu-lagu dengan irama ceria yang menggugah.
      “Help my unbelief... Savior, Savior, hear my humble cry... While on others Thou art calling, do not pass me by...“  tanpa sadar Ze turut bersenandung kecil.
      Lalu ia mendengar suara seperti isakan.
      Lirih, tersamarkan suara gabungan piano dan organ gereja.
      Ze menoleh lagi ke Elia dan melihat bahunya gemetar.
      Oh, why, God, no.
      “Elia?“ Ze bergeser mendekat seraya berbisik. “Ya? Elia?“
  Elia tak merespon sama sekali, setengah wajahnya sudah tertutupi bingkai rambut pendeknya. Bisa dilihatnya butiran air mata.
     Words won’t do anything.
  Ze secara instingtif melingkarkan lengannya di pundak Elia, menariknya mendekat, membiarkannya menangis. Yang kemudian semakin parah.
   Elia tidak terisak-isak hingga cegukan, tidak pula tersedu-sedu, tapi Ze dapat merasakan bahunya gemetar semakin keras. Tangisan tanpa suara yang menyengsarakan. Seperti memendam kesedihan dalam hati, menguburnya dalam-dalam, yang kian lama kian menggunung; sampai di satu titik segala pertahanan dan benteng yang diciptakan untuk menahan segala kepenatan itu runtuh dan mendesak keluar, menampakkan luka kekosongan menganga yang tersisa di dalamnya.
      Air mata Ze menitik.
     Dengan tangan kanannya yang bebas ia menggapai-gapai tas tangan cokelatnya, berusaha memukan tisu pocket yang kemudian dalam diam ia sodorkan pada Elia.
      Ze tidak ingat berapa lama Elia menangis di bahunya, tidak pula ditanyakan mengapa Elia menangis. Dia membiarkan sahabatnya menangis sampai ia merasa tuntas.
      Yang diyakini Ze tidak mungkin bisa tuntas pada hari itu.
      Ze mengangkat wajahnya, menatap lurus ke depan, memandang salib.
      Semua akan baik-baik saja kan, Papa?
   Ia berkata dengan nada yang diharapkannya terdengar lembut, “Nangis aja, keluarin semuanya.“
      You are not alone.
   Mendengar orang menangis itu tidak mudah. Namun ternyata lebih tidak mudah lagi membiarkannya menangis sendirian. Sekeras kepala apapun seseorang berkata ia lebih baik seorang diri saat menangis, dalam hati kecilnya ia tahu, ia tidak mampu menghadapinya sendirian.

***


-Paris, puluhan hari kemudian-

      Jingga.
     Aku tidak tahu apa nama warna jingga persisnya. Warna jingga kemerahan juga keunguan itu muncul ketika matahari terbenam, sebelum langit berubah menjadi biru gerau. Golden hour. Warna mentari senja. Warna yang hangat.
      Warna kesukaan Alva.
      “Qu’est-ce que tu vois?”
      Aku mengangkat bahu, menjawab sekenanya, “Rien.”
      Aku tahu Ze akan diam. Dia selalu begitu, bukan tipe yang suka mendesak orang. Bukan pula tipe yang suka bertanya terlalu banyak; tipe yang menunggu orang lain untuk bercerita lebih dulu, dan baru akan banyak mengoceh jika kita sendiri yang meminta saran atau komentarnya.
      “Baru jam setengah delapan. Habis ini mau kemana lagi?” tuh kan, dia tidak melanjutkan topik pembicaraan tadi lagi.
      Aku mengedarkan pandanganku. Kami baru saja selesai makan di Léon de Bruxelles di Avenue des Champs-Elysées, sedikit kekenyangan akibat kebanyakan makan moule dan frites, dan Ze kelihatan seperti orang sakit. “Ça va toi?”
      “Je sais pas, kayaknya aku gak cocok deh makan moule, kepalaku udah mulai pusing. Sama modelnya kalo aku kebanyakan makan sosis babi yang kelebihan pengawet, pasti langsung begini.”
      “Pulang gih, mungkin bagusan kamu tidur. Aku antar sampai George V,” gumamku.
      “Terus kamu?” tanyanya balik.
      Aku mengangkat bahu. “Masih mau jalan-jalan sebentar, liat-liat di Naf Naf.”
      “Ya udah, tak temenin deh,” kata Ze.
      Aku sedikit mengernyitkan alis. Memangnya aku semengkhawatirkan itu ya?
      “Gak usah, Ze, tampangmu udah pucat gitu. Mending kamu pulang duluan; nih, bawa kunci,” aku merogoh ke saku kanan jinsku, menyerahkan kunci kamarku padanya. “Yang penting jangan ketiduran aja ntar.“
    Mulanya dia nampak tidak mau mengambilnya, tapi kemudian aku melihat ekspresi wajahnya berubah. “Iya deh,” dia menerima uluran kunciku.
      “Nah, yuk,“ aku melangkah ke kiri, berjalan menuju stasiun metro George V, Ze menjejeriku di samping kanan.
      Avenue des Champs – Élysées yang terkenal. Guru di tempat les bahasa Prancisku dulu beberapa kali pernah memutarkan lagu tentang jalan ini disela-sela pelajaran kelas, sembari berulang kali menceritakan betapa indahnya avenue ini. Well, ya, memang.
      Avenue ini memang sangat iconic, tak dapat dihitung berapa kali kemunculannya beserta L’Arc de Triomphe di berbagai kartu pos, video promosi, dan buku-buku pariwisata mengenai Paris. Gerbang Kemenangan yang didedikasikan untuk para pejuang yang tewas di masa Revolusi Prancis dan Perang Napoleon, berdiri di ujung barat jalan, di Place Charles de Gaulle; mobil berlalu-lalang mengitarinya, sementara langit kebiruan dengan sisa-sisa guratan merah jambu pucat menjadi latar belakangnya.
      Avenue ini mungkin takkan pernah sepi. Mau pagi, siang, sore, atau tengah malam, sama saja. Barisan pertokoan mewah, hotel, restoran, bar, bioskop berderet-deret dari ujung, stasiun metro Charles de Gaulle – Étoile sampai Franklin D. Roosevelt; apapun yang kaucari (sebagian besar) akan kautemukan di sini. Baik penduduk lokal maupun turis, semuanya tumpah ruah memenuhi pedestrian yang lebar : mengunjungi toko-toko dan berbelanja,  duduk-duduk di pinggir jalan sambil menyesap kopi, mengobrol sampai mampus, atau hanya sekadar berjalan-jalan saja menikmati pemandangan dan keramaian. Mulai dari Louis Vuitton sampai H&M, Ladurée hingga Quick, Sephora maupun Monoprix, bank HSBC juga apotek, bioskop Gaumont, Lido de Paris, butik resmi klub sepak bola Paris Saint – Germain, bahkan showroom Renault pun ada.

[Aux Champs - Elysees, aux Champs - Elysees~
Au soleil, sous la pluie, a midi ou a minuit~
Il y a tout ce que vous voulez aux Champs - Elysees~]

      Begitu bunyi syair lagunya, bagian refrain yang paling diingat. Benar kan?
      “Nanti di metro 6 aku ganti di mana ya, buat ke 12?“
      Lamunanku terputus. Tahu-tahu kami sudah berdiri di depan tangga metro George V.
      “Hah? Kamu mau ke Charles de Gaulle – Étoile? Ngapain? Gak usahlah, naik 1 aja, turun di Concorde, abis itu langsung ganti ke 12,“ jawabku. “Nanti di 12 kamu tinggal duduk manis sampai Porte de Versailles, udah deh. Kalo naik 6 pakai ganti kereta segala di Pasteur, habis-habisin waktu aja.”
      “Oh, iya juga, aku lupa di Concorde ada ganti ke 12,” kata Ze sembari menepuk belakang kepalanya, tersadar. “Yowis, siplah, aku tinggal ganti kereta di Concorde. À plus, Ya.”
      “Beres,” jawabku.
      Tapi Ze belum juga beranjak pergi.
      “Jangan kemaleman lho kamu pulangnya, kamu belom packing.”
      “Zefanya,” ujarku, sedikit senewen, “kita berangkat besok malem. Santailah sedikit. Tinggal cemplung-cemplungin barang ke backpack aja kok, gampang.”
      Namun melihat ekspresinya, aku tahu Ze tidak memusingkan masalah remeh macam mengepak barang. Dia mengkhawatirkan lebih dari itu. Tsk. Aku mengerti, aku paham, tapi aku sedang tidak bisa bersikap manis.
      Maksudku, untuk saat ini saja, biarkan aku bersikap menyebalkan.
      “Kalo udah depan pintu nanti telepon ya,” kusangka Ze akan marah, namun nyatanya tidak. Ia tersenyum kecil, melambaikan tangan, lalu tanpa berbasa-basi lagi berputar, menuruni tangga, hilang ditelan kerumunan manusia.
      Aku menepi ke pinggir sejenak, merogoh-rogoh ke dalam tas selempang kulitku yang berwarna cokelat, mencari-cari headset. Sejak kuliah di Paris, benda ini menjadi teman seperjalanan yang sangat berguna, mengisi keheningan waktu-waktu yang dilalui di bawah tanah, di dalam metro bersama kumpulan manusia lain yang tampangnya cenderung kusut dan cemberut.
      “Do you speak English?”
      Demi Allah Bapa di Surga di mana kutaruh headset-ku...
      “Excuse me, do you speak English?”
      Aha, ini dia...
      “Excuse me?”
    “What?!” kataku jengkel, otomatis menyahut dalam bahasa Inggris karena mendengar lawan bicaraku berbahasa Inggris, seraya mengangkat wajah.
      “Ah, you speak English? Very good. Do you have time?“ ada gadis asing berambut cokelat gelap, beralis tebal dengan tulang pipi tinggi, yang tak bisa kutebak dari negara mana asalnya¾yang pasti dia bukan orang Prancis, terlihat senang mendengar jawaban ‘what’-ku tadi. “Look, here, we are from a foundation...” kuperhatikan benda-benda yang dibawanya tanpa benar-benar mendengar ocehannya. Dia membawa sebuah pulpen dan papan dengan sebuah kertas terjepit di sana, ditilik dari tulisan-tulisan tangan kabur yang tertera di situ, mengindikasikan orang-orang menyumbangkan sekian euro untuk sebuah yayasan beserta tanda tangan mereka.
      Please, ini kan tukang tipu yang tersohor itu. Sasaran mereka para turis, karena itu mereka selalu menyapa dalam bahasa Inggris. Mengaku-ngaku mereka dari yayasan yang bergerak untuk orang cacat lalu meminta orang yang disapanya untuk menyumbang sekian euro. Awalnya biasanya yang diminta hanya tanda tangan, lalu ketika si korban sudah membubuhkan tanda tangan, mereka akan dimintai uang. Cenderung sedikit memaksa pada umumnya, jika objek menolak. Yang begini-begini mestinya tidak usah diacuhkan dari awal.
      “So, how much would you donate voluntarily, Miss?”
      Nyumbang semprulmu.
      “Pardon, je parle pas l’anglais,”  kataku, masih berusaha sopan, menggeleng pelan sambil mengenakan headset di kedua telinga.
      Tapi si gadis ini cukup gigih, “But, Miss, I’ve already told you that...” aku mengabaikannya, memilih-milih lagu yang akan kudengarkan melalui headset. “Okay, Miss? We don’t need much, fifty euros is okay.“
      Lima puluh?! Gila ini orang, tadi bilang sukarela, sekarang malah minta lima puluh euro? Minta digampar.
      “Ben, écoute-moi, mademoiselle,“  kataku, sedikit mendesis, kesabaranku lenyap, “J’ai pas d’argents, d’accord? J’ai pas cinquante euro, j’ai pas un ticket restaurant, j’ai pas un ticket metro, et j’ai pas de petit pièce. Et aussi je parle pas l’anglais. Laisse-moi tranquille!”
      Aku meninggalkannya yang terbengong-bengong. Masa bodoh mau disebut pembohong, memangnya dia sendiri bukan pembohong?
      Tempo jalanku kupercepat demi menghindari kemungkinan disapa lagi oleh gerombolan orang yayasan palsu itu, yang sepanjang jalan menuju ujung Avenue des Champs – Élysées tersebar cukup banyak. Baru berjalan beberapa meter saja sudah kulihat orang-orang serupa gadis tadi, membawa papan dan pulpen, secara acak menyapa orang-orang di jalan. Mengherankan. Aku berharap semoga tidak ada dari para turis yang percaya bualan omong kosong para penipu itu. Kukencangkan volume lagu di headset.
      [I don’t want to lose you now]
      Aku menghela napas. Kuperbaiki posisi headset yang kendur di telinga.

      [I’m looking right at the other half of me
The vacancy that sat in my heart is a space that now you hold]
      
        Hah, ya, Tuhan...
[Show me how to fight for now]
     
      Kakiku berhenti. L’Arc de Triomphe berdiri di seberang jalan, megah dan gagah, dengan api abadi yang menyala-nyala di bawahnya. Menambah unsur keindahan, di belakangnya langit berwarna biru gerau tanpa semburat merah membentang. Warna biru yang kusukai. Aku tidak tahu apa nama dan kodenya dalam wheel-color, tapi kubuat istilahku sendiri: Nightfall.
      [It’s like you’re my mirror]
      
      Aku diam saja di tepi jalan, memandangi langit yang melatari L’Arc de Triomphe. Selalu saja setiap aku pergi keluar tanpa membawa DSLR, akan ada langit yang bagus dan bersih untuk dipotret. Musim semi di Paris benar-benar galau dan sendu, bisa hujan terus-menerus selama beberapa hari.
      Suram.
      [I couldn’t get any bigger with anyone else beside of me]

      
      ...
            
             ...
      
      Pernah merasa benakmu kosong dan mengambang?
                        
                        ...
                                    ...
      [You reflect me, I love that about you
And if I could I would look at us all the time]
                        ...
            ...
      Seperti sekarang, yang bisa kulakukan hanyalah menatapi langit, dengan lagu Mirrors terputar berulang secara otomatis, dan pikiran yang melayang pada seseorang.
      
[Just to let you know]
      
      Oh, I could function normally if I have to.
      I eat.
      I sleep.
      I drink.
      I breathe.
      I take a bath.
      I do the cleaning.
      I communicate with my colleagues.
      I do my work well.
      I go out, have a fancy dinner and talk with my close friends.
      I could debating with some silly people if a bad situation occurred.
      I live as normal as I do. Is there anything that I miss?

[You’re my reflection]
      
      Oh, there is.
      
[All I see is you]
      
      Nightfall.

[My reflection in everything I do]
     
      ...
      
      Kalau diibaratkan... mungkin isi kepalaku seperti labirin.
      
       ...
     Bukan, bukan labirin. Penggambaran labirin tidaklah tepat karena aku tahu bahwa jalan keluar dari kekosongan benak ini ada.
    Waktu dunia berjalan. Waktuku berjalan. Waktumu berjalan. Tentu, tidak ada yang membeku di sini. Perasaanku pun tidak.
      Ia nyata. Ia membakar. Ia membantuku tetap sadar.
      Sadar akan keinginan. Sadar akan harapan. Sadar akan realita.
      Aku sadar, sepenuhnya sadar. Sekaligus kosong.
   Hampa udara. Sama seperti di luar angkasa, terjadi ledakan, terjadi benturan, namun semuanya tetap sunyi.
     Kesunyian dalam kekosongan yang kusadari sepenuhnya... bahwa apapun yang aku lakukan sekarang, aku tidak bisa melupakanmu begitu saja. Tidak ada lagi sisa ruang yang bisa kupakai untuk membuat kebencian tumbuh. Lagipula, untuk apa aku membencimu?
      ...
      Hmph.
      Lucu.
      Tadi kukatakan aku kosong. Mengambang. Hampa. Lalu mengapa kukatakan tidak ada ruang lagi seolah segalanya penuh sesak?
...
      ...
            Paradoks?
      ...
...
      Aku menekan tombol pause. Kuputar badanku menghadap kembali ke Avenue des Champs-Élysées, menghadap ke arah Concorde.
      Marché de Noël. Ya, selama musim dingin kemarin, sepanjang avenue setelah sortie metro Franklin D. Roosevelt, di sepanjang Jardin des Champs-Élysées, merupakan pasar natal sampai ke ujung. Saat aku mengunjunginya, itu adalah kali pertama aku memotret menggunakan kamera DSLR. Bersama Alva.
      Alva...
      Je te vois.
      Je te vois partout.
      N’importe où je vais...
      ...
      Sometimes I wonder how does my face look like when I’m... you know, doing things like this. Staring at one place. Remembering certain event which I’m fully aware that is hard to be erased.
      ...
      Melupakan hal-hal berkesan itu mustahil. Mereka adalah bagian dirimu. Satu-satunya hal yang bisa kaulakukan hanyalah merelakan. Suka tidak suka. Mau tidak mau.
      Tak peduli seberapa hancur perasaanmu, hatimu, otakmu.
      Dan itu pun sulit.
      ...
            ...
                        To be honest, I don’t want to erase them. No intention at all.
            ...
      ...
      Penyakit kronis begini, obatnya cuma waktu. Hari, minggu, bulan, tahun, tidak ada yang tahu. Hanya waktu.
      ...
      Mungkin sebaiknya aku pulang. Kuraih kembali ponselku, kutekan tombol play, lalu beranjak pergi dari situ, mencari pemberhentian bus nomor 22.
      
[My reflection in everything I do...]

***

      Am I wrong?
      Is this feeling wrong?
      If this feeling really is a mistake, what purpose does it have in my life then?
      Why did You make me feel it?
      Dan sederet pertanyaan berikutnya yang mungkin tidak akan habis aku ajukan. Oh ya, ada banyak pola kalimat tanya yang terbentuk di kepalaku, semuanya berakhir dengan tanda tanya yang berpasangan dengan tanda seru.
      Aku menempelkan kepala di jendela bus, menatap ke luar. Pemandangan malam kota Paris yang indah. Kota klasik dengan arsitektur yang menawan. Kafe-kafe tepi jalan yang diterangi lampu kuno. Cantik, terlalu cantik.
[Kubasuh luka dengan air mata...]
      Aku mengecilkan volume lagu.
[Oh, hatimu beku
Serta jiwamu yang lelah...]
      Menghela napas. Kukecilkan sampai suaranya hilang.
      Tania selalu bilang, “Buat apa kamu masih mikirin dia? Kalian beda. Dari awal aku udah tahu kalian bakal begini... Kamu capek mikirin dia, memangnya dia repot mikirin kamu?! Enggak. Udahlah, lupain dia.”
      Zefanya juga mengomelkan hal yang sama, tidak terlalu banyak bedanya. Paling yang berbeda hanyalah gaya bahasanya. Sedikit lebih halus, sedikit tidak memihak. Sedikit logika disisipkan pelan-pelan. Lebih mementingkan keseimbangan perasaanku.
      “Cari pacar baru, Ya. Kok repot sih? Banyak lho cowok di luar sana,“ itu jelas nasihat Iwan. Setelah dia ngomong begitu biasanya aku hanya mendengus dan berdecak, dalam hati bergumam ‘seandainya segampang itu.’
      ...
      Haha.
      Seandainya segampang itu.
      ...
      You must be hating me so much, don’t you now, Alva?
      ...
      “Jangan lebay gini, Ya, udahlah. Cukup galaunya,“ itu kalimat favorit Iwan yang lain, petuah nomor dua yang paling sering disebut-sebutnya di chatting disela-sela jam kerja magang. “Segitu aja galau.”
      My dear God, do you think I want to be in this dark, desperate, heart-breaking situation?!?
      ...
      “Segitu aja galau.”
      ...
      Am I way too exaggerating things? I’m just trying to be honest to myself. I’m tired of hiding everything. I’m tired of pretending that I’m fine while in fact I’m not.
      “Segitu aja galau.”
      ...
      Mon Dieu, c’est trop compliqué maintenant. Beaucoup. Beaucoup, beaucoup de questions que j’aimerais Vous demander. Sur la vie. Sur l’option. Sur... tous.
    Layar penunjuk pemberhentian bus yang tergantung di langit-langit berkedip, memunculkan nama tempat yang kutuju: Église d’Auteuile. Kuraih dan kutekan tombol stop merah di satu tiang penyangga bus.
      Dua menit kemudian bus berhenti di sana, aku turun dan mengamati papan penunjuk jadwal bus 62 berikutnya tiba. Oh, lucky me, just five minutes. I really need to get home.
      Ada gereja di seberang jalan. Di Paris, rasanya hampir di setiap jengkal bisa kutemukan gereja atau kathedral. Tak perlu kukatakan lagi bahwa semua interior gerejanya pastilah indah. Di sekelilingnya ada pohon-pohon sakura. In full blossom.
      Ironis. Musim semi, musim di mana semuanya bertumbuh, mekar, hidup kembali. Yet, what am I feeling right now?
      Kukencangkan kembali volume lagu.
[Salahkah ‘ku bila, kaulah yang ada di hatiku...
Bila cinta kita takkan tercipta, kuhanya sekedar ingin ‘tuk mengerti
Adakah diriku singgah di hatimu dan bilakah kau tahu, kaulah yang ada di hatiku...]
      ...   
      Merde.

***

      “Tan, itu si Elia ngapain?”
      “Hmm?” Tania melongok ke dalam kamar dari balkonnya. Di dapur ia melihat Elia sedang berjongkok di depan kulkas.
      Ketika Ze sampai di apartemen dan sudah setengah jalan memasukkan kunci kamar ke lubangnya, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan singkat ia terima dari Tania. Dia mengabarkan bahwa Troy, salah satu teman mereka, telah tiba di Paris. Dia menginap di kamar Iwan, dan sebagai oleh-oleh dia membawakan Jack Daniels Honey dan Cointreau. Pesta kecil-kecilan di kamar Tania katanya.
      Jadilah malam itu mereka berpesta kecil-kecilan di balkon kamar Tania. Tak luput Elia pun di-SMS. Satu jam setelah pesta itu dimulai, Elia tiba dengan tampang setengah ceria setengah ngantuk dan membawa dua longsong keripik Pringles. Setengah jam setelah ia sampai, baru menenggak tiga gelas campuran Bacardi Gold dan Mojito (tanpa alkohol, dibeli Tania di Marks and Spencer. Semacam air rasa Mojito), sementara ketiga orang temannya asyik bernyanyi dan bermain gitar di balkon, Elia malah kembali ke dalam, membuka kulkas.
      “Mungkin cari sesuatu, biarin aja,” balas Tania enteng, meraih botol Cointreau, menuang sedikit ke gelasnya yang kemudian dicampur dengan 7Up.
      Ze mengangguk-angguk. Ia memutar-mutar pergelangan tangannya, memperhatikan cairan dalam gelasnya yang teraduk. “Troy, tau lagu Officially Missing You, gak?“
      “Tau dong, mau coba denger aku mainin?” jawab Troy, memperbaiki posisi gitar di pangkuannya.
      “He’eh, he’eh. Mainin coba, sekalian cocokin sama suaraku.”
      Lalu Troy mulai memetik senar gitarnya sementara Ze menyenandungkan melodi-melodi tanpa lirik. Harmonis dan tidak sumbang-sumbang amat. Tania juga ikut bersenandung kecil sampai kemudian mereka bertiga mendengar Elia berkata setengah berteriak dari dalam,
      “Tan! Ini bumbu tom yam-mu sudah mau kadaluarsa!“
      Spontan mereka bertiga di balkon terdiam, bergeser, dan melongok ke dalam kamar.
      “Ini susu udah kadaluarsa kemarin, kenapa gak dibuang sih?! Ya ampun, masih setengah lagi isinya,“ Elia menggerutu, berjongkok di depan kulkas, dan sibuk memeriksa isi kulkas Tania.
      Troy, Ze, dan Tania saling pandang. Troy menggaruk kumisnya. Ze menaikkan alisnya. Tania berhenti dari aktivitasnya menggulung-gulung rambut.
      “Ini marmalade pêche, kalo gak suka dibuang ajalah, ngapain sih disimpan lama-lama?!” semakin Elia berbicara, nada suaranya semakin naik. “Ini apa lagi…“
      Troy berbisik, “Dia baru minum berapa gelas sih?”
      “Empat apa lima,” sahut Ze tak yakin, yang sedang meminum gelas keempatnya.
      “Dia memang gak kuat minum, tapi tumben secepat ini,” Tania menambahkan sambil memainkan beberapa helai rambut panjangnya dengan jari telunjuk, “Gak sanggup minum, tapi sekalinya mabuk sedikit, yang ada ngajakin orang berantem.”
      “Tania, ini yang sudah kadaluarsa tak buang semua ya?!“ teriak Elia, dia sudah berpindah dari depan kulkas, yang pintunya dibiarkan terbuka, menuju lemari penyimpanan, mencari plastik hitam untuk membuang sampah.
      Tahu lebih baik tidak usah menyanggah, dengan tenang Tania menyahut, “Iya, Ya. Beresin aja itu semuanya, buang kalo memang udah gak bagus. Merci, merci.”
      “And you’re supposedly sick right now, aren’t you, Zefanya? How could you possibly still drink, you gotta go to sleep!” kata Elia nyaris terdengar seperti membentak.
      Ze mengabaikannya.
      “Is she alright?” tanya Troy. Ze memandangnya. “Maksudku, perasaannya. Baik-baik aja dia?”
      “Mestinya cukup diliat, kamu bisa tau,“ kata Ze, mengangkat bahu. “Begitulah.”
      Troy menarik ujung bibirnya sedikit. Bukan tersenyum. Hanya memaklumi. Dia mengerti. Dia memahami. Dirinya sendiri baru melewati fase itu enam bulan yang lalu.
      “Dia hidup normal. Kerja normal. Ngobrol sama kita-kita juga biasa aja, gak ada yang berubah,“ Ze sedikit menerawang, “Cuma ya gitu, kamu tahu ada sesuatu yang tidak beres. Dia gak marah kalo nama Alva disebut-sebut, diejek-ejek juga malah bisa mengejek balik. Dibercandain soal Alva juga gak marah. Tapi ya begitulah,“ Ze mengangkat bahu lagi.
      “Yang banyak berubah justru Alva-nya,” gumam Tania, sedikit berdecak.
      “Dia gimana?” Troy penasaran.
      Baru Tania ingin lanjut menjelaskan, ada suara lain menginterupsi, mengurungkan niatnya bercerita lebih lanjut.
      “Kalian nyanyiin lagu apa sih?“ Elia kembali ke balkon.
      Ze mengamatinya. Jalannya masih lurus. Hanya pandangan matanya sedikit tidak fokus dan nada suara yang agak terdengar seperti menantang untuk berkelahi. Sedikit mabuk. Kena tambahan tiga gelas lagi dijamin teler. Satu cukup jika tanpa campuran Mojito atau 7Up. Well, dia sendiri juga sih sebenarnya.
      “If I Ain’t Got You,” Troy yang menjawab seusai menenggak gelasnya yang keenam, tampak masih segar bugar sehat walafiat.
      “Bukan, sebelum ini,” bantah Elia.
      “Yang mana?” kata Tania halus, sadar kondisinya yang setengah mabuk.
      “Yang tadi, yang Ze nyanyiin itu lho, hadeeh,” katanya ngotot, sementara dalam hati Troy, Ze, dan Tania berpikir bahwa ada beberapa lagu yang dinyanyikan secara random oleh Ze. Begini ini kalau berurusan dengan teman yang agak mabuk, pembicaraan sederhana bisa jadi berbahaya. Troy berpikir sedikit mabuk saja Elia sudah galak begini, kalau benar-benar mabuk gimana, ya? Bongkar kulkas sambil menantang semua orang berkelahi mungkin.
      “Yang ini?“ memperhatikan pilihan lagu-lagu yang sedari tadi mereka nyanyikan, Troy menduga lagu ini yang mungkin dimaksud Elia. Dimainkannya melodi lagu Officially Missing You.
      “Iya yang itu! Mainin, mainin!“
      Ze otomatis bernyanyi, dengan suara altonya yang sedikit serak,
      
      "All I hear is raindrops, falling on the rooftop
      Oh, baby, tell me why you'd have to go?
      Cause this pain I feel it won't go away
      And today I'm officially missing you
      Thought that from this heartache I could escape
      But I front it long enough to know
      There ain't no way
      And today I'm officially missing you
      Can't nobody do it like you..."

      Elia tidak lagi sungguh-sungguh memperhatikan sisa lagunya. Dilatari suara Ze, sembari kembali duduk di sisi pintu balkon, Elia mengeluarkan ponselnya dari kantung celananya. Ia sadar dirinya sedikit mabuk, tidak perlu seorang jenius untuk memberitahunya. Kesadarannya mungkin tidak secerah biasanya. Dia masih bisa mengingat dia ada di mana, siapa penemu bohlam lampu, penelitiannya tentang lempeng subduksi di Sumatra, warna celana dalam yang sedang dipakainya, atau siapa nama cewek yang diam-diam ditaksir Iwan di kantornya. Pikirannya masih bekerja dengan benar, namun ada sedikit rasa tidak peduli aneh yang muncul. Tidak peduli, jengkel, marah. Kalau dia mau, sekarang dia bisa langsung menelepon Alva dan mengomel. Bertanya. Kenapa begini, kenapa begitu. Tidak bisakah begini, tidak bisakah begitu. Apa boleh begini, apa boleh begitu, dsb, etc, dll.
      Mengapa tidak boleh sama-sama karena mereka berbeda?
      Dihelanya napas dalam.
      Seandainya dia mau.
      Tapi ia membatalkan niatnya. Lagipula ia tahu, selamanya Alva tidak akan mau mengangkat teleponnya. Tak perlu dicoba, ia sudah tahu. Too obvious.
      Alih-alih, sembari mencibir, ia membuka akun Facebook-nya. Dia menyentuh layar kolom “exprimez-vous”, Keyboard virtual muncul.

      Kampret.

      Itu kalimat pertama yang ditulisnya. Ia menggeleng-geleng sendiri, lalu ditekannya tombol backspace virtual di layarnya.
      
     Memangnya siapa yang gak mau berusaha?! Aku ma¾

      Belum selesai kalimat pengganti diketik, sudah dihapus lagi oleh Elia.

      Coba kasi tau dulu aku mestinya gimana.

      Dihapus. “What the hell,“ makinya lirih.

      Cepetan punya pacar baru sana!

      Elia menggigit bibir, kemudian dihapusnya kalimat itu.

      Do you even care? I bet you don’t.

      Dihapus.

      Boleh biasa aja, gak usah pake sengaja menghindar.
      
      Dihapus.

      "I just can't find a way to let go of you~
       Can't nobody do it like you
       Said every little thing you do
       Oh it stays on my mind~"

  Elia menoleh, memperhatikan Ze menyelesaikan nyanyiannya. Setiap mendengar Ze menyanyi, ia punya kecenderungan kesal karena tipikal suara Ze suara alto, tapi kalau mereka duet menyanyi, Ze tidak pernah bisa menyanyikan suara alto. Kenapa pula masalah suara alto harus dibahas sekarang, batinnya.

       "All I hear is raindrops~
       And I'm officially missing you~" 

    Lagu-lagu selalu terlalu jujur. Entah kenapa manusia tidak bisa sejujur itu jika sedang berkomunikasi langsung. Terlalu gengsi. Terlalu banyak perhitungan. Terlalu banyak pertimbangan. Terlalu banyak kode.
       Sederhana menjadi sesuatu yang langka.
      Elia kembali menyentuh keyboard-nya, dipencetnya huruf per huruf membentuk sebuah kalimat. Jeda sentuhan masing-masing huruf satu detik. Ragu? Penghayatan? Bahkan dirinya sendiri tidak tahu.

      Tu me manques.
      
   Dia teringat. Dulu ada pertanyaan yang sangat mengganggunya ketika belajar bahasa Prancis. Mengapa terjemahan ‘I miss you’ ke dalam bahasa Prancis menjadi ‘tu me manques’? Dalam pemahaman kebahasaannya mestinya urutannya adalah subjek yang merindukan objek, lalu mengapa ini malah objek merindukan subjek?
      Pencerahan datang tatkala gurunya menjelaskan sembari tertawa kecil, “Barangkali ini penyebab bahasa Prancis disebut romantis, Aurelia. Kenapa tu me manques? Karena artinya begini, kamu membuatku merasa kehilangan. Penekanannya ada di objek yang membuat si subjek merindu. Romantis kan?”
   Kamu membuatku merasa kehilangan. Kamu membuatku merasa tak lengkap. Kamu membuatku sadar tanpamu ada yang kurang.
      Haha. La vérité.

      Tu me manques, Nightfall. Beaucoup.

     ...
     Dihapus.

***




ÓErinda Moniaga, 15 April 2015

Songs included in this story: