every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Wednesday, August 2, 2017

L'automne - l'infinité

Previously:
3. l'été  




      “Sir?”
      Alva melepas headset-nya, mengangkat wajahnya yang terfokus pada tabletnya, rumus-rumus kimia berderet-deret menyelingi barisan kalimat-kalimat yang begitu rapat; melihat itu kepala sang pramugari mendadak pening namun senyumnya yang professional tetap terpajang.
   “Yes, I would like the chicken, please,” jawabnya tenang, menggeser tabletnya ke pangkuannya, mengosongkan meja. “Ah, may I have a cup of coffee?
      “With milk and sugar, Sir?” tanya pramugari tersebut, menyorongkan nampan berisi makanan pesanan Alva.
      Digelengkannya kepalanya pelan sebagai jawaban. “Just give me another cup of water, please.”
   Pramugari berpindah pada barisan berikutnya sambil memberikan pertanyaan yang sama pada penumpang di belakangnya, sementara Alva menekuni nampannya, membuka tutup dan bungkus dari makanan dan peralatan makannya. Ia memperhatikan presentasi kentang tumbuk dengan potongan ayam panggang bersaus tomat sembari mengangkat bahu pasrah; setidaknya bisa dimakan walaupun tidak berasa enak-enak amat. Ia bisa memasak lebih enak dari ini.
      Dengan tangkas Alva menyantap makan malamnya sebelum memasuki fase tidur panjang di pesawat. Perjalanan sekian belas jam lintas benua menguras banyak energi kadang-kadang, padahal yang dilakukan hanya duduk, nonton, makan, tidur, bangun, makan lagi, tidur lagi, begitu seterusnya hingga mendarat. Bukti nyata tidak mengerjakan sesuatu yang produktif bisa jadi melelahkan. Kurang dari lima menit Alva sudah menyapu bersih semua makanan di piringnya dan mulai menyesap kopi dari gelasnya. Hangat.
      “Hey, are you traveling by yourself?
      Ada suara menyapa dari kursi seberang lorong. Seorang wanita muda berambut cokelat gelap panjang, dengan mata yang sangat cokelat, berbicara.
      “Yeah, I am,” kata Alva datar.
      “Are you a student of biochemistry?
    Alva menyeringai kecil, sadar aktivitasnya membaca diperhatikan oleh seorang asing “Yes, I am. Anything I can help?
      “No, I was just interested by the text that you read before. I don’t mean anything bad, I’ve just had a glimpse on the essay on your phone tablet, it looks very remarkable.”
      Ekspresi wajah orang asing ini cukup meyakinkan tanpa tendensi tertentu, tapi Alva sedang tidak ingin terlalu banyak mengobrol atau berdiskusi.
      “Really? It’s just a draft of a research.”
      “If I’m not mistaken, is it about¾
    “Excuse me, I need to go to the restroom, let’s continue our talk later,” potongnya tanpa tedeng aling-aling sembari melempar senyum. Dia berdiri begitu saja, nampannya sudah beres rapi tinggal diambil oleh petugas. Walaupun dia menggunakan toilet sebagai alasan, dia sendiri memang perlu buang air kecil. Belum mendesak sekali, jadi dia sengaja berlama-lama, membiarkan dua orang lain yang datang belakangan untuk masuk terlebih dahulu.
      Setelah urusannya selesai, dia mencuci tangannya lalu membasuh wajahnya. Memperhatikan raut wajahnya sesaat, lalu diambilnya tisu, mengelap mukanya, keluar, dan berjalan kembali ke kursinya dengan harapan bahwa gadis tadi secara ajaib sudah tertidur hingga tak menggerecokinya soal penelitian.
      Mejanya sudah bersih, selimutnya masih di tempatnya, begitu pula tabletnya yang ia letakkan di bawahnya. Kursi di sisi kirinya kosong sementara di kursi samping jendela seorang bapak kira-kira berusia akhir empat puluhan dengan kepala nyaris botak sedang berkonsentrasi menonton film. Wanita asing yang tadi, sembunyi-sembunyi diliriknya dari sudut mata, sedang asyik berbincang dengan ibu-ibu yang duduk di sisi kanannya. Penuh kelegaan Alva kembali duduk, memasang headset, dan meletakkan tabletnya kembali di meja, membuka dokumen penelitiannya.

      [The signal saturation beyond 10pM concentration may imply complete PPL coverage on the SWNCT network and possible steric hindrance effects that may prevent any additional absorption of PPL.]

      Alva berhenti mengetik. Badannya masih terasa segar tapi entah bagaimana selera menulisnya menghilang. Disimpannya dokumen tersebut sebelum kembali ke desktop. Matanya tertuju ke pojok kanan atas layarnya.
      Ada satu folder yang mengganggunya sedemikian rupa, dikirimkan Zefanya padanya di hari kepulangan gadis itu ke Indonesia. Secara teknis Zefanya tidak mengirimkannya khusus hanya untuk Alva, tapi firasatnya mengatakan ia tidak akan berepot-repot sampai mengirimkan dua surel hanya untuk memodifikasi tautan yang katanya salah dikirimkan di surel pertama. Yang benar saja.
      Toh meskipun begitu, folder tersebut dia unduh juga pada akhirnya, dibiarkan di tabletnya, terpampang jelas di pojok kanan layarnya, tak tersentuh akibat kesibukan dan kepadatan jadwal kegiatannya.
      Sampai hari ini.
      “Ya Tuhan, Zefanya, nama folder ini,” keluhnya, “apanya yang ‘from all of us to all of you’ sih.”
     Kecurigaannya terlalu besar. Zefanya seringkali bersikap seperti adik kecil kelewat usil, disebagian besar waktu malah Ze menjadikannya sebagai objek bercandaan, tapi kali ini dia meyakini ada sesuatu... sesuatu yang tidak ingin diketahuinya tersimpan di dalam sana.
      Alva terhenyak di kursinya, merasa kalah oleh rasa penasaran yang terlalu besar. Rasanya seperti akan membuka kotak Pandora. Perasaannya yang sebisa mungkin diaturnya agar setenang permukaan danau yang tak tersapu angin kini mulai bergolak.

      Badai itu lagi...

      Dikerjapkannya matanya, menghalau emosi berlebihan yang perlahan menyeret.
      Sambil menarik satu napas panjang, Alva membuka folder itu.
      Hanya ada satu dokumen di dalam sana, ditandai Ze dengan nama ‘Satu’. Alva curiga ini juga sengaja, tidak memberikan judul spesifik supaya dirinya tidak berprasangka berlebihan. Saking terbiasanya ia akan ulah Zefanya, beberapa hal jadi nampak terlalu meragukan dimatanya.
      Otomatis, tanpa banyak berpikir, Alva memilih untuk memencet layarnya pada dokumen tersebut. Jantungnya, di luar kendalinya, mulai berdegup cepat.
      Suara gitar akustik mengawali video itu, diikuti dengan kemunculan teks ‘a video dedicated to Bli Giant...’
      Alva terbahak. Teks itu dengan cepat berubah, ‘salah, to bli Putu Genta Indrayana^^’
      Kerjaan Ze, batin Alva, yakin seratus persen pasti Ze yang menyunting dan menyusun video ini. Ia teringat bahwa temannya itu sempat mengiriminya pesan berkali-kali meminta dikirimkan video berisi kesan dan pesan untuk Genta, yang tak digubrisnya sama sekali. Memang ia membalas, menyetujuinya dan meminta Ze untuk menunggu, tapi hingga batas waktu yang ditentukan Alva tak kunjung mengirimkan apapun. Ze sendiri sepertinya sudah kelewat kesal untuk meminta lagi. Melihat video ini, tahu-tahu saja Alva merasa bersalah.
      Kemudian sebaris nama muncul di layar berlatar ungu, ‘Aurelia Komala Koentjaraningrat said...’
      Tanpa disadari Alva menghitung berapa lama layar itu kosong melompong dan hanya menampilkan nama gadis itu saja. Tujuh detik. Tujuh detik yang singkat. Niat logika ingin menghentikan jalannya video itu, tapi tangannya diam saja, malah bisa dikatakan menantikan kemunculan wajahnya.
      “Halooo... Genta,” wajah seorang gadis berkacamata dengan rambut panjang berombak memenuhi layar tabletnya, matanya terlihat lelah namun cengirannya tidak lepas dari wajahnya, “selamat menempuh hidup baru¾hah? Selamat menempuh hidup baru?” ia tertawa kecil sebelum meneruskan, “Selamat melanjutkan kehidupan yang lama di Singapur... Trus... semoga masternya yang setelah mendapat gelar doktor,” mendengus heran, “bisa lancar. Setelah doktor baru master, mestinya kayak saya dong, master dulu baru doktor! Terus... semoga lancar masternya di Jepang... apalagi? Segera menikah... semoga sempet ketemu di NTU. Apalagi ya? Semoga sempet jalan-jalan bareng di Singapur. Tapi, tapi kayaknya nih, feel¾feeling saya, anda pergi, saya datang. Apalagi ya? Jangan lupain kita-kita, saya dan yang lain-lain. Zefanya, Tania, Alva, Iwan... siapa lagi? Dengan cerita-cerita, kisah-kisah, kegalauan yang nggak jelas dari kita masing-masing... Terus satu lagi, apa ya... Oh ya, makasi juga untuk semua ilmu¾sharing-sharing knowledge-nya. M-A-N-T-A-P B-G-T-lah,“ ia nyengir lebih lebar lagi seusai mengeja huruf-huruf itu, “serius. Terus makasi juga untuk semua masukan-masukannya selama kemarin pas mau sidang. Euh... anyway, kalau bukan karena elo dan juga Zefanya yang sempat menemani saya, mungkin saya sudah jadi jamur di dalam kamar, tidak mau bergerak, dan sibuk salto bolak-balik kasur,” Tania yang duduk di sebelah si gadis, nampak dari pantulan kaca, terlihat berusaha menahan ledakan tawanya. “Thanks so much elo juga udah ngingetin bahwa yang terpenting adalah gimana kita bersikap ke orang lain¾uhuk¾seperti apa¾uhuk, tuh kan jadi batuk,” dia memalingkan wajahnya, suara Tania mengisi diamnya si gadis yang sibuk mebersihkan tenggorokannya, “Nah kok jadi batuk?”
      Zefanya berbisik iseng, “Kok gak netes air mata sih, El? Netesin air mata dong, biar dramatis gitu kaaan.”
      Seraya pura-pura menutulkan ujung syal birunya pada ekor kelopak matanya, si gadis tertawa, “Belum...”
      “Hiks hiks hiks,” kata Ze dengan nada ekstrausil.
      “Eh, kita diliatin tau sama abang-abang di sebelah kita,” sela Tania sembari terkikik kecil.
      “Si abang juga pingin masuk kamera yak?” ujar Ze, menggeser lensa pada laki-laki yang duduk di sisi Elia, “nih, bli Genta, ada tambahan senyum manis dari si om-om. Cie cie cieeee. Trus gimana, El,” kembali dia memposisikan lensa pada objek semula, “sudah siap nangisnya blom?”
      “Belum sekarang, belum sekarang,” ketenangannya kembali, “Kayaknya gitu aja sih. Good luck di Jepang. Doain supaya kita semua sukses. Well, see you in the next opportunity. God bless you. Bye-bye.”
   Layar menghitam, diteruskan dengan kemunculan kata-kata ‘pidato Janneke Zefanya Gita Rorimpandey, mohon bertahan :p’.
      Tapi Alva tak mempedulikan juga mendengarkan.
      Alva, gadis itu menyebut namanya sekilas sambil lalu dengan paras yang sangat tenang.
     Sementara dirinya sendiri selama ini menghindari sepenuh hati untuk mengucapkan nama si gadis, bahkan saat mereka mau tidak mau terpaksa bertemu. Alva hanya menyebutnya dengan, “Eh,” diikuti dengan kalimat pertanyaan atau pernyataan yang ingin disampaikan. Tidak dihiraukannya bagaimana pendapat teman-temannya, disebut pengecut pun terserah, namun baginya ini adalah sistem pertahanan.
      Separo bagian dirinya membencinya.
      Sungguh benci.
    Perkataan gadis tersebut dulu padanya menutup semua kesempatan dan usaha yang diharapkannya masih tersisa; setidak-tidaknya bisa dia perjuangkan bagi mereka berdua. Jika memang tidak mungkin dan tidak ada usaha untuk meneruskan, apa yang harus dilakukannya? Tetap tertawa seperti biasa dan melanjutkan hubungan mereka sebagai teman biasa seolah tidak terjadi apa-apa?
      Alva tidak ingat pernah menangis lagi semenjak SD.
    Malam itu terlalu dingin dan terlalu gelap, tidak mau diingatnya lagi secara persis ke atom terkecil sekacau apa perasaannya, setolol apa ekspresinya ketika menyadari si gadis mengejarnya dari apartemennya hingga pintu masuk stasiun metro sampai terengah-engah cuma untuk memintanya tidak memutuskan hubungan pertemanan mereka. Putain quoi!
      Memintanya untuk tidak me-remove dirinya dari daftar teman Facebook? Sudah.
     Membalas SMS basa-basi mengajak berkumpul ramai-ramai yang dikirimkan sekalian di satu forum? Sudah.
    Sesinting apa orang itu berharap dirinya mau bertemu, bercakap-cakap normal seperti dulu sebelum semuanya menjadi berantakan? Bahkan mempertontonkan kesedihannya dengan menyanyi, memamerkan perasaannya? Apa yang dia harapkan sebetulnya, mereka akan kembali bersama? Gadis itu sendiri yang menutup jalan tersebut, demi Tuhan!
      Ingin rasanya Alva mengamuk. Genggaman jari-jarinya pada sisi tablet menegang. Tarikan napasnya mulai tidak teratur.

      Why do you have to make things so difficult?

      Just go already. Leave me.

      Alva yang sebelumnya begitu dingin dan tak terganggu ketika diajak bicara oleh tetangga duduknya yang elok jelita, kini merepih. Emosinya yang ditahan-tahannya dengan memusatkan perhatiannya pada pekerjaan selama di Paris dan Bandung mulai berputar-putar. Sekuat tenaga ia menenangkan diri, mengatur napasnya, menstabilkan emosi jiwa.

      It would be much easier if you just shut up and pretend that I ain’t exist.

      It was such a torture... seeing your happy face...

      Reading your text...

      Listening to your voice...

      Why can’t you understand me just a bit...

   Layar tabletnya menghitam. Sekelebat saja dia melihat wajah teman-temannya muncul di sana bergantian menyampaikan pesan dan rasa terima kasih mereka pada Genta. Alva mengira videonya sudah selesai dan ingin mematikan aplikasinya, namun tiba-tiba saja wajah bulat Genta muncul dan langsung bermonolog.
      “Tania. Apa ya... kesan-pesannya...”
      Alva tak mendengarkan. Pikirannya terlalu ruwet untuk bisa mencerna perkataan orang lain saat ini. Matanya berpindah dari layar tablet ke lorong pesawat yang kosong, lampu telah dimatikan dan sepertinya banyak penumpang sudah memasuki masa hibernasi sampai nanti dibangunkan untuk kegiatan makan berikutnya. Sebaiknya dia juga ikut tidur saja, daripada ketenangannya terganggu oleh pikiran-pikiran tidak penting. Bagaimanapun, keseimbangan emosinya adalah isu yang paling penting saat ini.

      Screw this.

      “Terakhir untuk Gde apa ya,” kata Genta di telinganya, dengan cepat Alva menoleh ke layar. Teman seperjuangannya itu membuat ekspresi antara tidak enak dengan kasihan. “Euh... yah... ya, mungkin ini bukan pesan-kesan¾ini saran. Kalo nanggepin hati jangan pakai integral,“ ujarnya ringan, ditutup dengan tawa. Bisa didengarnya Zefanya juga turut tergelak pelan di balik lensa.
      You need to stop lying at yourself, bli De,“ Zefanya memutar kamera, “It will be easier for you, really. It’s for your own good,” katanya, memberikan senyuman penuh pengertian.

      Shit.

    Teman-temannya yang dijauhinya. Alva berpikir dirinya akan sanggup melalui semuanya sendiri, itu lebih baik dan lebih mudah. Suasana tidak akan menjadi canggung karena diam yang tercipta antara dirinya dan dia. Ia sudah tidak ambil pusing lagi penilaian mereka akan sikapnya dan merasa tak perlu berbicara pada siapapun. Dia akan baik-baik saja, toh awalnya juga dia tak punya hubungan pertemanan terlalu dekat dengan siapapun.
      Akan tetapi ketika melihat rekaman video ini...
      Dia mendesah berat. Alva menundukkan wajahnya, jari tangan kirinya memijit pelan keningnya. Suara Tania kemudian muncul, tapi Alva tidak ingin melihat layar. Matanya dipejamkan rapat-rapat. Tangan kanannya menggosok-gosok dadanya yang seketika terasa sesak.
      “First of all¾lah, settingan pake Bahasa Inggris,” didengarnya Tania tertawa lalu berdeham. “Mau bilang thanks. Thaaaanks banget udah diajarin masak. Diajarin bikin sushi, dimasakin nasi kuning, dibikinin steak... Masakannya Gde enak-enak sih, hahahaha, kelamaan deket-deket dia bisa gendut! Trus apa lagi ya... Kenangan sama Gde banyak sih ya... Apalagi sama seseorang, ya enggak? Hahaha, cieeee...”
      Zefanya nimbrung, “Thanks banget udah jemput kita di bandara! Itu yang paling kuinget, kamu sama bli Genta udah jemput kita di bandara. Thanks banget! Bli Gde orangnya memang penolong!”
      “Secara kita anak-anak baru di Paris, ya ampuun,” lanjut Tania. “Kalo nggak ada si Gde kayaknya kita bakalan hilang deh.”
      “Terutama aku,” Iwan menimpali, logat Balinya kental sekali. “Suksma banget, De. Good luck, ketemu lagilah kita di Bali.”
      “Seneng, kita seneng banget bisa kenalan sama Gde. Keep up your good work and I believe you will be a successful person. Itu aja...” jeda sejenak sebelum Tania menyelesaikan bagiannya, “byeeeee.”
      Jeda lagi.
    Ada suara kasak-kusuk ribut, lantai yang ditepuk-tepuk dengan telapak tangan, lalu Ze bersuara sembari terkekeh, “Next!
      Sunyi.
      Kepala Alva berdenyut-denyut.

      Jangan sampai...

      “Kita keluar deh, kita keluar deh,” kata Genta. “Supaya lebih lancar ngomongnya.”
      Bunyi derap beberapa langkah kaki menjauh dari kamera terdengar, diikuti debam pintu menutup.
      Hening.
      Hening yang terasa mengambang begitu lama.
      “I’m so sorry.”
      Suaranya. Serak dan lirih.
      Kernyitan di dahi Alva melesak semakin dalam.
    “Euh... Well...,” nada suaranya terdengar tak yakin, seolah-olah tak tahu harus memulai dari mana. “You know... I’ve never made any kind of this video message before. I... really want to talk to you in person but perhaps I don’t have any courage left...  to be rejected.”
      Alva tetap menunduk, tak ingin membuka matanya.
      Ingin rasanya dia berubah tuli.
      “But yeah still... if I don’t say it here, I would be the one that later regret it. I have enough regrets, I don’t need to add another.
      Siksa.
      Ini sungguh menyiksa.
     Pernahkah terlintas dipikirannya betapa ingin Alva menemuinya? Seberapa letih usahanya menjauhkan diri dan mengabaikan pesan-pesannya? Seberapa terkuras energinya agar pikiran-pikirannya teralihkan dan tetap teguh memegang janji terakhir mereka?
      “I’ve been... very stubborn. I, uh...“ gadis itu berbicara terbata-bata, “I shouldn’t have been asking you too much. Yet what can I do... it’s just that my feelings for you is too strong. Don’t ask me why.”
      Rasanya hati Alva meremuk.
      “I miss you.”

      Putain.

      “Yang ingin aku bilang itu banyak, Al. Banyak. Saking banyaknya sampai terasa tidak pantas, apalagi kondisi kita seperti ini. Who am I to talk...” suaranya berubah menjadi bisikan lirih. Dia terbatuk-batuk, berupaya menghilangkan gemetar dalam suaranya yang mulai terdeteksi. “I... I want to say I’m grateful that I met you. That you let me came into your world, to let me became your best friend.”
      Kalimat demi kalimat, suara si gadis semakin tegas namun tetap lembut.
      “You are very special for me. Even in the future, where you might be married to a lovely lady and I might be married to a kind gentleman. You have to know, you will always be.”
      Dalam hatinya Alva mengerang, tak mengerti bagaimana bisa gadis ini berbicara dengan begitu tenang dan mantap. Tanpa merasa malu sedikitpun, tanpa merasa harga dirinya terinjak-injak setelah semua tingkah Alva yang jelas-jelas tidak mempedulikannya.

      Kamu tahu kenapa, tidak usah pakai acara berbohong pada diri sendiri, Alva.

      “Thank you very much for your love.”

      Elia...

      “Thank you for the little infinity you’ve given to me.”
      Tanpa membuka matanya, Alva bisa membayangkan betapa teduh Elia tersenyum.
      “I’m praying for your happiness. God bless you, Alva.”
      Ini batasnya, Alva sudah tidak mampu menahan diri.
      Matanya masih sempat bertemu dengan mata Elia, sekian detik yang terasa begitu surreal. Ditatapnya mata Elia yang hangat, sehangat mentari senja keemasan di langit Paris.
      Elia yang tidak berubah. Sorot pandang yang sama. Kebaikan yang sama. Kejujuran yang sama. Sosok yang selamanya akan memiliki makna dan ruang khusus di hatinya.
      Bagian belakang bola mata Alva terasa panas dan tertusuk-tusuk.
      Dadanya sesak. Terimpit.

      Begitu perih...

      Terakhir kali dipandanginya wajah Elia dengan cermat sebelum kemudian ia menutup programnya serta tanpa keraguan menghapus file tersebut.
      Sebutir air mata mengalir.



***




31 Juillet 2017.
02.12 AM.

Erinda Moniaga.

Saturday, July 22, 2017

L'été - Yang Tertinggal

previously: part 1 Winter
part 2 Spring


Satu kata: panas.

Tanggal di kalender bulan Juni menunjukkan angka dua puluh empat, sementara angka termometer digital menampakkan angka di atas dua puluh lima derajat selsius. Di Indonesia itu termasuk sejuk, sedangkan di belahan bumi ini, itu artinya panas.
Tidak ada satu awan pun mampu menghalang-halangi semangat sang matahari di langit Paris yang bersih dan begitu biru. Warga kota Paris, yang dengan mentereng disebut sebagai Parisien, dapat dipastikan tidak lagi mendekam di apartemennya melainkan akan mengisi tiap jengkal dan pelosok taman-taman umum seperti Champs de Mars atau Jardin du Luxembourg atau jardin-jardin yang lain ; bersantai dan berjemur, tidur-tiduran di atas hamparan rumput hijau segar seusai piknik makan siang berupa kombinasi salad dengan pasta atau sandwich baguette. Menikmati perjumpaan berharga mereka dengan sang mentari dalam kurun waktu dua belas minggu. Apalagi tiga hari yang lalu di seluruh penjuru kota secara serentak dilaksanakan Fête de la Musique, acara tahunan dalam rangka menandai dimulainya musim panas di kota Paris di mana penduduk kota dapat menonton atau sekaligus menjadi pemain musik di acara yang secara teknis dilaksanakan di, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, tiap penjuru kota. Euforia musik itu masih berlanjut, tidak sulit menemukan sekelompok pemusik sedang beraksi di beberapa tempat strategis untuk mengamen. Musik, sinar matahari, berkumpul bersama-sama menikmati santapan dan bersantai menikmati hidup; singkatnya, suasana ini otomatis membuat orang merasa gembira dan penuh gairah.
  Oh, dan jangan lupa tambahkan latar musik akordeon ketika membayangkan pemaparan di atas, très Parisien. Sangat Paris.
         Ze merasakan hangatnya pancaran cahaya matahari di atas kulitnya, mengangkat tangan kanannya sembari meneduhkan pandangannya, memandang langit dari pintu bus 67 yang membuka. Hari yang sangat ceria dan menyenangkan, wajah-wajah orang yang ditemuinya sepanjang perjalanan ini pun berseri-seri riang, tak ragu untuk menyunggingkan senyum atau mengangguk kecil jikalau tak sengaja bertemu mata.
         Hari yang tepat untuk melaksanakan ujian thesis.
      “Kampusnya Elia di mana sih, Ze?“ tanya Tania ketika mereka sudah turun dari bus dan menyeberang jalan, melintasi depan tangga masuk stasiun metro Jussieu.
        “Ini tinggal jalan dikit aja, belok ke kanan, terus ke pojokan jalan, di sana dah kampusnya,“ tanpa berhenti, Zefanya berjalan bergegas.
       “Dia defense jam berapa sih?“ Tania bertanya lagi, mengecek arloji di pergelangan tangan kirinya; jarum menunjukkan nyaris pukul setengah enam sore.
         “Jam setengah lima.“
         “Lah, trus?“
       “Kan aku baru pulang kerja tadi jam lima, Tan. Sudah hari-hari terakhir di UNESCO, masak mau bolos? Aku sudah bilang juga ke Elia kalau kita telat dateng.“
        Di ujung trotoar, berdirilah gedung kampus Elia, Institut Physique du Globe de Paris : bangunan persegi berdinding putih, barisan jendela-jendela lebar berderet-deret dengan desain sangat moderen minimalis, tidak seperti kebanyakan gedung universitas klasik di Paris, layaknya kampus Zefanya di Panthéon-Sorbonne. Menyelusuri jalan setapak kecil lalu melewati pintu masuk, sejenak kedua gadis itu berhenti. Tidak begitu banyak orang yang lalu-lalang di lobi itu, dan di meja yang tampaknya seperti meja resepsionis terlihat kosong.
       “Di mana aulanya?“ gumam Tania, lehernya berputar, mencari-cari papan penunjuk atau apapun yang bisa menjadi indikator keberadaannya.
      “Bentar,“ tanpa berpikir Ze mengeluarkan ponselnya dari saku, mencari pesan singkat yang dikirimkan Elia kepadanya pagi tadi. Seingatnya Elia sudah memberi arahan jalan menuju aula tempatnya ujian.
      “Kayaknya di sebelah sini,“ Tania berputar ke kiri seraya menarik lengan blazer biru Zefanya kemudian mendorong pintu kayu besar berwarna marun. Tanpa disengaja mereka berusaha berjalan tak bersuara saat menyadari bahwa ruangan minim cahaya itu nampaknya benar-benar aula. Suara laki-laki berbahasa Prancis terdengar menggema dari mikrofon. Lorong berukuran tidak begitu besar yang beralaskan karpet itu berujung di tangga yang harus mereka naiki. Melongok ke sisi kirinya, Zefanya dan Tania melihat kursi bersusun ke bawah seperti dalam ruangan bioskop dan di lantai paling bawah ada podium besar. Deretan-deretan kursi di bagian bawah penuh terisi orang-orang, yang ditebak Zefanya, mahasiswa dan dosen jika memperhatikan pakaian mereka.
         Tidak ada penampakan Elia di podium presentasi.
         Ragu-ragu, kedua gadis itu memilih untuk duduk di deretan kursi teratas, dengan sedikit rasa panik Zefanya mengetik SMS.

         Tu es où?

       Tania melirik heran, “Mana bisa dia bales SMS lagi di mana, pasti dia gak bakalan ngecek ponselnya.”
       “Setidaknya aku ngontak dia lah,” Zefanya memasukkan ponselnya kembali ke saku celananya seraya mengedarkan pandang ke bawah, berusaha mengenali tampak belakang Elia di antara kepala-kepala orang-orang di sana.
         “Aku roaming sama presentasi bule di depan nih,” komentar Tania, memutuskan untuk membuat posisi duduknya lebih nyaman di kursi, memperhatikan slide yang sedang dipresentasikan. “Adrien Sautelet, nama orang Prancis, tapi bahasa Inggrisnya bagus ya ; jarang-jarang aku denger yang aksen Inggrisnya rapi kayak ini.”
          “Dia ngomongin apa sih? Aku gak merhatiin. Tapi iya, Bahasa Inggrisnya bagus.”
     “Kayaknya sesuatu yang berhubungan sama prediksi tsunami dan gempa, banyak tabel-tabel rumitnya.”
         “Kita nanti bulan September defense thesis gak pakai acara sidang terbuka macam begini kan ya?” Zefanya mulai merasa sedikit grogi akibat membayangkan ujian thesisnya nanti, tidak yakin mentalnya akan siap. “Laporan stage-nya belum kelar, ngerjain thesisnya apalagi. Cukup apa enggak ya nanti, dua bulan ngerjain thesis... Kamu gimana, Tan? Laporan stage udah beres?”
         “Gimana kelar itu laporan magang,” sahutnya dengan keluhan yang sangat kentara, “bosku kayaknya bener-bener mau memanfaatkan tenagaku sampai hari terakhir. Ini aja aku disuruh handle grup baru lagi. Nunggu enam hari lagi rasanya lamaaaa... banget.”
     “Ya gak apa-apa kan, juga kamu dapet jalan-jalan sama makan-makan gratis,” Ze menimpali, tersenyum kecil.
         “Ngurusin orang, Ze, gak ada enak-enaknya sama sekali deh.”
         “Setidaknya kamu dapet jalan-jalannya. Plus dapet gaji lumayan.”
         “Iya sih. Begitulah ya, gede ombak gede angin.”
         “Sabar lagi dikit, enam hari lagi kita bebas.”
     Tania hanya merengut, dengan membayangkan teriakan-teriakan liar bosnya di kantor sudah membuatnya muak sekali. Masa magang selama empat bulan terasa begitu panjang, seolah-olah menyita seluruh energi jiwa dan raganya. Beban kerjanya sebenarnya tidak akan terlalu memberatkan jika seandainya saja si bos bukanlah orang yang emosinya sangat labil dan tidak mudah membentak-bentak bawahan; dia akan menyukainya malahan, karena dia sendiri sangat suka pergi berjalan-jalan. Sangkanya dia akan mendapat pengalaman magang yang normal di agen perjalanan ini, namun ternyata segala hal yang tersaji di mejanya jauh dari perkiraannya, bahkan dari perkiraannya yang paling buruk sekalipun.
       “Kalau aku inget-inget materi thesis kita, aku yang mestinya stage di UNESCO,” gumamnya, matanya mengarah lurus ke bawah, mengamati presentasi Adrien Sautelet, tanpa berniat memahami. “Nanti sungguhan ya, bantuin aku wawancara Pak Joseph untuk materi Creative City UNESCO.”
       “Gampang, Tan, sudah aku bilang ke Pak Jo. Katanya kabari aja kapan mau wawancara, kalau jamnya pas, bisa langsung ketemu.” Ze mengernyit. “Orang Prancis ini cuma perasaanku aja, atau memang mereka presentasi thesis pakai baju kaos dan celana jeans?”
        “Mata minusmu gak salah,“ seraya menyeringai Tania menjawab. “Bayangin di Indonesia kita masuk ruang ujian cuma pakai kaos, sudah diusir dari ruangan, ujian ditunda.”
        “Oh tapi gak semua orang kayaknya, itu di sana ada yang pakai kemeja putih sama celana hitam,” kata Ze, melongokkan kepala supaya bisa melihat lebih jelas. Dalam cakrawala berpikirnya, kemeja putih dilengkapi celana atau rok hitam adalah pakaian default seseorang jika akan mengikuti ujian. Tidak wajar rasanya jika melihat orang bisa begitu santainya berpakaian untuk momen penting macam presentasi plus sidang terbuka thesis. Tidak sopan, seolah-olah kesannya begitu. Apa barangkali budaya di negeri ini sejatinya demikian? Ze menepis prasangka tersebut, tidak baik terlalu cepat menilai. “Oh, orang India, kirain orang Eropa. Tapi kalau dilihat-lihat lagi, banyak yang bajunya bebas santai ya.“
         “Trus si Elia sudah bales SMS-mu, belum?”
         Keasyikan curhat dan bergosip membuat Zefanya sejenak melupakan keberadaan Elia. Padahal tujuan mereka datang ke sini adalah untuk menjadi penyemangat moral, atau paling tidak dalam kasus keterlambatan mereka, menyelamati ketika sidang terbuka thesis ini sudah selesai. Dia mengambil ponselnya dari saku, memeriksa apakah sekiranya sudah ada balasan.
         Nihil.
         Harus berapa lamakah menunggu jika begini?
        Orang-orang di bawah bertepuk tangan, dan kedua gadis itu memperhatikan bahwa lelaki bernama Adrien Sautelet telah selesai mempresentasikan thesisnya, juga sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan penguji serta beberapa penonton. Tampaknya presentasinya adalah presentasi terakhir, karena begitu dia turun dari podium, orang-orang mulai berdiri dan sebagian dari mereka telah berjalan menuju pintu keluar.
         “Eh, sudah selesai tuh!” kata Ze, sontak berdiri, menajamkan pandangannya mencari kawannya di antara kerumunan orang. “Yuk kita turun juga sekalian,” dia menarik Tania bangkit, menggeret lengan bajunya, setengah menyeret agar Tania mempercepat langkahnya.
        Begitu keluar dari aula, Zefanya bisa melihat sosok belakang Elia yang mengenakan blus batik jingga dan rok selutut dengan warna senada di lobi yang penuh sesak dan sedang tertawa-tawa bersama temannya yang, tadi dilihat Zefanya, berkemeja putih dan celana hitam. Obrolan mereka dilanjutkan dengan berfoto selfie, cengiran super lebar dengan deretan gigi putih tercermin di layar depan ponsel, kebahagiaan karena sudah selesai ujian tergambar nyata. Merasa sama senangnya dengan Elia, Zefanya dan Tania menunggui mereka selesai hingga kemudian Elia memutar tubuh dan menangkap keberadaan teman-temannya.
         “Ze! Tania! Sini, sini!” dihampirinya mereka dengan girang, lalu menarik mereka masing-masing dengan satu tangannya, ke arah teman berkemeja putih yang menunggu tak jauh dari meja resepsionis. “Javi, here, they are my friends from Indonesia, Zefanya and Tania. Girls, he’s my classmate, Javi.“
         “Enchantée,“ kata Zefanya spontan berbahasa Prancis, membentuk sebaris senyum.
         “Pleasure,“ kata Javi, menjawab dalam versi Bahasa Inggris.
        “Can you take a picture for me?” seraya menyodorkan kamera digitalnya Elia bertanya pada Javi yang menjawab dengan anggukan semangat pun ditambahi senyuman manis.
         Ini tidak luput dari perhatian Zefanya. Hmm, gumamnya dalam hati. Hmm.
        Memutuskan untuk tidak membahas apapun, Zefanya berdiri bersisian dengan Elia sementara Tania ada di sisi lain. Javi menghitung mundur dari tiga ke satu dalam Bahasa Inggris, serempak ketiga gadis ini tersenyum. Jepretan foto diambil rupanya tidak hanya sekali, dan Elia mengajak keduanya untuk berganti gaya dan pose. Zefanya berusaha tidak tersenyum canggung, dia selalu mudah merasa malu difoto; lain dengan Tania yang dengan aktif mengubah gaya dan mengatur sudut kemiringan wajahnya, agar terlihat sempurna hasilnya di foto. Elia berpendapat hanya orang yang sering selfie yang tahu dengan baik sudut prima wajahnya ketika dipotret.
         Jepretan terakhir, yang kelima ngomong-ngomong, dan Zefanya sudah merasa mati gaya saat Elia mencukupkan sesi foto-foto tersebut. Javi mendekati mereka bertiga, menyodorkan kamera kembali pada pemiliknya, senyumnya tidak pernah lepas.
         “Thanks, bro,” kata Elia, menerima kamera kesayangannya. “Are you leaving now?”
         “Nope, in ten minutes probably. The rest of the boys still have some matters to deal with, gotta wait for them. I will text you about our celebration party tonight okay, you know, discussing the details.“
         “Sure thing. Have fun then. I’m sorry I can’t join you guys.”
         “It will be better actually if you could come... but no worries. We still have the party.”
         Zefanya dan Tania tak bersuara walaupun jelas diam-diam interaksi kedua insan ini diperhatikan dengan sangat seksama, berkali lipat lebih menarik dibandingkan presentasi tentang pergeseran lempeng bumi yang tadi mereka tonton.
         Javi memajukan tubuhnya seraya memegang bahu Elia, otomatis melakukan ritual perpisahan ala orang Prancis, cipika-cipiki. “See you soon.”
         “Yeah, bye for now, Javi.”
    Elia melambaikan tangannya ketika teman sekelasnya berjalan menjauh, masuk lebih dalam ke bangunan kampus. Saat dia berbalik menghadap Zefanya dan Tania, ada cengiran usil yang terpajang di wajah keduanya, sangat menyebalkan sampai-sampai ingin rasanya Elia menjotos mereka satu-satu.
        “Alors?“ Ze memulai.
      “Alors quoi?” balas Elia, tanpa sadar jadi defensif seperti anak SD yang tertangkap basah berbohong karena belum mengerjakan pekerjaan rumah di depan gurunya.
       “Rien, rien. Si tu veux pas nous dire,“ ringan Ze menimpali. “pas de problème.”
      Cengiran menyebalkan itu belum juga terhapus, Elia mati-matian berusaha supaya wajahnya tidak menunjukkan gejala memerah. Dia memalingkan muka, menyahut dengan lagak tidak terpengaruh, “Aku gak ngerti maksudmu apa, Ze.”
         Alah, sidang thesis di negara orang aja bisa diselesaikan dengan baik, masak perkara sepele macam ini bisa ndak ngerti?”
       Kumat sudah penyakit-mengejek-teman-sampai-mampus milik Zefanya. Bisa memojokkan temannya hingga membuat mereka malu kemudian memerah padam dan akhirnya kesal karena ketahuan merupakan kesenangan tersendiri baginya. Tania menyikutnya, tapi cengiran itu masih terpampang.
      “Congratulations, Elia!” Tania mengganti topik, meraih Elia lalu memeluknya hangat. “Selamat ya sudah lulus ujian, maaf kita enggak bisa on time dan kasih semangat selama presentasi.”
         Zefanya menimbrung, turut memeluk kedua temannya, “Satu lagi anak hebat Indonesia sudah lulus! Félicitations! Aurelia Komala Koentjaraningrat, M. Rech., keren banget! Yang pertama di antara kita lulus demi kemajuan bangsa!”
         Meski tadinya manyun, mau tak mau senyum sumringah tersungging di bibir Elia.
       Ada momen penuh haru yang tidak bisa ia sangkal. Tinggal jauh di negeri orang selama satu setengah tahun lebih, terseok-seok hingga berdarah-darah supaya bisa mendapat beasiswa pemerintah Indonesia untuk meneruskan pendidikan level master di Prancis, juga hampir gagal berangkat karena drama kekonyolan miskomunikasi tidak penting yang terjadi; dan banyak peristiwa-peristiwa lain yang mengantar Elia sampai di titik ini. Tidak merasa betah, berpisah akomodasi dengan teman-teman yang diajaknya berangkat bersama, merasa jadi alien tapi perlahan-lahan bisa bertemu orang-orang ajaib yang kemudian menjadi dekat, jatuh cinta dan patah hati, berbagai pertemuan dan perjalanan, penghiburan dan penguatan, masa-masa galau nan kritis saat menulis thesis...
         “Merci,” gumam Elia sungguh-sungguh berterima kasih, “Kalau gak ada kalian, aku sudah jadi jamur di kamarku sendiri, teronggok nggak guna, cuma bisa guling-guling tanpa niat dan motivasi.”
       Itu memang benar. Kondisi fisiknya sehat walafiat, tidak menderita gangguan penyakit apapun, batuk atau gastritis pun tidak. Namun ternyata sesehat apapun seseorang, jika kondisi emosi kejiwaannya tidak begitu stabil dan dipengaruhi pikiran-pikiran negatif terlalu banyak, sugesti itu mewujud di level fisik. Merasa tidak enak badan terus-terusan, belum lagi ditambah perkara hati yang sebisa mungkin dikesampingkan demi masa depan akademiknya, ada malam-malam yang dilalui Elia hanya dengan memandangi layar laptop tanpa membaca materi. Ingin mengetik tapi tidak tahu ingin mengetik apa. Sudah selesai tapi tak kunjung merasa puas. Makan, mandi, dan magang di kampus dilewatinya seperti kewajiban tak sarat makna.
     Dia merasa tertekan, tapi tidak sanggup membagi bebannya ini pada siapapun. Bukannya tidak percaya, tapi dia merasa permasalahan yang dihadapinya terlalu trivial untuk didiskusikan dengan teman-temannya, ujung-ujungnya hanya membuat mereka tak nyaman. Skenario menulis thesis sambilan patah hati tidak pernah terbayangkan olehnya sewaktu masih di Indonesia; jujur saja, rasanya benar-benar buruk. Kalau bukan karena Ze mengingatkannya berulang-ulang mengenai tanggungan beasiswa dan keyakinannya bahwa Elia mampu menuntaskan kewajibannya, serta bantuan Genta mendengarnya latihan presentasi dan memberinya tambahan semangat, dia sungguhan hanya akan teronggok seperti jamur yang bermunculan di kamar gelap dan dekil tak tersentuh cahaya kehidupan.
         “Gak masalah, memang sudah seharusnya begitu,” Ze menimpali, tulus.
         Mereka melepas pelukan ala telletubies tadi, lalu Elia mengecek arloji putihnya, “Yuk, cabut. Jamnya pas nih, begitu kita sampai di sana restorannya sudah buka.”
         “Kita doang nih?” cepat Ze menyahut, suaranya sarat keinginan meledek. Cowok kemeja putih celana hitam tadi sudah siap dijadikan kartu ledekan baru.
         “Lah iya, kan aku sudah bilang, hari ini spesial makan-makan for the ladies,” alis Elia terangkat, “lagian mau ngumpul bareng sama anak-anak cowok sulit, kalian tahulah kenapa.”
         Tania mencibir, mengerti arah yang dimaksud Elia secara tersirat. “Ya gak mesti ada dia juga toh? Kita bisa kumpul sama Iwan dan bli Genta, mau repot ngumpulin yang tercecer lagi satu itu sulit.”
         Elia mengangkat bahu.
         Menyebut namanya saja tidak ingin, sudah seperti kata yang terlalu tabu. Sebenarnya tidak apa-apa, tidak ada masalah. Dia tidak merasa tersinggung atau terluka atau apapun jika teman-temannya menyebut nama dia. Hanya saja, ia tidak sanggup menyebut nama panggilan yang khusus dibuatnya itu.
         Masihkah hatinya terasa seperti teriris jika dia mendengar nama itu?
         Masihkan ada gaung kekosongan menyedihkan yang sama bersarang di hatinya?
      Memanggilnya dengan nama itu seolah-olah menegaskan fakta akan perasaannya yang belum berubah. Tapi Elia berpikir bahwa jika nantinya perasaan tersebut bisa dinetralkan, menyebut nama itu barangkali tidak memberikan efek samping apa-apa. Salah satu langkah menuju kedewasaan, batinnya. Namun belum sekarang waktunya, belum bisa.
         “Ini kok malah jadi ngomongin si Loki,“ tukas Ze, tidak sabar, “wong aku mau ngeledekin soal Javi, yang dibahas malah Loki.”
         Kebiasaan para gadis: memberikan nama kode sesuka hati jika ingin membicarakan-garis-miring-menggosipkan orang-orang tertentu. Fungsi nama kode ini yang terpenting, tentu saja, adalah agar orang yang mendengarnya tidak serta-merta tahu siapa yang sedang digunjingkan.
     Lalu siapakah Loki? Di mitologi Norwegia, dewa satu ini sering muncul dan menimbulkan permasalahan. Dewa kekacauan. Zefanya dengan tepat guna sekali memilih nama kode ini bagi dia, karena kekacauan yang ditimbulkannya bagi Elia. Dan bukan hanya karena itu, nama lengkapnya sendiri adalah Gde Avalokiteswara Eka. Tidak salah jika Ze memotong namanya di bagian Loki.
         Jadi, biarkanlah asal-usul nama panggilan Alva itu Elia sendiri yang menyimpannya. Sekarang, yang ada hanya Loki, bukan lagi Alva.
    “Kamu sih gara-gara, Ze,” kata Tania, melirik memperingatkan, “nyamber-nyambernya ambigu banget.”
      “Udah ah, jangan dilanjutin dibahas,” Elia menyergah, mengibaskan rambut dengan gaya lebih percaya diri dari sebelumnya, “Ini harinya pemenang, kita harus bersenang-senang! Yuk, cabut, lapar banget nih!”

***

         Pemandangan sungai Seine di kala mentari bersinar cerah tidak begitu memiliki kesan indah di mata Elia. Airnya kadang kala terlihat biru kehijauan, namun sayangnya lebih sering tampak berwarna biru kecokelatan keruh. Sedikit memberikan ilusi optik seakan-akan dia tidak mengalir jikalau tidak diperhatikan dengan seksama. Bantaran sungai Seine di Paris cukup lebar dan sengaja didesain demikian, agar warga sipil dapat berjalan-jalan di tepi sungai atau melakukan aktivitas apapun yang mereka sukai semacam duduk santai sekalian piknik, berolahraga, atau spesial di musim panas, konser musik mini gratisan alias ngamen.
        “Es krimmu enak nggak?” Ze bertanya sambil menjilati es krim rasa hazelnut yang hampir melesak setengah ke dalam kojong, kakinya terayun-ayun di tepi sungai. Bantaran sungai itu cukup tinggi, permukaan air sungai ada di bawah sekitar dua meter jauhnya.
       “Lumayan,“ sahut Elia, mengernyit, “agak sedikit terlalu asam sih, sebenarnya. Yaaa tapi gak apalah,” dihabiskannya es krim rasa rasberi itu tanpa terburu-buru. “Murni buah aja mungkin.”
        “Bisa jadi.”
      Sinar matahari terpantul dalam rupa bias-bias sewarna pelangi di permukaan riak-riak air. Senja belum juga menjelang meskipun waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam lebih, tapi mereka juga masih menganggap waktu belum beranjak dari pukul enam sore. Mentari musim panas yang begitu ceria, bertahan menerangi langit hingga malam. Elia dan Zefanya tidak hanya berdua duduk di bantaran sungai, ada banyak sekali orang di sana. Botol bir yang bersinggungan di dalam tas jinjing terdengar ketika pendatang baru berjalan di sela-sela orang yang duduk sembari sibuk berkata permisi atau maaf, suara-suara gelak tawa ringan terbawa angin. Atmosfer kebahagiaan terlalu kental untuk diabaikan, ditambah lagi Elia yang sukses menyelesaikan ujian thesisnya, semuanya terasa sempurna.
         “Sayang juga si Tania harus balik ke kantor.”
       “Yah, kau tahulah, perkara pekerjaan. Apalagi bosnya itu yang... ” Ze tidak meneruskan, memilih menggigiti pinggiran kojong esnya. Hampir saja keceplosan menggosipkan orang, padahal dia sendiri belum pernah bertemu bos Tania yang dirumorkan begitu galak dan agak di luar batas.
         Kenapa memang bosnya?
         Nanti kalo ketemu dia, tanyain aja langsung, itu jawaban terbaik tak memihak yang bisa diberikan Zefanya. “Ngomong-ngomong mie daging babi tadi, sumpaaaaah, enak banget! Langsung jatuh cinta!”
      “Iya kaaaaan?” dengan antusias Elia menimpali, senang karena mie yang direkomendasikannya disukai temannya.
         “Aku belum pernah makan daging babi dengan tiga gaya masak, paling enak yang digoreng kering,“ matanya mengawang, sisa sensasi kelezatan mie bertajuk Trois Trésors, alias tiga harta karun dalam Bahasa Indonesia, itu tidak juga hilang. Dia berjanji dalam hati sebelum hari kepulangannya kembali ke tanah air, restoran Laos itu wajib dikunjunginya kembali! “Sebelum kamu pulang ke Indo, kalau ada waktu, makan ke sana lagi yuk!”
         Elia mengangguk-angguk, walaupun dalam hati dia tak yakin waktu yang tersisa akan cukup. “Tadi kenapa kamu telat sih sebenarnya?” mendadak dia teringat Zefanya belum bercerita.
         Sedari tadi di restoran yang mereka bertiga bahas adalah ujian thesisnya, juga tetek-bengek alur dan proses, serta wawancara mendalam tentang bagaimana kesan-kesannya setelah melalui sidang terbuka di depan publik internasional. Dengan jujur ia mengaku masih tidak paham mengapa thesisnya itu bisa lulus, ditambah dengan fakta (seingatnya) dia hanya bisa menjawab separo dari pertanyaan-pertanyaan tim penguji. Berkeras dia seharusnya bisa menjawab dengan lebih baik tapi kebanyakan grogi hingga mencapai titik blank. Masih sering tidak percaya thesis versi Eropanya hanya setebal tiga puluh halaman, dan pembimbingnya dengan tegas melarangnya menulis melebihi batas jumlah itu. Singkatnya, Elia (ngotot) merasa semuanya bagaikan keajaiban.
         “Oh ya,“ barangkali ia salah lihat, tapi rasanya dia melihat ujung-ujung bibir Zefanya berkedut, “Hari ini aku diminta menemani mbak Veronika pergi ke KBRI.”
         “Oh, tumben. Memangnya ada acara apa? Biasanya kamu nggak pernah ikut ke KBRI kan?”
       Ia menelan ludah mendengar pertanyaan Elia. Untung sekalian makan es krim, setidaknya bisa tersamarkan. Untunglah pula usaha Zefanya mengatur agar ekspresi wajahnya tetap sedatar sebelumnya berhasil, “Ada pesta. Pemberian penghargaan Mahar Schützenberger. Mungkin mbak Vero beranggapan aku bakal suka acara makan-makan gratisnya, makanya aku diajak.“
       Kegiatan menghabiskan es krim rasberinya tidak berhenti, tidak serta-merta pula ia mengalihkan pandangannya dari Zefanya. Oh, dia tidak mau sok pura-pura tidak tahu. Elia tahu betul akan bermuara ke mana pembicaraan ini, dia bisa mengerti kenapa Zefanya tidak bercerita apapun dari awal.
         “Kamu ketemu dia?”
         Pertanyaan itu tercetus begitu saja.
         “Oui.”
        Ze menyahut kasual, senormal menjawab pertanyaan apakah cuaca besok akan sama cerahnya seperti hari ini.
         “Oh.”
         Elia mencoba untuk menerjemahkan ‘oh’-nya barusan. 
         Terdengar bagaimana?
        Kesenyapan Elia diisi dengan tepuk tangan riuh dari orang-orang di sekelilingnya ketika sekelompok grup yang duduk di bagian bantaran sungai yang berbentuk seperti tanjung kecil, berdiri. Mereka membawa alat musik tiup mereka sendiri-sendiri: saksofon, terompet, piccolo, klarinet, French horn, trombone, dan tuba. Seusai membungkuk memberi hormat sambil cengar-cengir kepada para penonton, mereka mulai bermain musik. Lagu-lagu instrumental yang tak bisa dikenali, namun berirama riang. Menggugah. Menyemangati.
         “Hebat juga dia, bisa menang,” lanjut Ze tanpa beban, “Penelitiannya di biologi molekuler inspiratif dan cerdik.”
         Elia mengerjap pelan. Aku tahu, lebih dahulu daripada kalian, batinnya. Lalu ia teringat obrolannya di musim dingin lalu.


         “Kamu tahu penghargaan Mahar Schützenberger?”
            “Hm? Apa itu?”
            “Haha, bukan apa-apa.”
            “Ih, sok, emang apaan sih?”
            “Coba search di google.”
         “Sombong banget gak mau cerita langsung!” Elia menggerutu, tapi tetap saja setelah itu dia langsung membuka laman internet dan mencari penghargaan dengan nama asing tersebut. Tanpa mencapai satu detik, google memamerkan hasilnya. Beberapa ketukan dan membaca kilat, mata Elia langsung membulat. Cepat dia berpaling pada laki-laki yang berjalan di sampingnya, yang semenjak dia mencari jawaban di internet sudah menantikan dengan tidak sabar. “Sungguhan nih?!”
            “Hebat kan aku?”
       Elia tak tahan untuk tidak melirik sekaligus menyeringai mendengar gurauan berlapis kebanggaan yang dilontarkannya. “Sombong.“
         Beberapa koran atau media-media daring menyatakan bahwa musim dingin di Paris tahun tersebut bisa disebut musim dingin terpanas yang terjadi sepanjang sejarah. Meskipun demikian musim dingin tetaplah musim dingin. Mantel tebal, syal, dan sarung tangan lengkap Elia kenakan, jikalau tidak makhluk tropis ini barangkali sudah terkena masuk angin level akut. Laki-laki itu melingkarkan lengannya di bahu Elia, menariknya mendekat. Puncak kepala gadis itu bahkan hanya mencapai ujung bawah telinganya walau telah menggunakan sepatu bot. Dia merasa pipinya menghangat.
            “Shouldn’t you be proud of your boyfriend winning a science prize?”
            Elia mendengus geli. Tanpa menjawab dia lanjut berjalan, menembus kerumunan orang di Marché de Noel, melewati deretan toko yang menjual anggur panas, churros, dan berbagai jenis sosis panas mengepul.
            “Come on, admit it,” katanya, belum melepas rangkulannya, membuat suaranya terdengar seperti anak kecil yang sedang merajuk.
            Elia menelengkan kepalanya, menatap langsung ke bola matanya, “How cannot I be proud of you, Alva? Of course I do.“


     Urusan menyetel ulang potongan-potongan memori seperti ini, otaknya adalah ahlinya. Elia membiarkannya terjadi, tidak memaksa untuk memblokirnya atau mati-matian menghindari. Sudah terbiasa, dan makin ke belakang rasanya tidak lagi mengiris-iris pedih. Seandainya saja menjawab pertanyaan penguji tadi semudah mengingat kembali hal-hal yang seharusnya tidak gampang diingat ini, rutuknya dalam hati.
         “Ya, penelitiannya bagus memang,” komentarnya pendek. Lebih karena tidak tahu harus berkata apa lagi, bukannya karena sengaja.
         “Loki tadi kelihatan sangat gembira, menurutku.”
         “Mana mungkin nggak, kan dia menang. Kesempatan seseorang untuk dapat kuliah ke luar negeri dengan beasiswa kan gak gampang. Sudah begitu, penelitiannya dapat penghargaan pula dari asosiasi peneliti Indonesia-Prancis. Itu bisa jadi nilai lebih di CV.”
         Suara-suara alat musik tiup yang riuh rendah pun belum bisa menyamarkan nada iri sekaligus bangga yang tersirat samar di suara Elia. Bagaimana pun memahami Elia tidaklah sulit, pikir Zefanya.
         “Aren’t you going to ask me more about him?”
        Elia mengguratkan sebaris senyum tipis, “Gak perlu, lagian aku tahu kamu gak ada ngomong banyak sama dia kan?”
         “I did, actually,” tepis Zefanya, enteng. Sengaja memancing Elia. “Sungguhan nih gak mau denger?”
         Elia mengangkat bahu, terlihat lebih pasrah dan tegar daripada yang Zefanya perkirakan. “Sudahlah. Cukup aku tahu dia menang. Nanti barangkali... kalau ada kesempatan bertemu, aku bisa kasih dia selamat langsung.“
         Dirinya sendiri terkejut, sejujurnya. Jawaban tadi ia berikan tanpa berpikir dua kali, dan anehnya tidak ada beban baginya, dan benar-benar tidak ada keinginan untuk tahu lebih banyak lagi dari Zefanya. Dulu jika dia mendengar Ze tidak sengaja bertemu dengan Alva, mendengar celotehan sekilas lalu mengenai hal-hal yang mereka obrolkan, ada percikan kecemburuan kecil muncul namun terasa sangat-sangat mengganggu. Memikirkan dirinya cemburu pada Zefanya sekarang terdengar teramat absurd. Membahas perkara ini juga tidak lagi terasa penting dan relevan.
         “Balik yuk,” gumam Elia, dia memeriksa arloji putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Sudah jam segini.“
         Dari ekor matanya Zefanya turut melirik arloji Elia. “Walah, cepatnya waktu berlalu. Gak kerasa, euy!”
       Keduanya bangkit berdiri. Sembari berjalan menuju tangga naik untuk kembali ke jalan raya, Zefanya mengibaskan debu-debu tipis yang menempel di celana jins hitamnya sementara Elia sudah melenggang lebih dahulu darinya. Semakin malam menjelang bantaran sungai Seine itu bukannya bertambah sepi malahan semakin ramai. Mereka sudah tidak lagi heran melihat pemandangan tersebut.
         Kedua gadis tersebut berjalan pelan tanpa bicara menuju jembatan yang menghubungkan Île Saint-Louis dengan Île de La Cité yaitu Pont Saint-Louis. Tujuan utama mereka mengunjungi Île Saint-Louis adalah demi mencari es krim yang digadang-gadang sebagai es krim terenak di seantero Paris, dan tidak memakai embel-embel istilah gelato Italia : Glaces Berthillon. Ini kali pertama mereka mengunjungi toko tersebut dan menemukannya sangatlah mudah. Tinggal di Eropa mempertajam keahlian spasial mereka, cukup melihat Google Map dan semua permasalahan selesai. Papan nama kafe Berthillon ini menggunakan kayu dengan cat tulisan berwarna emas. Ketika mencari alamat kafe ini di internet, mereka melihat foto-foto yang dipajang oleh orang-orang yang pernah berbelanja di sana, sebagian besar menunjukkan antrian yang sangat panjang mengular di tepi jalan. Mereka sangat bersyukur ketika sampai di sana keadaan tidak seheboh yang ditampilkan internet, dan sukses membeli es krim rasa hazelnut dan rasberi untuk diri masing-masing.
         Pont Saint-Louis adalah jembatan besar penghubung kedua pulau kecil alami yang ada di Seine. Dikarenakan tidak ada jalur metro yang masuk di Île Saint-Louis, mereka harus kembali ke Île de La Cité untuk menemukan metro terdekat. Jika berjalan terus dari ujung akhir Pont Saint-Louis menuju arah barat, mereka akan sampai di katedral besar yang menjadi latar belakang kisah cinta tragis Esmeralda dan Quasimodo : Notre-Dame de Paris. Saat Elia dan Zefanya telah mencapai ujung barat jembatan, langit yang membentang di hadapan mereka telah mulai merona jingga kemerahan.
         “Très belle, comme d’habitude,” desah Zefanya dengan mata penuh kerinduan. “Di saat-saat seperti ini aku selalu gak pernah bawa kamera.”
         “Mau pakai kameraku ndak?” Elia menawarkan.
         “Enggak usah dulu deh. Nanti sudah mau dekat Notre-Dame aja, sekalian blue hour.”
      Mereka lanjut berjalan di jalur pejalan kaki bersama turis-turis yang entah seberapa banyak jumlahnya. Di sungai Seine di sisi kiri bawah, bateau mouche tidak henti-hentinya berlayar membawa rombongan turis. Quartier Saint-Michel Notre-Dame ini memang salah satu quartier yang padat disesaki turis. Tidak akan heran jikalau akan ada saja orang yang meminta bantuanmu untuk memotret saat kau berdiri diam di satu lokasi wisata terlalu lama.
         “Kapan rencana pulang?”
         Elia tidak segera menyahut. “Barangkali akhir Juli. Masih belum pasti, ijazah kelar sekitar akhir Juni. Dengar-dengar gosip dari anak beasiswa yang lain di PPI, ngurus tiket kepulangan juga prosedurnya agak panjang dan merepotkan. Harus dapat surat kelulusan dulu dari kampus, ijazah, setelah itu kita minta surat keterangan dari KBRI.”
         “Bentar, buat apa kita minta surat keterangan ke KBRI?” potong Ze, panik. “Surat dari kampus itu wajar, tapi KBRI? Apa hubungan KBRI dengan kelulusan kita?”
         “Sepertinya penyandang dana beasiswa kita memang meminta prosedur itu,” tandas Elia. “Kamu tahulah. Nah, setelah itu, setelah kita dapat surat dari KBRI baru kita bisa mengajukan surat permohonan tiket kepulangan kita ke Indonesia.“
     Elia membuatnya terdengar sangat mudah, padahal kenyataannya proses mendapatkan tiket kepulangan berdasarkan gosip dari senior-senior terdahulu itu terkadang agak dipersulit. Intinya, semuanya tergantung nasibmu. Zefanya menghela napas berat.
         “Untung aku dapat warisan printer dengan scanner. Ngebayangin repotnya nge-print di luaran sama scan pasti mahal banget.”
         Elia tertawa, “Untung kantorku murah hati, aku dikasih untuk print kertas sesuka hati. Sudah gitu tintanya juga gratis lagi, ah… ba-ha-gi-a.”
         “Jangan pulang duluan laaah. Sekalian sama aku aja.”
         “Nunggu kamu selesai ujian? Alamak, lama amat Oktober!”
         “Teganyaaaa, padahal visamu masih bisa sampai September,” keluh Ze, bermanja-manja.
      “YAKALIK, nanti mau tinggal di mana awak sampai September? Akhir bulan ini aja udah mau pindah ke apartemenmu, terus kamu musti keluar dari apartemen akhir September. Mau ke mana kita? Jadi SDF?! Zefanya, Zefanya...” Elia menggeleng-gelengkan kepalanya, dramatis.
         Malah karena mendengar omelan Elia barusan, tawa Zefanya justru tersembur.
       “Laaah, dianya ketawa,“ rutuk Elia, setengah tidak percaya, setengah geli, sengaja menggunakan logat Jawa. “Serius iki awak bicara.”
         “Nasib anak beasiswa, begitu kontrak kelar langsung ditendang keluar,” dia makin terbahak-bahak.
        “Pikirinlah dirimu, Nak,“ Elia menambahkan. “Aku sih baik-baik aja sekarang soalnya bisa numpang di kamu. Nah ntaran kamu mau numpang di mana? Temenmu yang orang Prancis itu bisa?”
         “Auré maksudmu? Dia liburan ke Indonesia,” sahutnya santai.
         “Loh? Terus kamu piye dong? Temen laen ada nggak?” di titik ini Elia mulai merasa khawatir, mulai mengingat-ingat anggota PPI Paris yang barangkali bisa Zefanya hubungi jikalau memang tidak ada pilihan lain untuk menumpang. “Mana si Dewi bulan Agustus nanti juga pulang ke Indonesia... Apa sama uni Deni?”
         “Bisa diatur atuh, Teteh,“ kata Ze dengan nada menenangkan, “aku sudah bicara sama seniorku di kantor UNESCO, mbak Shieni. Kayaknya aku bisa numpang tinggal di apartemennya nanti. Si mbak juga sudah mengiyakan. Aman.”
      Sepanjang mengobrolkan soal beasiswa dan kelanjutannya, mereka telah tiba di Pont de l’Archevêché, penghubung Île de la Cité dengan Quartier Saint Michel. Seperti Pont des Arts, pada kedua dinding jembatan ini pun turut rapat digantungi kunci atau gembok beraneka ragam ukuran dan warna. Mitosnya pun sama, dengan menautkan gembok bertuliskan nama sepasang kekasih selamanya cinta mereka akan abadi. Menurut cerita yang didengar Elia dari temannya, jembatan cinta legendaris yang asli adalah Pont des Arts. Akan tetapi, konon katanya, karena orang-orang kekurangan tempat untuk menggantungkan gemboknya, maka akhirnya di jembatan satu ini juga mulai digunakan sebagai tempat pemasangan gembok cinta. Asalkan jembatan, pokoknya langsung diberdayakan!
         Kedua gadis ini berhenti. Elia kemudian mengeluarkan kameranya, sementara Zefanya bersandar ke dinding jembatan. Katedral Notre-Dame de Paris berdiri menjulang di sisi barat laut jembatan dilatari langit yang sudah berubah warna kebiruan, menyisakan sedikit awan tipis transparan berwarna merah jambu keunguan di ufuk. Lampu-lampu di tepi jalan dan sungai telah menyala.


         Blue hour yang sempurna, batin Elia, waktunya untuk diabadikan.
      “Do you miss home?” Zefanya bertanya di tengah-tengah kegiatan Elia menyesuaikan bukaan diafragma, kecepatan, dan ISO kamera.
         “Maksudmu rumah? Atau Indonesia?”
         “Hmm... keduanya?“ sahut Ze ragu-ragu.
      “Kenapa kamu, Non?” balas Elia, mulai memotret pemandangan cantik di depannya. “Tiba-tiba nanyain kangen rumah, kangen Indonesia. Korslet?”
     Ze memilih membisu. Elia melanjutkan memotret. Seliweran turis-turis di sekeliling membantu mengisi keheningan yang tumbuh.
      Lebih muda dua tahun dari Elia, Janneke Zefanya Gita Rorimpandey, lahir dan besar di Bali; berkeras bahwa meskipun setengah darah leluhurnya berasal dari Denpasar dan Manado, lebih suka disebut anak Indonesia daripada harus memilih asalnya dari Bali atau dari Sulawesi Utara. Salah satu dari sedikit teman suka duka Elia selama di Prancis yang doyan sekali makan kebab dan mudah terbawa perasaan alias baper. Contoh nyata tipe ambivert, di sebagian besar waktu lebih sulit ditebak isi kepalanya apa dan seakan-akan mudah baginya untuk menerka tanpa bersusah-susah apa isi hati orang lain. Kebiasaan buruknya yang sangat disebalkan Elia: terlalu banyak berpikir dan berasumsi sehingga kadang jadi lambat mengambil keputusan.
         “Ono opo tho, nduk?” ulang Elia, menggantungkan kameranya di leher, mencoba sekali lagi. Mungkin sedang baper, batinnya sangsi.
        Ze mengigit bibir. “Yah, enggak ngerti juga sih aku. Cuma aku tiba-tiba kepikiran aja. Setelah pulang nanti mau apa di Indonesia.“
         “Kerja lah. Kamu udah ambil master gini, jadi dosen toh?”
      “Dosen? Huh,“ gumamnya, sedikit lesu. Ekspresinya menyiratkan keengganan, “Itu mah kamu. Begitu pulang, karir sudah pasti bakalan jadi dosen. Atau paling nggak, peneliti. Bisa berlayar ke sana-sini untuk ngumpulin data lapangan.”
    “Cieee, anak muda galau soal karir,” Elia menggodanya, kembali mengambil kameranya untuk memotret. Untuk saat ini dia merasa temannya akan lebih nyaman bercerita jikalau dirinya tidak sengaja memfokuskan perhatian seutuhnya, memandang langsung ke mata contohnya.
     “Shit, sial,” balas Zefanya, nyengir. “Sungguhan nih awak. Ngerasain nggak sih, kayak baru mulai kerasan di sini, banyak yang rasanya masih bisa digali¾
        “Masalahnya,” potong Elia, belum usai memotret, “ini momen kebebasanmu. Pertama kalinya kamu bisa bebas bertindak sendiri, tahu semua konsekuensi pilihanmu, hidup dengan pilihan-pilihanmu. Aku ngerti, makanya kamu gak mau pulang,“ diturunkannya kameranya lalu ia menoleh pada Zefanya, “Bener kan?”
         Air muka Zefanya berubah masam. “Kayaknya gitu.”
         “Lantas habis ini kamu maunya apa?”
         Tidak dijawab.
         “Cari beasiswa lagi gih.”
        “Buat apa? Lanjut kuliah doktor? Thesis beres aja belom. Ngebayangin kuliah lagi, baru ngebayangin aja udah eneg.”
     “Kan usul,” sahut Elia, kalem. “Anak muda dengan segala permasalahan hidup. Menurutku sih,” lanjutnya, “kalau keputusan itu nggak diambil, kita gak bakalan tahu itu salah atau enggak. Kalau pun akhirnya ternyata salah, ya wajar. Ya gimana, apa boleh buat. Terima kesalahan itu, introspeksi, kemudian move on. Tugas manusia kan gitu, belajar untuk bertumbuh ke arah positif dalam hidup.“
         Zefanya terkekeh, iseng dia berkata, “Curcol ya?”
         “Sempet aja nyamber-nyamber ke Alva,“ komentarnya cuek.
         “Aku uda boleh bilang namanya nih?”
         Gantian Elia yang tidak menjawab.
         “Aku malas pulang.”
         “Sama.”
         “Nginep di apartemenku yok. Cointreau.“
         “Ada Sprite ndak?”
         “Kagak ada.”
         “Yaaah, lambungku… Gak apa-apa dah, bersihin cacing-cacing di perut.”
         Dan berakhirlah aktivitas memotret senja malam itu, pembicaraan mengenai karir masa depan yang belum tercerahkan sama sekali, ditutup dengan persetujuan minum alkohol bersama. Zefanya menunggui Elia mengemasi kameranya kembali ke dalam tas sembari memperhatikan deretan gembok-gembok yang ada di balik punggungnya. Berapa pasangan yang sudah memasang di sini namun kandas di kehidupan nyata?
    “Mereka yang putus,“ Ze menyuarakan isi pikirannya, “kira-kira kepikirannya enggak ya, untuk melepas gembok yang mereka pasang di sini?”
        Hanya ada respon berupa gelengan kepala tak setuju dari Elia.
     Ingatannya terbang ke masa-masa di mana ia hampir mengaitkan gembok di sana bersama Alva. Jikalau dibayangkan sekarang, seandainya memang mitos itu benar... seandainya waktu itu dia mau memasangnya, apakah keadaan akan jadi berbeda?
        Sejak kapan dia jadi percaya mitos?!
       Disingkirkannya bayangan tersebut dari kepalanya. Apa gunanya berandai-andai di atas permasalahan yang sudah lewat? Tidak relevan. Sama sekali tidak. Tidak ada penyesalan sama sekali, semua sudah selesai.
         Kedua gadis itu melangkah meninggalkan jembatan menuju arah metro Saint Michel, menyeberangi Quai de Montebello bersama ratusan turis yang lalu-lalang. Deretan toko-toko pengrajin dan suvenir berderet-deret, berdampingan dengan bermacam-macam kafe, bistrot, dan restoran di sepanjang jalan. Turis-turis juga turut memenuhi kursi-kursi yang ada di depan kafe, bersantai menyesap secangkir kopi, teh, atau minum bir sambil menikmati pemandangan malam yang memesona terhampar di depan mereka. Pelayan dengan setelan resmi bolak-balik masuk dan keluar, membawakan pesanan para tamu; bonsoir, s’il vous plait, dan merci terdengar dari mana-mana, bersahutan. Setelah melewati Lapangan René Viviani, mereka berbelok, mengambil arah Rue de la Bucherie, melewati toko buku Shakespeare & Company. Memutuskan untuk memotong jalan, mereka memilih memasuki Rue de la Huchette agar lebih cepat mencapai stasiun metro Saint Michel. Menyelip-nyelip di antara lautan wisatawan, segera saja bau beraneka ragam masakan masuk di indera penciuman mereka.
        “Jujur aja, aku laper lagi,“ kata Ze, tak jauh dari tempat mereka berjalan, restoran makanan Yunani yang papan kayunya dicat biru bersinar begitu terang di antara tempat makan maupun pub yang lain. Matanya tertuju pada daging kebab yang berputar sangat pelan ditiangnya, terjaga agar suhunya tetap panas dan matang.
     “MASIH MAU MAKAN LAGI? YANG BENER AJA, PERUTMU ISINYA BLACK HOLE ATAU APA?!”
       Dua puluh menit kemudian, sembari menanti kedatangan kereta di belakang garis kuning di stasiun metro bawah tanah Saint Michel, Elia dan Zefanya berdiri tak berjauhan di bawah papan bertuliskan Montrouge; di lengan kiri Ze tergantung tas plastik putih kecil yang dari dalamnya meliuk keluar uap tipis sewarna susu.
        “Kapasitas perutmu memang luar biasa mengagumkan,” gerutu Elia.
        “Gak usah iri begitu.”
        Keduanya saling menyeringai mengejek, lalu tertawa kecil.
       Kereta yang mereka tunggu tiba. Waktu telah menunjukkan lebih dari pukul setengah sebelas malam, namun situasi belumlah menjadi sepi-sepi amat. Begitu arus penumpang dari dalam kereta habis, mereka cepat-cepat masuk ke dalam, bersamaan dengan bunyi alarm yang menandakan pintu akan segera ditutup oleh masinis. Karena akan turun di stasiun Montparnasse Bienvenue untuk berganti metro, keduanya tidak duduk di kursi bagian dalam, melainkan memutuskan untuk duduk di bangku lipat yang ada di samping pintu.
         “Ngomong-ngomong soal pulang ke Indonesia,” cetus Ze sedikit keras, dalam upayanya menghalau suara mesin kereta. “Al¾Loki bilang dia bakal pulang awal Juli.“
         Mata Elia berkedip. Pelan dan bimbang.
         “Kamu enggak tahu?”
         “Menurut ngana? Mana mungkin awak tahu, Ze.”
         “Oh, ya¾bisa aja kamu dengar dari Genta, kan kemarin kalian ketemu?”
         Elia mengangkat bahu. “Perhatianku terpusat ke ujian, seratus persen, Non. Genta juga kayaknya pilih-pilih situasi mau kasih tahu berita macam begini. Ya bukan berarti aku perlu tahu juga sih...”
         Zefanya sontak merasa bersalah, keceriaan Elia merosot cepat dengan sangat jelas. Akan tetapi dia tidak yakin apa yang harus dia katakan. Atau barangkali apa yang mau Elia dengarkan. Atau apa yang Elia ingin dia katakan padanya.
         “Menurutmu,“ bisiknya lirih, “kalau aku pingin ketemu dia lagi sekali aja, dia mau nggak?”
       “Menurutku mestinya pertanyaanmu jangan gitu, kalau kamu tanya dia mau apa enggak, aku yakin dia sepenuh hati mau tapi logikanya menolak. Sama aja artinya dia gak bakal mau ketemu. Masih ingat kan, dia bilang iya waktu kamu ajak dia nonton bareng sama kita ramai-ramai tapi ending-nya enggak nongol?”
      Kereta berhenti di stasiun Odéon. Obrolan terhenti sejenak. Prosesi keluar-masuk penumpang terjadi. Tidak banyak yang naik, jadi keduanya tidak perlu berdiri dari kursi lipat mereka.
         “Ya ingat lah, itu perasaan terkhianatinya terlalu parah. Masih mending dia sekalian bilang gak usah dateng, daripada jadi PHP.”
         Ze mendengus geli, “Posisinya serba salah. Dia tahu kamu bakalan bad mood kalau dia directly bilang gak mau datang, terus ekspresimu bakal jadi sendu dan galau. Semua orang bakalan jadi ngerasa gak enak walaupun kamu tidak bermaksud untuk bikin suasana jadi kelam. Menurutku sih, dia milih kamu marah sama dia daripada galau berkepanjangan.“
         Biasanya Elia akan menyahut dengan nada sarkas, tapi kali ini tidak.
         “Are you trying to make him look good?”
      “Nope, ma belle, you know I like observing. I simply observed both of your actions, and those lead me to this conclusion.”
        “Merde-toi, Alva.”
        “You love him too much.”
        “I used to.”
        “Sorry, wrong tenses.”
        Pemberhentian berikutnya adalah Saint Germain des Près. Masih duduk di posisi yang sama, tidak berpindah.
         “Menurutmu begitu?”
         “Apanya?”
      Elia menarik napas berat. “Dia masih mempertimbangkan perasaanku? Dalam arti yang tadi, daripada aku sedih, lebih baik marah.”
         Zefanya memilah-milah kata-kata yang akan diucapkan, agar tidak terkesan memihak dan berlogika. Dan utamanya, tidak terkesan memberi harapan. “Itu hasil pengamatanku. Bisa jadi di dalam kepalanya, itu adalah tindakan murni pertahanan diri. Lebih baik enggak usah ketemu kamu, takutnya kalau ketemu perasaan lama kebawa terus malah ndak bisa move on.
         “Aku yakin tipe orang macam-macam,” lanjutnya, “untuk dia barangkali lebih baik putus hubungan total. Menghilang. Lebih baik begitu.”
         Kebisuan Elia diisi oleh bunyi roda-roda kereta yang bergaung di lorong bawah tanah.
         “Cuma menurutku lagi,“ imbuh Zefanya lebih tegas, “kalau memang buatmu akan lebih melegakan dan rela untuk move on setelah ketemu dia sekali lagi, aku mendukung.”
         “It’s been months since our breakup,“ Elia berujar getir, “masa iya dia belum move on?”
         “Memangnya kamu udah?” tangkis Ze.
         “Paling enggak reaksiku gak lebay waktu ndak sengaja ketemu, enggak pakai acara menghindar.“
        “Dia belum siap waktu itu, El, kalian baru putus dua minggu dipaksa ketemu. Ingat kan Genta cerita apa? Lagipula ingat isi beberapa status facebook-nya, kan pesan berkode semua itu. Buat kamu, siapa lagi memangnya kalau bukan kamu?”
         Keduanya mengembuskan napas. Satunya karena kesal, satunya lagi karena agak lelah.
         Ze berkata jujur, “Kalian mestinya gak usah jadian. Sudah tahu ujungnya gak bisa sama-sama.”
         Elia tidak berkomentar.
         “Sudah sama-sama lebay, sama-sama susah move on pula. Aduh, Ratu Betara,” keluhnya setengah pilu. “Untuk tipe manusia kayak dia, lebih baik memang gak usah ketemu lagi.” Kemudian Ze berdecak, “sudah berapa kali aku mengulang kalimat ini.”
     Pintu kereta terbuka, beberapa penumpang ke luar, beberapa masuk. Kereta melanjutkan perjalanannya setelah alaram berbunyi nyaring dan pintu menutup.
         “I might not be able to see him again, Ze, at least once before he flies home.“
         Zefanya memperhatikan roman wajah Elia saat mengucapkan kalimat tadi. Cinta yang masih tersisa, keras kepala dan rasa peduli yang berimbang. Langkah terakhir yang dia butuhkan agar mampu menapaki jalan baru, memastikan semua selesai tanpa dendam amarah. Keegoisan terakhir yang diharapkannya dikabulkan Tuhan.
         “Barangkali jangan berharap kalian bisa ketemu, Elia,“ ujar Ze tawar, “kadang-kadang kita terlalu berharap lantas jadi kecewa. Kadang-kadang terlalu berharap malah enggak kesampaian. Biarkan sajalah, siapa tahu kalian malah papasan gak sengaja di jalan, macam yang sering terjadi di film-film.”
         Kali ini giliran Elia yang mendengus, menempelkan kepalanya di jendela metro. Dia merasa sudah terlalu banyak mengungkapkan bagaimana sesungguhnya isi hatinya.
         Sudah cukup, batinnya.

***

         Metro 10 memang tidak seramai dan sepadat metro 6. Seramai-ramainya pun, Elia tidak pernah merasa sampai sesak tergencet di antara kumpulan lautan manusia, seperti yang sering dialaminya jika bepergian dengan metro 6. Sensasi tergencet di antara campuran manusia dengan berbagai latar belakang kebangsaan berbeda itu luar biasa. Hal paling menyebalkan yang pernah dialaminya adalah ketika terimpit di antara tubuh-tubuh dengan bau spesial menguar, memenuhi satu kompartemen kereta ; bahkan dia tidak bisa mengidentifikasi bau asam, kecut, busuk, dan apak itu tercipta akibat mengonsumsi apa. Hampir satu jam lebih, bayangkan bahagianya rasa tersiksa itu. Untungnya sore itu, kondisi penumpang di dalam kompartemen yang dinaikinya di metro 10 jurusan Boulogne cukup aman dan kondusif. Ada beberapa turis dari Inggris (Elia mengenalinya tentu dari aksen bahasa Inggris-nya yang begitu kental), beberapa turis dari Cina, sisanya hanyalah penduduk lokal dan imigran yang terdiri dari campuran pekerja kantoran dan pelajar dari berbagai tingkatan antara SMA hingga universitas.
         Sembari tanpa sengaja menguping perdebatan satu keluarga turis dari Inggris, antara ingin turun di Cluny La Sorbonne atau Odéon, Elia mengetik sebuah pesan singkat di ponselnya untuk Ze karena sudah tiga puluh menit belakangan ini ia bolak-balik menanyakan sudah sampai di mana Elia sekarang.
         Ketikannya selesai. Elia melirik dari ujung matanya ke arah jam tangannya.
         Menggigit bibir.
         Sepertinya dia sudah dalam perjalanan ke bandara.
         Kekosongan itu entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja muncul.
         Ekspresinya memuram.

***

         “Sudah sampai di mana dia, Ze?” Troy bertanya seraya asyik memainkan melodi di gitarnya.
        “Katanya sih baru jalan dari kampus,” sahutnya, membaca pesan yang dikirimkan Elia. “Dia naik metro 10, palingan bakal turun di La Motte Piquet Grenelle trus jalan kaki ke sini.”
         “Kabarin aja kita tungguin dia di sisi mana Champ de Mars,” Tania menimpali, sibuk selfie dengan Menara Eiffel sebagai latarnya.
        Troy mulai memainkan melodi lagu Mirror dari Justin Timberlake, diikuti Ze yang bernyanyi dengan suara kecil. Tania kemudian iseng-iseng merekam mereka.
        “Eh, ngomong-ngomong,” Tania berkata, teringat, posisi tangan masih merekam, “si Loki bukannya balik ke Indonesia hari ini ya?”
         Tanpa berhenti bersenandung, Zefanya hanya manggut-manggut.
       “Kok kalian gak nganterin dia ke bandara? Bukannya dulu kalian dijemput sama dia di bandara waktu baru sampai Paris?” ujar Troy, lebih ke penasaran daripada menuduh.
         Ze memanyunkan bibir sementara Tania mengangkat bahu.
       “Yaaah, mau gimana lagi,” Tania berkata datar, menghentikkan rekamannya, “dianya menjauh begitu. Kita bisa bilang apa. Kita tahu dia bakalan pulang juga gara-gara obrolannya sama Iwan di wall Facebook tadi malam. Aku cuma bisa message bilang hati-hati di jalan aja.”
         “Lagian setelah dia keluar dari apartemen, dia tinggal di rumah Ibu Angga, di luar jalur metro/RER di wilayah selatan. Paling dia diantar mereka ke bandara dengan mobil. Kita mau antar ya gimana...” imbuh Zefanya.
         “Kok pahit gitu sih hubungan kalian jadinya?” decak Troy, heran.
         Zefanya dan Tania kompak menghela napas.
         “Tahu tuh. Dianya lebay.”

***

     Tangannya hanya tinggal memencet tombol hijau di ponselnya agar tersambung. Namun apalah dayanya. Apa juga yang ingin dia katakan? Dahi Elia mengernyit dalam.
        Dia duduk di salah satu kursi dekat jendela, terkoyak dengan keinginan dan ketakutan yang tak pasti. Berbagai nasihat yang diberikan Zefanya terulang-ulang terus di kepalanya, tapi hatinya memberontak.
         Alva akan pergi.
         Alva akan pulang.
         Meskipun Elia tahu Alva akan pulang ke kota yang sama dengannya tapi dia menerka bahwa itupun tidak akan mengubah apapun dalam hubungan mereka yang telah rusak. Pulang ke Indonesia pun tidak berarti akan bertemu. Setengah bagian hatinya meyakini bahwa ini adalah kali terakhir dia bisa berbicara dengan Alva. Dia tidak lagi berharap agar bertemu, sudah lama ia ketahui bahwa harapan itu semestinya dilupakan dan dihapus total.
    Waktu terus berjalan, kurang dari tiga stasiun lagi Elia akan sampai di tujuan. Dia tidak ingin menelepon atau menampilkan jejak apapun yang ada hubungannya dengan Alva di depan teman-temannya.
        Sekarang, atau tidak sama sekali.
     Terakhir kali mereka berbicara adalah di perpisahan kikuk yang diadakan oleh Genta, yang sudah pulang duluan ke Indonesia seminggu lalu di tanggal 4 Juli. Perpisahan itu diadakan Genta di apartemen Alva, entah apa pertimbangannya. Zefanya, Tania, dan Iwan tentu saja diundang ; formasi lengkap dari geng mereka yang dulu. Elia berupaya keras untuk bertingkah normal, sementara teman-temannya yang lain juga nampaknya bersikap senormalnya mereka biasanya. Tapi tentu tidak bisa dipungkiri, ada celah dan kerenggangan yang tercipta. Kaku dan kikuk yang diusahakan menjadi sesamar mungkin. Mereka tertawa-tawa, makan bersama masakan Alva dan Genta, bersulang meminum bir dan anggur lalu makan kue penutup. Tak lupa berfoto-foto sambilan merekam video kesan dan pesan. Semestinya itu menjadi momen yang penuh kenangan manis, tapi bagi Elia, yang tersisa baginya adalah jarak.
         Namun, apalah dayanya?
         Itu pilihannya. Keputusan mereka.
     Episode itu seharusnya sudah selesai, akan tetapi egonya belum bisa menerima. Dia ingin memberikan penutup yang pantas bagi kisahnya. Penutup yang dikiranya baik bagi dirinya.
       Memberanikan diri, dipencetnya tombol hijau itu, agar tersambung panggilannya pada si empunya nomor telepon: Gde Avaloki.
         Jantungnya mulai berdegup keras di luar kendalinya.
         Tuuut.
        Apa yang harus dikatakannya? Haruskah dia menanyakan kabar dulu sebagai pembuka pembicaraan?
         Tuuut.
         Setelah itu mau bilang apa? Pura-pura tidak tahu kapan dia pulang?
         Tuuut.
         Bodoh, itu terlalu kelihatan jelas.
         Tuuut.
       Jujur sajalah sudah, katakan langsung untuk berhati-hati di jalan. Sekalian pesan sampai jumpa di Indonesia mungk¾
         Le numéro d’appel que vous avez demandé n’est pas accessible.
         Segera Elia memutuskan sambungan teleponnya.
         Terdiam.
         Pikirannya yang semula panik dikejar rasa gelisah, mendadak berubah senyap.
         Matanya ia alihkan ke luar, memandang gelapnya lorong kereta bawah tanah Paris. Dindingnya yang dipenuhi coretan-coretan graffiti. Kekacauan. Berantakan.
         Merasa kesal sekaligus bodoh.
     Nasihat orang bijak memang sebaiknya selalu didengarkan. Ditariknya napas dalam-dalam, agar ketenangannya kembali. Memejamkan matanya sejenak, meluruskan keningnya yang berlipat. Berusaha menepis emosi negatif yang pelan-pelan naik menggerogoti isi kepalanya.
         Papan nama stasiun tujuannya muncul begitu keluar dari lorong. Kereta mulai melambat.
     Excusez-moi, pardon,” ujarnya, berdiri lalu berjalan menuju pintu. Menunggu pintu terbuka di belakang beberapa orang yang sudah terlebih dahulu mengantri di depannya.
     Dia berjalan pelan-pelan, tanpa memakai headset, walaupun jarak tempuh dari stasiunnya menuju Champ de Mars bisa memakan waktu yang agak lama. Hanya mengamati orang-orang yang berjalan lalu-lalang di sekelilingnya, sengaja menjauhkan pikiran mengenai telepon yang tadi. Apakah itu tersambung lalu kemudian diputus atau memang sudah sedari awal akan dialihkan, dia tidak mau menebak-nebak.
      Langit musim panas yang begitu cerah tak berawan diamatinya. Rasanya dia jarang sekali melihat pesawat terbang komersil terbang melintasi langit ibu kota, kalaupun ada pesawat, biasanya itu pesawat militer yang sedang latihan terbang, meninggalkan jejak berupa asap putih meliuk-liuk.
         Mungkin dia sudah di dalam pesawat.
      Tanpa disadarinya, ia berdeham. Tangannya kembali meraih ponsel yang ada di sakunya sembari menunggu lampu penanda menyeberang jalan berubah hijau. Membuka facebook messenger.
         Orang-orang di sampingnya mulai berjalan, dia pun turut menyeberang.
         Berjalan dengan tenang, mengetik-ngetik sesuatu.
       Menara Eiffel sudah muncul di hadapannya, seraya membetulkan letak kacamatanya, dia mencari tempat yang tadi sudah dideskripsikan Zefanya melalui SMS; dan ternyata tidaklah sulit menemukannya. Deskripsi Ze selalu jelas dan akurat.


         “Eliaaaaaaa.”
         Didengarnya suara Tania memanggilnya. Elia melambaikan tangannya pada ketiga temannya yang sudah duduk manis menanti bersama kamera, tripod, dan gitar.
        “Désolée, désolée,“ kata Elia sembari berjalan mendekat, memasang cengiran yang dianggapnya mampu memaafkan rasa kesal, “Lama ya nungguin?”
         “Ah, santai aja, Teh,” Troy menyahut. “Ini nontonin Tania ngelawak daritadi, jadinya nggak bosen.”
     “Enak aja, ngelawak apanya,” Tania menukas, memukul ringan lengan Troy sementara Zefanya terbahak-bahak.
         Begitu bertemu dengan ketiga temannya yang gila ini, perasaan senang muncul di hatinya. Interaksi konyol ketiganya ini membantu mengembalikan mood-nya yang sempat tak keruan. Syukurlah mereka berjanji untuk keluar ngamen di Champ de Mars hari ini.
         “Gimana, sudah siap ngamen kita hari ini?” Troy bertanya, sesi pukul-pukulan Tania padanya sudah selesai dan Elia telah turut serta duduk di atas rerumputan lapangan.
         Zefanya nyengir gugup, memandang sekeliling lapangan yang penuh sesak. Bukan bercanda. Champ de Mars, tanah lapang terbuka yang ada di sisi tenggara Menara Eiffel ini begitu ramai di malam musim panas ini. Orang-orang piknik, bersantai, minum-minum, jalan-jalan, berolahraga, semuanya lengkap. Bahkan pedagang asongan yang menjual bir keliling turut meramaikan suasana dengan teriakan-teriakan mereka. Jangan lupa juga rombongan turis-turis yang tidak henti-hentinya berfoto dengan Menara Eiffel sebagai latarnya, dengan rupa-rupa pose yang mereka sukai.
       “Aku gak ikutan nyanyi deh,” kata Tania, mencoba melarikan diri, “Aku jadi kameramen aja, suaraku jelek, jangan dah aku ikutan. ”
         “Mana suaramu jelek, bohong sekali!” Zefanya memprotes keras. “Kita kan sudah sepakat nih, mau bikin kenang-kenangan!”
         “Iya, Tan,” Troy menyetujui, “kapan lagi kita bisa balik ke Paris sama-sama kayak gini? Kita harus bikin video ngamen ini. Percaya deh sama aku, nanti di masa depan kita bakalan kangen trus ketawa-ketawa pas nonton videonya.”
         “Ayolah, Tan, kita kan mau duet lagu Bendera nanti, gimana sih,” kata Elia, menyemangati.
         “Aduuuh,“ Tania mengacak-acak rambutnya sendiri, nampak enggan sekaligus malu dan tidak siap, “kalian duluan deh. Yang ada akunya nanti aja.”
         “Ya sudah,” Troy tertawa. “Kita duluan deh, El.”
         “Duduk menghadap mana nih?” Zefanya mulai memposisikan letak kedua kamera DSLR mereka. “Eiffel di belakang kalian, jadi?”
         “Iya dong,” kata Troy, mantap. Dia bergeser sedikit memberi ruang agar Elia duduk di sampingnya. “Nggak backlight kan?”


           
         Zefanya memperhatikan layar kameranya, mengatur sedikit bukaan diafragma, lalu mengacungkan jempol. “Ready anytime.”     
     Selagi menunggu, Elia termenung. Menatapi langit. Bertanya-tanya dalam hati, apakah pesan singkatnya itu sudah sampai? Sudahkah dibaca?
         “Udah siap, Teh?” tanya Troy, memastikan, menggenjreng gitarnya. “Segini oke? Ketinggian nada?”
         “Aaaa. Ehm, aaaa,“ sahutnya, menyesuaikan. “Coba turunin setengah.”
         Genjrengan gitar lagi.
         “Aaaa. Oke, sudah pas. Siap.“
      Betul, waktunya hanya tersisa sedikit di Kota Cahaya ini. Lebih baik dimanfaatkannya untuk membuat kenangan indah, daripada membiarkan diri tersiksa dengan harapan-harapan kosong. Adakah yang masih tertinggal dan tersisa di dirinya tentang Alva?
         Tentunya ada.
         Perasaan yang hanya bisa dialami.
         Tidak bisa diekspresikan. Tidak bisa digambarkan. Tidak bisa dijelaskan.
      Hanya merasakan, serupa bara mungil yang membakar, menghangatkan hati, mencegahnya membeku... dan mati.
      Biarkanlah perasaan itu ia tinggalkan di kota ini. Semua memori di tempat-tempat yang penuh kenangan. Kebahagiannya yang singkat. Perpisahannya, kepergiannya tanpa kata-kata. Barangkali memang itu jalan keluar terbaik dari episode kehidupannya di bagian ini. Akhir yang tepat.
         Petikan melodi gitar Troy dimulai. Zefanya sudah siap dengan kameranya, Tania senyum-senyum di sisi lain dengan kamera sakunya, memotret semua proses di balik layar yang terjadi. Beberapa orang yang melewati mereka memperhatikan sembari menunjuk-nunjuk. Elia menarik napas.
         “I’m only happy when I’m with you.
         Home for me is where you are.
         I try to smile and push on through.
         But home for me is where you are.
         They tell me that I’ll make it,
         It’ll only be a while.
         But a while lasts forever without you...”

***

         Punggungnya sedikit melengkung akibat beban berat yang tersampir di bahunya, sembari mencari tempat duduk kosong di ruang tunggu masuk pesawat, ia mengecek ponselnya. Pesawatnya lepas landas masih dua jam lagi, namun sebaiknya tentu saja menunggu lebih lama di bandara daripada harus terlambat. Belum lagi proses pemeriksaan yang cukup rumit di gerbang, sepatunya pun harus ia lepaskan, laptop dan ponsel dikeluarkan dari dalam tas, begitu pula dengan ikat pinggang. Setidaknya sekarang dia sudah bisa duduk tenang menunggu keberangkatan.
     Didapatinya sebuah tempat duduk kosong dekat dengan colokan listrik. Menghempaskan berat tubuhnya di kursi dan tas punggungnya di lantai, Alva kemudian membuka facebook messenger.
         Satu di antara belasan pesan yang masuk menyita perhatiannya.
         Dihelanya napas. Hanya sederetan kalimat itu saja, tapi emosinya masih juga teraduk.
         Gadis berisik itu yang menghantuinya sampai detik pesannya dibaca. Di pertemuan terakhir mereka pun, upayanya yang sangat payah dalam menjauhinya sekaligus bersikap normal terlalu terlihat jelas. Gesturnya. Caranya menatapnya diam-diam dari ekor mata. Melihatnya hadir nyata di depannya tanpa tawa cerianya, tanpa gurauannya...
         Dulu ia pernah berpikir bahwa seseorang tidak akan tahu apa yang ia rindukan sampai hal tersebut muncul di hadapannya, menyadarkannya. Namun, ketiadaan Elia... hanya dengan ketiadaannya saja sudah membuatnya merindu. Merindu sampai terasa sakit.
         Apa yang tertinggal dan tersisa di dalam hati yang merindu dan mencinta hingga sedemikian dalam?
         Alva memejamkan matanya. Mencari-cari dan menjangkau ke dalam hatinya, mencari jawaban.
         Putain,” makinya sendu.
         Kemudian, iapun sekonyong-konyong mulai mengetikkan pesan balasan.

***

         Mata Elia terus menatap langit, menyanyikan baris-baris terakhir dari lagunya.
         “Take me home...
         Take me home, to your arms...”
         Petikan not-not akhir gitar selesai, Zefanya lantas menyudahi rekaman di kamera. “Woooo, keren banget El, kak Troy apalagi gitarnya mantep mempesona!”
         Bunyi ping keras khas pesan dari facebook messenger membahana.
         “Astaga, untung dia ndak bunyi pas waktu kalian masih nyanyi,” komentar Tania, agak terkejut.
         “Iya ya, aku lupa matiin,” Elia terkekeh kecil.
         Dibukanya pesan tersebut. Nama yang tak disangkanya terpampang. Deretan-deretan kalimat cukup panjang di luar dugaannya. Ada senyum sedih yang terbentuk di bibirnya.
         “Kenapa, El? Siapa kirim pesan, kok tampangmu gitu?” ceplos Zefanya.
         Elia mengunci layar ponselnya lalu mengembalikannya kembali ke dalam tas. “Bukan siapa-siapa.”
        
***







Erinda Moniaga
April 26th 2017
A lost and found manuscript, I’m glad I can make this to an end.
To be continued to L’automne.



        
        


Daftar terjemahan kata-kata dalam percakapan.

1. Tu es où? = Kamu di mana?
2. Enchantéé = Senang berkenalan denganmu, Bahasa Prancis.
3. Alors = Jadi, Bahasa Prancis.
4. Quoi = Apa, Bahasa Prancis.
5. Rien = Bukan apa-apa atau tidak ada apa-apa, Bahasa Prancis.
6. Si tu veux pas nous dire = Kalau kamu tidak mau bilang ke kita, Bahasa Prancis.
7. Pas de problème = Bukan masalah, Bahasa Prancis.
8. Félicitations = Selamat, Bahasa Prancis.
9. Merci = Terima kasih, Bahasa Prancis.
10. Bli = Sebutan untuk kakak atau laki-laki yang lebih tua dalam Bahasa Bali.
11. Très belle, comme d'habitude = Sangat cantik, seperti biasa, Bahasa Prancis.
12. SDF = Sans domicile fixe, orang-orang tanpa tempat tinggal tetap alias gelandangan, Bahasa Prancis.
13. Bonsoir = Selamat malam, bahasa Prancis.
14. S'il vous plait = Silakan/tolong, Bahasa Prancis.
15. Ma belle = Saudariku, Bahasa slang Prancis. Terjemahan harafiah: Cantikku. Padanan terjemahan gaul yang lain: Sis.
16. Merde-toi = Taik kamu, bahasa Prancis.
17. Ratu Betara = Tuhan, Bahasa Bali.
18. Le numéro d'appel que vous avez demandé n'est pas accesible = Nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi, Bahasa Prancis.
19. Putain = Brengsek, Bahasa Prancis.