every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Monday, January 5, 2015

L'Hiver - Le Soleil du Soir

L’Hiver – Le Soleil du Soir


“Excuse me, can you take a picture of us, please?“
Aku menoleh ke belakangku, kalimat pertanyaan ini sudah kali ketujuh diujarkan sejak aku menongkrong di jembatan. Well, bukan sembarang jembatan sesungguhnya, ini jembatan legendaris di Paris, tempat di mana ribuan gembok cinta dikaitkan di dinding kawatnya: Pont des Arts. Yah, jadinya apa boleh buat, berhubung ada kamera SLR tergantung di bahu kiriku dan aku barusan selesai memotret pemandangan di seputaran jembatan, asumsi para turis ini paling tidak aku cukup mengerti soal potret-memotret.
Sembari tersenyum kecil dan menerima kamera pocket yang disodorkan oleh pasangan Kaukasia tersebut, aku berkata, “Of course, with pleasure.“
Dan seperti biasanya aku akan memberi aba-aba hitungan angka ketika aku sudah berhasil mendapatkan posisi dan sudut yang menurutku tepat. Pasangan di hadapanku tertawa gembira dan kutekan tombol shutter. Mereka mengecek hasil foto yang terpajang di layar.
If you don’t like it, I can take another picture,” kataku, mengawasi mereka yang mengamati hasil foto dengan serius.
Eskpresi kegembiraan memancar, si perempuan menjawab, “No, no, this is perfectly fine. Thank you. Do you want us to take a picture of you too?“
“Oh, no, thanks, I’m good,“ aku menggeleng, nyengir.
Mereka berterima kasih sekali lagi, kemudian berbalik pergi, masih dengan antusiasme tinggi melihat hasil foto-foto di kamera mereka. Sungguh nampak berbahagia.
Kuhela napas.
Bukan, bukan hela napas galau.
Hanya ingin menghela napas saja. Aku memperhatikan pasangan-pasangan yang berlalu-lalang di jembatan ini; beberapa dengan rasa tak sabar yang begitu kentara ingin segera memasang gembok, yang lain dengan wajah tekun dan serius memperhatikan beragam jenis gembok yang bergantung (dan sungguhan beragam jenis, dari yang kecil imut-imut berbentuk normal, sedang semacam gembok sepeda, sampai yang berbentuk hati segede gaban), empat atau lima pasangan sibuk memotret kekasih masing-masing atau ber-selfie bersama gembok yang baru dikaitkan di dinding jembatan, yang lain dengan khusyuk memandangi sungai Seine hingga batas horizon bersama pasangannya; lengan dan lengan berkait.
Cinta.
Komitmen.
Simbol.
Tadi kutemukan sebuah gembok dengan puisi demikian tertera di atasnya:

I loved you
Yesterday
I love you still
I always have
I always will

Abadi.
Begitukah?
Angin dingin berhembus. Aku mengencangkan lilitan syal di leherku, berjalan meninggalkan Pont des Arts menuju arah Museum Louvre. Awan kelabu telah mewarnai langit selama hampir seminggu berturut-turut dan suhu semakin menurun tiap hari seiring ia berganti. Kupandangi arloji di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek berhenti di antara angka lima dan enam dan langit sebentar lagi akan berada dalam masa transisi menjadi biru gerau. Satu hal yang kusukai dari musim ini, minus angin dingin yang menusuk-nusuk atau selimut salju yang biasanya akan menumpuk di waktu tertentu, adalah cepatnya langit berubah menjadi gelap. Aku harus bergegas.
Momen dalam satu hari yang paling kusukai adalah saat ketika matahari terbenam dan rembang petang. Istilah keren fotografinya adalah golden hour dan blue hour. Ada kesan tersendiri yang diberikan matahari terbenam kepadaku, seolah-olah menyihir dan mempesona dengan bias gradasi gelombang warna merah, jingga, kuning, merah jambu, dan lembayung. Warna serupa api.
Api yang membakar langit dengan kehangatan sekaligus menghanguskannya menjadi malam, mengantarkan kita manusia untuk beristirahat. Tidak semua orang menyukai makna matahari senja karena diasosiasikan dengan perpisahan, keputusasaan, atau kepedihan, sementara bagiku...
Susah memaparkannya, aku tidak mampu merangkai kalimat layaknya pujangga. Ada perasaan yang hanya bisa dirasa.
Tanpa bisa digambarkan. Diekspresikan. Atau dijelaskan.
Hanya mengalami.
Hangat, seperti detakan lembut si jantung hati, menentramkan, bukti nyata bahwa... kita hidup.
Ponsel di saku berdering nyaring, aku sedikit terlonjak. Kucek arloji, masih ada lima belas menit sebelum pukul enam sore. Ya ampun, batinku sembari merogoh kantong dengan tangan yang lain, mempercepat ayunan langkah melewati Pyramide du Louvre yang tersohor, menuruni tangga metro Palais Royal Musée du Louvre. Mulanya aku ingin jalan kaki saja sampai Invalides, tapi menyadari bahwa jarak tempuh yang agak jauh dan waktu yang sedikit mendesak, aku memilih menaiki metro saja. Walaupun harus ganti kereta segala di Concorde, tapi ya tidak apalah. Setidaknya lebih cepat sedikit daripada berjalan kaki.
Oui, oui, aku lagi otw ke sana...“
Suara di seberang sana tergelak, “Hei, aku baru mau pindah ke metro delapan. Kurang lebihnya jam enam sudah di sortie ya.“
Dasar cewek ini.
See you there then. À tout.“
Bye.“
Kupandangi layar ponsel. Menengadah, kupandangi jam penunjuk metro berikutnya tiba. Satu menit.
Menghela napas.
Metro datang. Aku mendesak masuk bersama puluhan manusia lainnya, terjepit di tengah-tengah saking penuhnya (bahkan ketika sedang tidak high-season saja Paris sudah ramai, bagaimana ketika musim panas?).
Menghela napas lagi.
Kali ini mungkin bisa dikatakan menghela napas galau.
Tidak aku sadari sejak kapan gadis berisik ini mulai menggangguku. Mengganggu dalam artian positif. Disela-sela kuliah, disela-sela tawa dan canda, disela-sela gunungan paper yang harus dikerjakan, disela-sela kemacetan dan gencetan metro, disela-sela keheningan malam. Kegelisahan yang berusaha kutepis dan kuabaikan, namun seiring waktu berganti keberadaannya semakin nyata. Semakin mendominasi, menggeser kedudukan virus-virus serta mikrobakteri yang selama ini menjadi prioritas.
Dia ini tipe gadis yang berisik dan berisiknya itu bagiku harus dipertegas dengan huruf kapital, di-bold, dan di-italic. Kalau sudah berbicara rasanya tidak bisa direm sama sekali dan volume suaranya sepertinya memang sudah disetel dititik jarum tertinggi alias paling keras. Sering sekali menyerocos menyebutkan sederet nama tokoh fisika atau rumus fisika¾kadang-kadang tidak bisa membedakan yang mana¾beserta penelitiannya tentang gempa bumi dan tsunami. Suka mengomentari sesuatu out of the blue dari sisi sains, yang kemudian tiba-tiba (lagi) menguap dan digantikan dengan gosip terbaru yang terjadi di kampusnya. Sejauh ini, hal yang sanggup membuatnya terdiam (yang kutahu) adalah ketika dia mengerjakan hitung-hitungan dan segala perkodean tugas thesisnya atau saat memegang kamera. Aku tahu semua ini karena belakangan ini kami beberapa kali pergi hunting foto bersama. Well, beberapa kali mungkin bukan pilihan kata yang tepat. Sejak itu aku sering tidak sengaja¾
Pardon, Monsieur,“ seseorang menabrakku dari belakang. Monolog di kepalaku terputus. Sudah sampai di Invalides rupanya. Sadar aku juga salah karena sedikit melamun, dengan cekatan aku turun dari kereta, kepala celingak-celinguk mencari pintu keluar.
Aku telah tiba di sortie metro lebih cepat dari yang seharusnya dan ternyata gadis itu sudah datang, sibuk mengeluarkan kamera SLR dari dalam tasnya. Nampak tidak waspada, mengkhawatirkan seperti biasanya, mengingat kondisi kota Paris yang penuh pencopet.
Aku melangkah tidak tergesa, mengamati gesturnya.
Ingatkan aku kapan terakhir kali bertemu. Lima hari lalu? Seminggu?
Beres dengan urusan kamera, kini gadis itu meraih ponselnya, meluncurkan jari-jarinya di layar.
Ponselku ribut lagi.
“Halo, di mana?“ tanyanya, berbicara dengan raut tak sabaran pada mic headset.
Aku nyengir sendiri, “Coba angkat wajahmu.“
Dan kemudian aku mendapati wajah bingungnya terangkat¾yang sedetik setelahnya berubah sumringah.
“Saluuut, ça va?“
Lazimnya rasa rindu itu muncul jika kedua belah pihak berada dalam keadaan terpisah, baik dekat maupun jauh kan? Suatu ketika aku membaca sebuah kutipan dari novel di internet. Dikatakan di sana bahwa kita tidak akan tahu apa yang benar-benar kita rindukan sampai sesuatu itu muncul di hadapan kita.
Barangkali... itu benar.
Selama ini aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang kucari. Segalanya baik-baik saja. Eksperimen di laboratorium bagaikan kamar sendiri. Menekuni buku setebal tiga tumpuk batu bata juga biasa. Normal. Ada yang kurang? Tidak. Tapi kini melihatnya di hadapanku tertawa, menenteng ransel, rambut acak-acakan, terwujud nyata, seketika itulah aku memahami bahwa aku merindukannya.
Teramat sangat.
Benar bahwa walaupun hanya sepintas... kautahu kan, ada hasrat untuk dapat berjumpa. Peduli amat dengan tugas-tugas. Peduli amat dengan kondisi berjejal-jejal yang harus ditempuh. Peduli amat dengan rasa lelah yang mendera.
Hanya...
ingin...
bertemu...
Sesederhana...
...itu
“Alva?“
Aku mengerjap, terisap balik ke dunia nyata. Ritual cipika-cipiki pertemuan ala Prancis wajib dilakukan, “Ça va, ça va,“  berharap raut wajahku tidak berubah dan tidak membeberkan perasaanku. “Udah lama?“
“Enggak, barusan aja nyampe. Langsung aja yuk, udah mau sunset nih,“ katanya tidak sabar, berjalan menuju arah jembatan.
“Bagusan blue hour di Pont des Arts lho, El,“ aku berjalan menjajarinya.
Yaelah, Al, kamu gak liat sih foto yang di buku, keren tauk. Kamu harus ganti suasana jembatan sekali-sekali, masa di Pont des Arts melulu? Gak ada nama ama kunci buat digembokin juga,“ ujarnya setengah berkelakar. “Lagian nongkrongnya kenapa di jembatan terus sih?”
Aku hanya mencibir. Satu kebiasaan orang Prancis yang berhasil ditularkan padaku. Untuk informasi, aku tidak menyukai kebiasaan ini karena terlihat sangat ignorant, angkuh, dan meremehkan. Tidak tahu mengapa malah ketularan. Parah, it is contagious.
“Wah, langitnya bersih!“ dia nyaris bersorak kegirangan, langkahnya setengah melompat-lompat, “Cepetan, Al, barengan sini! Sunset-nya keburu hilang ntar!“
            Ngomongnya sih begitu, tapi El sudah berlari duluan menyeberang jalan. Kubiarkan sajalah, toh masih dalam jarak pandang.
Jadi ini Pont Alexandre III? Ada patung-patung malaikat dan pegasus yang bertengger di masing-masing puncak tiang berpahat. Setelah berbulan-bulan hidup di kota romantis ini, aku baru mengetahui ada jembatan yang begini indah. Ada banyak patung di sana, bahkan di bawah tiang-tiang lampu jembatan itupun diukir. Di tepi jembatan juga terukir pahatan patung sepertinya, mungkin peri; aku tidak yakin, tidak bisa langsung mengidentifikasi bentuknya. Menoleh ke kiri, si Madame Eiffel berdiri serupa siluet, mentari senja melatarinya. Wow.
Otomatis tanganku mengangkat kamera, menyesuaikan diafragma, shutter speed, zoom, dan ISO, membidik dari celah lensa ke satu titik.
Bukan, bukan memotret mentari senja dan menara simbol cinta. Maksudku belum sekarang. Yang tadi kupotret adalah El. Foto-foto punggungnya yang sedang berjalan. Sembari memeriksa hasil foto di layar kamera, aku berjalan menyusulnya. Ah, warna yang bagus, pikirku saat melihat fotonya. Jembatan tertimpa sinar jingga kekuningan, warna yang begitu hangat. Dari sekian jepretan, di satu foto El berada di sisi pojok kanan, kebetulan lehernya sedang menoleh ke kiri. Foto semi siluet yang bagus.
“Al, ke sini, dari sisi sini bagus deh,” El memanggilku, matanya sudah menempel di kamera, bunyi jepretan kamera terdengar keras.
“Iya, iya, “ sahutku, tidak mampu menahan senyum.
Angin berhembus melewati jembatan dengan kecepatan yang cukup untuk menerbangkan rambut pendekku, ditambah pula hawa dingin. Angka untuk suhu malam nanti pasti akan berkisar di antara empat sampai enam derajat. Meskipun aku sudah memakai jaket tebal, tetap saja rasa dingin ini menggigit. Je déteste l’hiver mais, ironiquement, que cette saison je peux voir le coucher du soleil à l’heure normale. Normal maksudku adalah senormalnya waktu matahari terbenam di bumi nusantara, sekitar pukul lima sampai enam sore. Di musim dingin yang kubenci ini aku bisa mendapatkan mentari jingga yang hangat di waktu yang tepat. Ironis kan?


“Kok kamu gak motret sih? Kan kamu suka banget sama sunset,“ tanyanya, setengah memprotes ketika akhirnya aku tiba di sisinya.
“Ya belum aja, kalik, “ santai kujawab, mengangkat bahu, “Kamu ajalah dulu. “
Wajahnya berkerut. Tak puas mendengar jawabanku sepertinya. “Yaudah.”
Aku senang memandanginya berkonsentrasi penuh saat memotret. Lucu jika kuingat-ingat lagi, awalnya aku yang mengajarinya sedikit-sedikit soal kamera dan menemaninya membeli SLR. Tapi dengan kegemarannya berkelana sendirian mengelilingi kota Paris, kemampuannya menggunakan kamera meningkat. Justru belakangan dia yang suka mengomentari foto-foto hasil potretanku.
Melihatnya berkonsentrasi penuh seperti ini... aku merasa mampu berdiri di sini berjam-jam hanya memandanginya. Mau golden hour kek, blue hour kek, peduli amat...
Cukup hanya seperti ini. Tidak usah lebih. Karena siapalah aku bisa berharap lebih. Dan situasi yang ada pun tidak memungkinkan. Kondisiku, kondisinya...
Biar saja seperti ini. Cukup bagiku.
Goblok kan?
"Tuh kan bener," gerutu El, tiba-tiba masuk di titik fokus mataku.
“Apanya yang bener?! “ sahutku gelagapan. Kaget tauk!
“Kamu jadi pendiem! Gak biasanya kamu diem! Eh tapi kamu emang pendiem sih... Tapi tetep aja kamu aneh!“
“Aneh apanya?!“
Dahinya mengernyit.
“Kamu lagi ada masalah kan, Alva? Coba cerita deh.“
Mulai sok tahu seperti biasa. Eh tapi memang ada benarnya juga ding. Kenapa anak ini bisa tahu?! Memangnya aku sejelas itu ya?
Aku diam.
Dia menunggu.
Aku meragu.
Dia masih menunggu.
God! Jangan menatap aku terus-terusan seperti itu!
Gak, gak, gak. Gak mungkin aku bilang. Gak mungkin. Gak bakal ada ujungnya. Lebih baik jangan memulai hal yang kita tahu tidak ada akhirnya kan?
Sadarlah akan posisimu, Alva!
“Aku kedinginan.”
Dia menatapku dengan tatapan ‘please-gak-ada-bohong-yang-lebih-meyakinkan-apa?’
“Alva, s’il te plait.
Oke, aku menghela napas lagi.
“Kamu gak bakal ngerti, Elia,“ gumamku letih.
“Kamu belum cerita udah gaya ngomong gitu. Makanya coba cerita dulu. “
Kenapa aku lemah sekali?!
“Bukan masalah penting, Elia. Gimana kalo kamu motret lagi? Itu mataharinya beneran udah mau ngilang lho,“ aku mencoba mengalihkan perhatiannya, menunjuk ke belakang jembatan. Bisa dikatakan hanya seperdelapan bagian dari bulatan utuh matahari yang nampak di horizon.
Namun gadis ini malah menyunggingkan senyum tipisnya, berujar dengan lembut, “Alva, matahari terbenam ada setiap hari. Aku ngerti kamu gak mau merepotkan teman, tapi ada kalanya masalah-masalah yang mengendap di hati itu kamu ceritakan. Daripada sakit hati sendiri, lebih baik dibicarakan kan?“ kali ini dia nyengir. Cengiran lebar khasnya. “Bisa sedikit berguna membantu teman saat ini terdengar lebih oke daripada memotret mentari senja yang bisa kulakukan setiap hari. “
....................
Aurelia yang hangat laksana mentari terbenam. Aku menyukai mentari senja karena itu mengingatkanku padamu.
Segalanya tentangmu.
Hangat dan lembut...
Seperti detakan jantung mungil yang menghidupkan.
Membuatku merasa... hidup.
Aku menelan ludah. Berkali-kali. Satu tanganku naik ke kepala, menggaruknya meskipun secara sadar aku tahu kepalaku tidak gatal sama sekali.
“Seandainya... “ aku memulai.
“Alva, suaramu kecil sekali, aku gak denger, “ potongnya gemas.
Astaga.
Aku berdeham-deham keras, sampai tenggorokanku lecet mungkin.
Lalu aku diam.
Gak mungkin. C’est impossible. C’est pas possible.
Lebih baik diam saja, tidak usah katakan apa-apa.
Karena akan lebih baik demikian. Tidak akan ada yang terluka.
Dan aku baru sadar udara semakin dingin seiring dengan lenyapnya matahari di ufuk barat. Kami masih berdiri di jembatan yang kini lampu-lampunya mulai menyala. Momen paling tepat untuk memotret blue hour.
“Elia, gimana kalo kita pulang aja? Langit udah gelap nih,” kataku seraya menggosok-gosokkan telapak tangan yang kedinginan, melepaskan kalungan kamera di leherku. “Aku lapar, ini sudah waktunya diner. Makan yuk?“ kukemas kembali kamera ke dalam tas. Kata ‘makan’ biasanya memiliki efek tersendiri bagi gadis ini. Apa saja asalkan topik pembicaraan ini teralihkan!
Dia tak menyahut, hanya beberapa detik terdiam. Aku tak bisa membaca ekspresinya. Tanpa berkomentar apa-apa, Elia turut memasukkan kameranya ke dalam ransel. Boleh kuhela napas lega?
Sepanjang langkah kami menyeberangi sisa Pont Alexandre III, dia diam saja. Aku pun tidak memancing pembicaraan apapun. Seingatku, ini pertama kalinya kami berjalan dengan keheningan ganjil seperti ini.
Aneh. Menyesakkan.
Kami mencapai ujung jembatan. Ada yang menarik lengan jaketku.
“Kalau kamu gak mau cerita, aku yang curhat duluan boleh?” Elia bertanya tanpa memandangku. Matanya menatap lurus-lurus ke depan.
Aku cuma salah lihat atau memang dia nampak ketakutan?
“Kenapa, El?” aku langsung berhenti melangkah, badanku berputar menghadapnya.
“Misalkan kamu terjebak di antara pilihan gak enak nih,” dia mulai nyerocos, tapi entah kenapa wajahnya malah ditundukkan. Lengan jaketku belum dilepasnya, ngomong-ngomong, “Ini pertama kalinya... sungguh-sungguh pertama kalinya kamu mendapat kesempatan untuk melakukan apa yang kamu sukai. Memilih untuk melakukan satu hal yang kamu sukai. Yang sungguh-sungguh kausukai, dari hatimu. Anggaplah... yang sebelumnya tidak disukai, tidak diizinkan orangtuamu. Apa kamu... apa yang akan kamu lakukan?“
“Ada apa sih, Elia? Ini tentang apa?
Tak menghiraukan pertanyaanku, dia malah menyahut begini, “Dis-moi, Alva, que tu ferais?”
Aku harus jawab apa kalau mendapat pertanyaan begini?
“Peut-être...“ otomatis aku membayangkan kondisiku.
[Yang kusukai...]
Dan kondisinya.
[Sesungguhnya...]
Jika memang...
[Hangat serupa senja...]
Seandainya boleh...
[Serupa api yang menghidupkan...]
Peut-être je ferais ce que je veux.“
Wajahnya belum juga terangkat. Jangan bilang kalau dia menangis, tolong. Pembicaraan ini tiba-tiba membuatku gelisah. Degupan jantungku mulai tidak teratur.
“Elia?“ aku menjaga nada suaraku supaya terdengar sewajar biasanya, “Tout est bien?“
Aku mendengarnya menarik dan menghela napasnya kuat-kuat. Dia menengadahkan wajahnya. Ekspresi ketakutan yang tadi nampak sudah lenyap. “Aku mau coba satu teknik foto, mumpung sudah gelap. Mau bantuin?“
Dan seperti semua laki-laki, teka-teki yang selalu membuatku bingung mengenai perempuan, mengapa perubahan emosi mereka begitu cepat dan sulit ditebak?
“Boleh, mau foto apa?“
Lengan jaketku dilepasnya. Lalu dia nyengir.
Shit.
Aku pernah membaca kutipan begini di internet, tidak ingat persisnya siapa yang menulsnya:

They told me that to make her fall in love, I had to make her laugh.
But every time she laughs, I'm the one who falls in love.

Aku mengerti maksudnya apa sekarang.
Merde.
Elia menunjuk ke taman di pinggiran jalan yang hanya berjarak sepuluh langkah dari tempat kami berdiri, “Ke sana yuk, di sana kayaknya lebih gampang motretnya.“
Aku menurut saja, mengekorinya berjalan ke arah taman. Dia kemudian mengeluarkan kameranya sendiri, sibuk memencet tombol-tombolnya. Sesekali mengintip ke celah lensa, menjepretnya, melihat hasilnya. Lalu memencet-memencet lagi, mengatur lensa dan fokusnya, sampai kemudian dia sudah mendapat pengaturan yang pas lalu menyodorkan kameranya padaku.
“The thing you said earlier,” bisiknya, “Even though the whole world says it is wrong, would you still do it?”
Lagi-lagi pertanyaan ini. Logikaku mulai berisik, memperingatiku.
“Would you?” tanyaku balik, mengambil kameranya. Tidak mau mengaku.
Aku melihat binar di matanya. Sekilas kutangkap keraguan, tapi seketika hilang. “Jadi nanti pas aku bilang ‘oke’, kamu pencet shutter-nya ya, Al, tapi jangan dilepas. Pokoknya sampai aku bilang ‘sudah selesai’, baru kamu lepas nanti tombolnya. Oke?
Dan pertanyaanku tidak dijawab, bagus sekali.
“Oke, oke.“
“Tanganmu harus steady lho, jangan gerak-gerak, nanti fotonya gak jadi.“
“Iyaaaa.“
Dia menjauhiku, mengambil jarak tertentu. “Oke, ready?
“Ya, ya, ya,“ kataku, mengintip ke celah. Fokus oke. Anak ini mau apa sih? Kalau di bahasa SMS, mungkin emoticon ini yang akan mewakili ekspresiku sekarang: -_-
“Oke, aku mulai!“ dia berteriak.
Kutekan tombol.
Lensa menutup, mulai bekerja.
Aku menunggu.
Entah apa yang anak itu lakukan.
Rasanya emosiku agak sedikit dipermainkan hari ini.
Kenapa sih dia?
Apa maunya bertanya begitu?
Aku tahu sedikit sih, mengenai keluarganya. Memang sedikit keras.
Tapi ngomong-ngomong, aku berusaha diam sekaku patung sesuai permintaannya, tapi detik-detik berlalu... aku tidak tahu, begitu cepat atau begitu lama.
“Sudah belum, El?”
Dia tak mengatakan apa-apa.
“El?”
Sunyi.
“El, sudah?“ bukannya aku tidak sabaran, hanya saja¾
“Sudah selesai.”
Kulepaskan tombol yang sedari tadi kutahan.
“Lama amat,“ komentarku, menunduk untuk melihat hasilnya, “Kamu bikin apa sih¾

...............

..............

..............


“The question you asked earlier: would I?“ samar-samar kudengar suara Elia sementara aku masih membeku memandangi layar kamera, “Yes, I will. Even though the whole world says it is wrong... I will do it. Because I no longer can lie to myself.“
Aku berusaha menemukan suaraku, sementara suara-suara berisik di otakku berebutan. Logika. Perasaan. Logika. Perasaan. Logika. Perasaan. Logika.
“Ini...“ itu aku yang berbicara, “ini maksudmu gimana?“
“Ya itu, kan ada di layar itu, gimana sih,“ katanya, terdengar tidak sabar.
Aku mengangkat wajahku.
“Kamu bikin aku kerepotan tauk.“
Itu Elia yang berbicara.
Sambil menelengkan kepalanya ke samping, tapi melirik-lirik juga ke arahku.
Shit.
“Aku cuma mau bilang aja kok,“ dia menambahkan. “Consider this my selfishness, sorry, my bad, but I just want you to know,“ kata Elia, cepat sekali, “whatever hell about that difference, I just want to say it, to be honest to myself. You don’t have to answer if you don’t feel like you want to. It’s okay, I understand. But, please after this, we still could be friends, right?“
Kalau sudah begini aku mesti gimanaaaaaaa?
Kondisiku...
Kondisinya...
Aku menghela napas. Kira-kirakan saja sendiri ini hela napas macam apa.
“Kamu tahu gak, yang ngomong begini mestinya yang cowok,“ kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku.
“Terus maksudmu, kamu mau ngomong gitu?”
Dia nyengir.
Cewek ini...
Cewek berisik maniak fisika. Yang mengganggu konsentrasiku belajar. Yang membuatku rela menemani selama ada waktu ke manapun dia minta. Yang membingungkan dan tak selalu bisa ditebak. Yang membuatku merasa bego dan tidak berdaya.
[Seandainya boleh...]
“This would hurting you, do you realize it?”
“Remain silent or tell you straightforwardly, knowing the probabilities of the ending, either way I know, it would be hurt,“ dia mengangkat bahu. “My choice.”
Kutatap Elia. Di seberang sana lampu menara Eiffel sudah berkelap-kelip.
Lampu jembatan terefleksikan di atas air. Satu bateau mouche melintas.


Baru kusadari jantungku berdentum-dentum.
 [Hangat, menghidupkan...]
Aku melihat tangannya gemetar.
Dunia ini... kadang-kadang tidak adil. Kenapa satu hal bisa begitu mempengaruhi jadi atau tidaknya sebuah kisah?
Aku melangkah menghampirinya.
[Tentangmu, segalanya tentangmu...]
Logika. Perasaan. Logika. Perasaan. Logika. Perasaan.
Perasaan.
[Jikalau boleh...]
Perasaan.
[Sejujurnya...]
Perasaan.
            Ada perasaan yang hanya bisa dirasa.
Tanpa bisa digambarkan. Diekspresikan. Atau dijelaskan.
Hanya mengalami.
Sesederhana itu.
 “I’m crazy about you.“
Aku tidak tahu kata tepat mana yang bisa membantuku menjabarkannya.
Hanya hal itu yang bisa kuucapkan.
Dia tersenyum. Begitu cerah.
Shit, would you please stop making me falling in love with you?!?

***

Ó Erinda Moniaga
January 5, 2015
4.50 AM