every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Wednesday, August 2, 2017

L'automne - l'infinité

Previously:
3. l'été  




      “Sir?”
      Alva melepas headset-nya, mengangkat wajahnya yang terfokus pada tabletnya, rumus-rumus kimia berderet-deret menyelingi barisan kalimat-kalimat yang begitu rapat; melihat itu kepala sang pramugari mendadak pening namun senyumnya yang professional tetap terpajang.
   “Yes, I would like the chicken, please,” jawabnya tenang, menggeser tabletnya ke pangkuannya, mengosongkan meja. “Ah, may I have a cup of coffee?
      “With milk and sugar, Sir?” tanya pramugari tersebut, menyorongkan nampan berisi makanan pesanan Alva.
      Digelengkannya kepalanya pelan sebagai jawaban. “Just give me another cup of water, please.”
   Pramugari berpindah pada barisan berikutnya sambil memberikan pertanyaan yang sama pada penumpang di belakangnya, sementara Alva menekuni nampannya, membuka tutup dan bungkus dari makanan dan peralatan makannya. Ia memperhatikan presentasi kentang tumbuk dengan potongan ayam panggang bersaus tomat sembari mengangkat bahu pasrah; setidaknya bisa dimakan walaupun tidak berasa enak-enak amat. Ia bisa memasak lebih enak dari ini.
      Dengan tangkas Alva menyantap makan malamnya sebelum memasuki fase tidur panjang di pesawat. Perjalanan sekian belas jam lintas benua menguras banyak energi kadang-kadang, padahal yang dilakukan hanya duduk, nonton, makan, tidur, bangun, makan lagi, tidur lagi, begitu seterusnya hingga mendarat. Bukti nyata tidak mengerjakan sesuatu yang produktif bisa jadi melelahkan. Kurang dari lima menit Alva sudah menyapu bersih semua makanan di piringnya dan mulai menyesap kopi dari gelasnya. Hangat.
      “Hey, are you traveling by yourself?
      Ada suara menyapa dari kursi seberang lorong. Seorang wanita muda berambut cokelat gelap panjang, dengan mata yang sangat cokelat, berbicara.
      “Yeah, I am,” kata Alva datar.
      “Are you a student of biochemistry?
    Alva menyeringai kecil, sadar aktivitasnya membaca diperhatikan oleh seorang asing “Yes, I am. Anything I can help?
      “No, I was just interested by the text that you read before. I don’t mean anything bad, I’ve just had a glimpse on the essay on your phone tablet, it looks very remarkable.”
      Ekspresi wajah orang asing ini cukup meyakinkan tanpa tendensi tertentu, tapi Alva sedang tidak ingin terlalu banyak mengobrol atau berdiskusi.
      “Really? It’s just a draft of a research.”
      “If I’m not mistaken, is it about¾
    “Excuse me, I need to go to the restroom, let’s continue our talk later,” potongnya tanpa tedeng aling-aling sembari melempar senyum. Dia berdiri begitu saja, nampannya sudah beres rapi tinggal diambil oleh petugas. Walaupun dia menggunakan toilet sebagai alasan, dia sendiri memang perlu buang air kecil. Belum mendesak sekali, jadi dia sengaja berlama-lama, membiarkan dua orang lain yang datang belakangan untuk masuk terlebih dahulu.
      Setelah urusannya selesai, dia mencuci tangannya lalu membasuh wajahnya. Memperhatikan raut wajahnya sesaat, lalu diambilnya tisu, mengelap mukanya, keluar, dan berjalan kembali ke kursinya dengan harapan bahwa gadis tadi secara ajaib sudah tertidur hingga tak menggerecokinya soal penelitian.
      Mejanya sudah bersih, selimutnya masih di tempatnya, begitu pula tabletnya yang ia letakkan di bawahnya. Kursi di sisi kirinya kosong sementara di kursi samping jendela seorang bapak kira-kira berusia akhir empat puluhan dengan kepala nyaris botak sedang berkonsentrasi menonton film. Wanita asing yang tadi, sembunyi-sembunyi diliriknya dari sudut mata, sedang asyik berbincang dengan ibu-ibu yang duduk di sisi kanannya. Penuh kelegaan Alva kembali duduk, memasang headset, dan meletakkan tabletnya kembali di meja, membuka dokumen penelitiannya.

      [The signal saturation beyond 10pM concentration may imply complete PPL coverage on the SWNCT network and possible steric hindrance effects that may prevent any additional absorption of PPL.]

      Alva berhenti mengetik. Badannya masih terasa segar tapi entah bagaimana selera menulisnya menghilang. Disimpannya dokumen tersebut sebelum kembali ke desktop. Matanya tertuju ke pojok kanan atas layarnya.
      Ada satu folder yang mengganggunya sedemikian rupa, dikirimkan Zefanya padanya di hari kepulangan gadis itu ke Indonesia. Secara teknis Zefanya tidak mengirimkannya khusus hanya untuk Alva, tapi firasatnya mengatakan ia tidak akan berepot-repot sampai mengirimkan dua surel hanya untuk memodifikasi tautan yang katanya salah dikirimkan di surel pertama. Yang benar saja.
      Toh meskipun begitu, folder tersebut dia unduh juga pada akhirnya, dibiarkan di tabletnya, terpampang jelas di pojok kanan layarnya, tak tersentuh akibat kesibukan dan kepadatan jadwal kegiatannya.
      Sampai hari ini.
      “Ya Tuhan, Zefanya, nama folder ini,” keluhnya, “apanya yang ‘from all of us to all of you’ sih.”
     Kecurigaannya terlalu besar. Zefanya seringkali bersikap seperti adik kecil kelewat usil, disebagian besar waktu malah Ze menjadikannya sebagai objek bercandaan, tapi kali ini dia meyakini ada sesuatu... sesuatu yang tidak ingin diketahuinya tersimpan di dalam sana.
      Alva terhenyak di kursinya, merasa kalah oleh rasa penasaran yang terlalu besar. Rasanya seperti akan membuka kotak Pandora. Perasaannya yang sebisa mungkin diaturnya agar setenang permukaan danau yang tak tersapu angin kini mulai bergolak.

      Badai itu lagi...

      Dikerjapkannya matanya, menghalau emosi berlebihan yang perlahan menyeret.
      Sambil menarik satu napas panjang, Alva membuka folder itu.
      Hanya ada satu dokumen di dalam sana, ditandai Ze dengan nama ‘Satu’. Alva curiga ini juga sengaja, tidak memberikan judul spesifik supaya dirinya tidak berprasangka berlebihan. Saking terbiasanya ia akan ulah Zefanya, beberapa hal jadi nampak terlalu meragukan dimatanya.
      Otomatis, tanpa banyak berpikir, Alva memilih untuk memencet layarnya pada dokumen tersebut. Jantungnya, di luar kendalinya, mulai berdegup cepat.
      Suara gitar akustik mengawali video itu, diikuti dengan kemunculan teks ‘a video dedicated to Bli Giant...’
      Alva terbahak. Teks itu dengan cepat berubah, ‘salah, to bli Putu Genta Indrayana^^’
      Kerjaan Ze, batin Alva, yakin seratus persen pasti Ze yang menyunting dan menyusun video ini. Ia teringat bahwa temannya itu sempat mengiriminya pesan berkali-kali meminta dikirimkan video berisi kesan dan pesan untuk Genta, yang tak digubrisnya sama sekali. Memang ia membalas, menyetujuinya dan meminta Ze untuk menunggu, tapi hingga batas waktu yang ditentukan Alva tak kunjung mengirimkan apapun. Ze sendiri sepertinya sudah kelewat kesal untuk meminta lagi. Melihat video ini, tahu-tahu saja Alva merasa bersalah.
      Kemudian sebaris nama muncul di layar berlatar ungu, ‘Aurelia Komala Koentjaraningrat said...’
      Tanpa disadari Alva menghitung berapa lama layar itu kosong melompong dan hanya menampilkan nama gadis itu saja. Tujuh detik. Tujuh detik yang singkat. Niat logika ingin menghentikan jalannya video itu, tapi tangannya diam saja, malah bisa dikatakan menantikan kemunculan wajahnya.
      “Halooo... Genta,” wajah seorang gadis berkacamata dengan rambut panjang berombak memenuhi layar tabletnya, matanya terlihat lelah namun cengirannya tidak lepas dari wajahnya, “selamat menempuh hidup baru¾hah? Selamat menempuh hidup baru?” ia tertawa kecil sebelum meneruskan, “Selamat melanjutkan kehidupan yang lama di Singapur... Trus... semoga masternya yang setelah mendapat gelar doktor,” mendengus heran, “bisa lancar. Setelah doktor baru master, mestinya kayak saya dong, master dulu baru doktor! Terus... semoga lancar masternya di Jepang... apalagi? Segera menikah... semoga sempet ketemu di NTU. Apalagi ya? Semoga sempet jalan-jalan bareng di Singapur. Tapi, tapi kayaknya nih, feel¾feeling saya, anda pergi, saya datang. Apalagi ya? Jangan lupain kita-kita, saya dan yang lain-lain. Zefanya, Tania, Alva, Iwan... siapa lagi? Dengan cerita-cerita, kisah-kisah, kegalauan yang nggak jelas dari kita masing-masing... Terus satu lagi, apa ya... Oh ya, makasi juga untuk semua ilmu¾sharing-sharing knowledge-nya. M-A-N-T-A-P B-G-T-lah,“ ia nyengir lebih lebar lagi seusai mengeja huruf-huruf itu, “serius. Terus makasi juga untuk semua masukan-masukannya selama kemarin pas mau sidang. Euh... anyway, kalau bukan karena elo dan juga Zefanya yang sempat menemani saya, mungkin saya sudah jadi jamur di dalam kamar, tidak mau bergerak, dan sibuk salto bolak-balik kasur,” Tania yang duduk di sebelah si gadis, nampak dari pantulan kaca, terlihat berusaha menahan ledakan tawanya. “Thanks so much elo juga udah ngingetin bahwa yang terpenting adalah gimana kita bersikap ke orang lain¾uhuk¾seperti apa¾uhuk, tuh kan jadi batuk,” dia memalingkan wajahnya, suara Tania mengisi diamnya si gadis yang sibuk mebersihkan tenggorokannya, “Nah kok jadi batuk?”
      Zefanya berbisik iseng, “Kok gak netes air mata sih, El? Netesin air mata dong, biar dramatis gitu kaaan.”
      Seraya pura-pura menutulkan ujung syal birunya pada ekor kelopak matanya, si gadis tertawa, “Belum...”
      “Hiks hiks hiks,” kata Ze dengan nada ekstrausil.
      “Eh, kita diliatin tau sama abang-abang di sebelah kita,” sela Tania sembari terkikik kecil.
      “Si abang juga pingin masuk kamera yak?” ujar Ze, menggeser lensa pada laki-laki yang duduk di sisi Elia, “nih, bli Genta, ada tambahan senyum manis dari si om-om. Cie cie cieeee. Trus gimana, El,” kembali dia memposisikan lensa pada objek semula, “sudah siap nangisnya blom?”
      “Belum sekarang, belum sekarang,” ketenangannya kembali, “Kayaknya gitu aja sih. Good luck di Jepang. Doain supaya kita semua sukses. Well, see you in the next opportunity. God bless you. Bye-bye.”
   Layar menghitam, diteruskan dengan kemunculan kata-kata ‘pidato Janneke Zefanya Gita Rorimpandey, mohon bertahan :p’.
      Tapi Alva tak mempedulikan juga mendengarkan.
      Alva, gadis itu menyebut namanya sekilas sambil lalu dengan paras yang sangat tenang.
     Sementara dirinya sendiri selama ini menghindari sepenuh hati untuk mengucapkan nama si gadis, bahkan saat mereka mau tidak mau terpaksa bertemu. Alva hanya menyebutnya dengan, “Eh,” diikuti dengan kalimat pertanyaan atau pernyataan yang ingin disampaikan. Tidak dihiraukannya bagaimana pendapat teman-temannya, disebut pengecut pun terserah, namun baginya ini adalah sistem pertahanan.
      Separo bagian dirinya membencinya.
      Sungguh benci.
    Perkataan gadis tersebut dulu padanya menutup semua kesempatan dan usaha yang diharapkannya masih tersisa; setidak-tidaknya bisa dia perjuangkan bagi mereka berdua. Jika memang tidak mungkin dan tidak ada usaha untuk meneruskan, apa yang harus dilakukannya? Tetap tertawa seperti biasa dan melanjutkan hubungan mereka sebagai teman biasa seolah tidak terjadi apa-apa?
      Alva tidak ingat pernah menangis lagi semenjak SD.
    Malam itu terlalu dingin dan terlalu gelap, tidak mau diingatnya lagi secara persis ke atom terkecil sekacau apa perasaannya, setolol apa ekspresinya ketika menyadari si gadis mengejarnya dari apartemennya hingga pintu masuk stasiun metro sampai terengah-engah cuma untuk memintanya tidak memutuskan hubungan pertemanan mereka. Putain quoi!
      Memintanya untuk tidak me-remove dirinya dari daftar teman Facebook? Sudah.
     Membalas SMS basa-basi mengajak berkumpul ramai-ramai yang dikirimkan sekalian di satu forum? Sudah.
    Sesinting apa orang itu berharap dirinya mau bertemu, bercakap-cakap normal seperti dulu sebelum semuanya menjadi berantakan? Bahkan mempertontonkan kesedihannya dengan menyanyi, memamerkan perasaannya? Apa yang dia harapkan sebetulnya, mereka akan kembali bersama? Gadis itu sendiri yang menutup jalan tersebut, demi Tuhan!
      Ingin rasanya Alva mengamuk. Genggaman jari-jarinya pada sisi tablet menegang. Tarikan napasnya mulai tidak teratur.

      Why do you have to make things so difficult?

      Just go already. Leave me.

      Alva yang sebelumnya begitu dingin dan tak terganggu ketika diajak bicara oleh tetangga duduknya yang elok jelita, kini merepih. Emosinya yang ditahan-tahannya dengan memusatkan perhatiannya pada pekerjaan selama di Paris dan Bandung mulai berputar-putar. Sekuat tenaga ia menenangkan diri, mengatur napasnya, menstabilkan emosi jiwa.

      It would be much easier if you just shut up and pretend that I ain’t exist.

      It was such a torture... seeing your happy face...

      Reading your text...

      Listening to your voice...

      Why can’t you understand me just a bit...

   Layar tabletnya menghitam. Sekelebat saja dia melihat wajah teman-temannya muncul di sana bergantian menyampaikan pesan dan rasa terima kasih mereka pada Genta. Alva mengira videonya sudah selesai dan ingin mematikan aplikasinya, namun tiba-tiba saja wajah bulat Genta muncul dan langsung bermonolog.
      “Tania. Apa ya... kesan-pesannya...”
      Alva tak mendengarkan. Pikirannya terlalu ruwet untuk bisa mencerna perkataan orang lain saat ini. Matanya berpindah dari layar tablet ke lorong pesawat yang kosong, lampu telah dimatikan dan sepertinya banyak penumpang sudah memasuki masa hibernasi sampai nanti dibangunkan untuk kegiatan makan berikutnya. Sebaiknya dia juga ikut tidur saja, daripada ketenangannya terganggu oleh pikiran-pikiran tidak penting. Bagaimanapun, keseimbangan emosinya adalah isu yang paling penting saat ini.

      Screw this.

      “Terakhir untuk Gde apa ya,” kata Genta di telinganya, dengan cepat Alva menoleh ke layar. Teman seperjuangannya itu membuat ekspresi antara tidak enak dengan kasihan. “Euh... yah... ya, mungkin ini bukan pesan-kesan¾ini saran. Kalo nanggepin hati jangan pakai integral,“ ujarnya ringan, ditutup dengan tawa. Bisa didengarnya Zefanya juga turut tergelak pelan di balik lensa.
      You need to stop lying at yourself, bli De,“ Zefanya memutar kamera, “It will be easier for you, really. It’s for your own good,” katanya, memberikan senyuman penuh pengertian.

      Shit.

    Teman-temannya yang dijauhinya. Alva berpikir dirinya akan sanggup melalui semuanya sendiri, itu lebih baik dan lebih mudah. Suasana tidak akan menjadi canggung karena diam yang tercipta antara dirinya dan dia. Ia sudah tidak ambil pusing lagi penilaian mereka akan sikapnya dan merasa tak perlu berbicara pada siapapun. Dia akan baik-baik saja, toh awalnya juga dia tak punya hubungan pertemanan terlalu dekat dengan siapapun.
      Akan tetapi ketika melihat rekaman video ini...
      Dia mendesah berat. Alva menundukkan wajahnya, jari tangan kirinya memijit pelan keningnya. Suara Tania kemudian muncul, tapi Alva tidak ingin melihat layar. Matanya dipejamkan rapat-rapat. Tangan kanannya menggosok-gosok dadanya yang seketika terasa sesak.
      “First of all¾lah, settingan pake Bahasa Inggris,” didengarnya Tania tertawa lalu berdeham. “Mau bilang thanks. Thaaaanks banget udah diajarin masak. Diajarin bikin sushi, dimasakin nasi kuning, dibikinin steak... Masakannya Gde enak-enak sih, hahahaha, kelamaan deket-deket dia bisa gendut! Trus apa lagi ya... Kenangan sama Gde banyak sih ya... Apalagi sama seseorang, ya enggak? Hahaha, cieeee...”
      Zefanya nimbrung, “Thanks banget udah jemput kita di bandara! Itu yang paling kuinget, kamu sama bli Genta udah jemput kita di bandara. Thanks banget! Bli Gde orangnya memang penolong!”
      “Secara kita anak-anak baru di Paris, ya ampuun,” lanjut Tania. “Kalo nggak ada si Gde kayaknya kita bakalan hilang deh.”
      “Terutama aku,” Iwan menimpali, logat Balinya kental sekali. “Suksma banget, De. Good luck, ketemu lagilah kita di Bali.”
      “Seneng, kita seneng banget bisa kenalan sama Gde. Keep up your good work and I believe you will be a successful person. Itu aja...” jeda sejenak sebelum Tania menyelesaikan bagiannya, “byeeeee.”
      Jeda lagi.
    Ada suara kasak-kusuk ribut, lantai yang ditepuk-tepuk dengan telapak tangan, lalu Ze bersuara sembari terkekeh, “Next!
      Sunyi.
      Kepala Alva berdenyut-denyut.

      Jangan sampai...

      “Kita keluar deh, kita keluar deh,” kata Genta. “Supaya lebih lancar ngomongnya.”
      Bunyi derap beberapa langkah kaki menjauh dari kamera terdengar, diikuti debam pintu menutup.
      Hening.
      Hening yang terasa mengambang begitu lama.
      “I’m so sorry.”
      Suaranya. Serak dan lirih.
      Kernyitan di dahi Alva melesak semakin dalam.
    “Euh... Well...,” nada suaranya terdengar tak yakin, seolah-olah tak tahu harus memulai dari mana. “You know... I’ve never made any kind of this video message before. I... really want to talk to you in person but perhaps I don’t have any courage left...  to be rejected.”
      Alva tetap menunduk, tak ingin membuka matanya.
      Ingin rasanya dia berubah tuli.
      “But yeah still... if I don’t say it here, I would be the one that later regret it. I have enough regrets, I don’t need to add another.
      Siksa.
      Ini sungguh menyiksa.
     Pernahkah terlintas dipikirannya betapa ingin Alva menemuinya? Seberapa letih usahanya menjauhkan diri dan mengabaikan pesan-pesannya? Seberapa terkuras energinya agar pikiran-pikirannya teralihkan dan tetap teguh memegang janji terakhir mereka?
      “I’ve been... very stubborn. I, uh...“ gadis itu berbicara terbata-bata, “I shouldn’t have been asking you too much. Yet what can I do... it’s just that my feelings for you is too strong. Don’t ask me why.”
      Rasanya hati Alva meremuk.
      “I miss you.”

      Putain.

      “Yang ingin aku bilang itu banyak, Al. Banyak. Saking banyaknya sampai terasa tidak pantas, apalagi kondisi kita seperti ini. Who am I to talk...” suaranya berubah menjadi bisikan lirih. Dia terbatuk-batuk, berupaya menghilangkan gemetar dalam suaranya yang mulai terdeteksi. “I... I want to say I’m grateful that I met you. That you let me came into your world, to let me became your best friend.”
      Kalimat demi kalimat, suara si gadis semakin tegas namun tetap lembut.
      “You are very special for me. Even in the future, where you might be married to a lovely lady and I might be married to a kind gentleman. You have to know, you will always be.”
      Dalam hatinya Alva mengerang, tak mengerti bagaimana bisa gadis ini berbicara dengan begitu tenang dan mantap. Tanpa merasa malu sedikitpun, tanpa merasa harga dirinya terinjak-injak setelah semua tingkah Alva yang jelas-jelas tidak mempedulikannya.

      Kamu tahu kenapa, tidak usah pakai acara berbohong pada diri sendiri, Alva.

      “Thank you very much for your love.”

      Elia...

      “Thank you for the little infinity you’ve given to me.”
      Tanpa membuka matanya, Alva bisa membayangkan betapa teduh Elia tersenyum.
      “I’m praying for your happiness. God bless you, Alva.”
      Ini batasnya, Alva sudah tidak mampu menahan diri.
      Matanya masih sempat bertemu dengan mata Elia, sekian detik yang terasa begitu surreal. Ditatapnya mata Elia yang hangat, sehangat mentari senja keemasan di langit Paris.
      Elia yang tidak berubah. Sorot pandang yang sama. Kebaikan yang sama. Kejujuran yang sama. Sosok yang selamanya akan memiliki makna dan ruang khusus di hatinya.
      Bagian belakang bola mata Alva terasa panas dan tertusuk-tusuk.
      Dadanya sesak. Terimpit.

      Begitu perih...

      Terakhir kali dipandanginya wajah Elia dengan cermat sebelum kemudian ia menutup programnya serta tanpa keraguan menghapus file tersebut.
      Sebutir air mata mengalir.



***




31 Juillet 2017.
02.12 AM.

Erinda Moniaga.

No comments:

Post a Comment