every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Monday, June 6, 2011

Pelangi

I haven’t seen my rainbow.
                                                           
Just wait until the rain ends.

. . . . . . . .

I haven’t seen my sun.

***


If only time could heal everything.


***

Kulepas kacamataku perlahan kemudian kuletakkan di atas meja. Bagian di pangkal hidung antara kedua alis kupijat perlahan dengan ibu jari dan telunjuk; pusing. Mataku lelah setelah membaca sekian lembar teori-teori sederhana namun tampak rumit. Atau mungkin pikiranku yang rumit, entahlah. Kulepas pula earphones dari kedua telingaku, sedari tadi lagu So Sick milik Ne-Yo terputar berulang-ulang. Sengaja. Aku tidak tahu harus mendengar lagu apa lagi selain ini. Sama seperti apa yang dilantukan getir olehnya, aku muak mendengar lagu-lagu cinta. Tanpa kusadari, aku menghela napas.

            “Sendiri lagi kali ini, Ran?“

Aku menoleh dan mendapati pegawai kedai kopi tempat favoritku ini menyapaku dari balik konter. Dia tersenyum. Matanya pun turut tersenyum.

            “Ya,“ jawabku.

            “Gimana kabarmu? Baik-baik? Belakangan ini kau selalu sendirian ke sini,“ ujarnya berusaha terdengar biasa saja, berusaha agar tidak terdengar sok ikut campur.

            Aku tergelak sedikit mendengar kalimat terakhirnya, “Bukannya aku memang selalu sendirian ke sini?“

            “Iya memang sih. Tapi kamu terlihat berbeda. Benarkah kamu baik-baik saja?”

Tanpa jeda aku menjawab pertanyaannya itu.

            “Ya, tentu aku baik-baik saja.“

            Bohong.

            Sesaat dia diam, mengamatiku. Aku melihat perubahan pada raut wajahnya saat dia mengamatiku.

            “Ran, kamu mau tambahan caramel?“

            “Aku gak punya uang lagi.“

            Bukan bohong.

            “Kutraktir,“ sahutnya. Baru aku mau membuka mulut untuk menolak, dia melanjutkan kalimatnya, “I insist.“

            Aku diam saja.

Aku menatap ke luar, ke arah jalan. Mobil-mobil dan motor-motor berkejaran di luar sana, lalu-lalang dengan sibuknya sementara aku diam di sini. Rasanya seperti melihat arus waktu melintas dengan deras, namun aku terdiam. Seakan-akan waktuku berhenti. Sama seperti batu kali di dasar sungai yang diam mengamati arus deras liar yang menderu-deru di sekelilingnya.

Kenapa justru ketika tidak ingin mengingat, kenangan itu malah datang?

Hari ini tanpa disengaja fotomu dengannya muncul di facebook.

Kau tahu, belum pernah dalam seumur hidupku aku ingin membanting laptopku seperti tadi.

Untunglah gak jadi.

            “Nih, Ran,“ gelas plastik frappuccinno itu diletakkan di ujung kanan mejaku, tidak jauh dari tumpukkan buku-buku teori yang kubawa. Perkataannya mengembalikanku ke dunia nyata. “Caramel Java Chip favoritmu.“

            “Benar-benar terima kasih,“ kataku, mendongak dan tersenyum.

            “Boleh aku duduk sebentar?“  dia menarik kursi di hadapanku.

            “Ya, boleh.“

            Bohong
.
            “Eh, Ran?“

            “Ya?“

            Sejenak dia menatapku dalam-dalam. Lagi-lagi aku merasa diamati. Tepatnya lagi, dikasihani. Aku tidak suka. Tiba-tiba saja aku ingin mengusirnya.
            “Kamu benar-benar tidak apa-apa?“
            Leave me alone.
            “Iya lah, tentu saja aku baik-baik.“
            Bohong.

            Ada jeda lagi. Ada intensitas dalam pandangannya padaku.

            Jangan lihat aku.

                        Jangan lihat aku.

            Jangan¾
            “Baiklah kalau kamu bilang begitu,“ mendadak dia berujar.
            “Tenang saja, aku gak apa-apa kok.“
            Dia berdiri dari kursinya, lalu beranjak pergi.
            
Pada saat itulah ketika aku melihat punggungnya menjauh, tiba-tiba timbul keinginan untuk menahannya agar tetap di tempatnya.


Entah kenapa.


***
           
           

“Kamu tahu, Ran, berada di pantai pada saat mendung seperti ini tidak baik lho. Who knows it might be rain.“
            Ran mendengar langkah kaki mendekat, namun dia tidak berminat untuk sekedar menoleh dan melihat siapa yang sedang menegurnya. Kedua bola matanya hanya melirik sekilas, tidak peduli. Angin laut menerbangkan rambutnya. Gumpalan awan abu-abu tebal berkumpul di langit, berarak menghampiri. Dingin. Secara keseluruhan nyaris gelap, tanpa cahaya matahari.
 Bayangan seseorang membesar, langkah kaki semakin dekat, lalu berhenti persis di sampingnya. “Ayolah, jangan mengabaikanku begitu,“ katanya ramah, membungkukkan badan ke samping, menatap langsung mata Ran. “Gimana kabarmu?“

            Otomatis Ran tersenyum, “Baik-baik saja, terima kasih.“

            Dia pun tersenyum. “Matamu tidak tersenyum. Dasar pembohong.“

            Ran tertegun, memeluk lututnya lebih erat dari sebelumnya, merasa terpergok, ketahuan.
            “Kamu tahu, Ran, mata itu tidak pernah berbohong. Apapun itu, apakah kamu sedang sedih atau bahagia atau marah atau kosong...“ dia duduk di sisi Ran, “pasti kelihatan jelas. Ah, kecuali mata yang mengamati itu rabun, ahaha,“ dia tergelak mendengar leluconnya sendiri.
            “Kabarmu tidak baik-baik saja,“ orang itu melanjutkan, tidak dengan nada bertanya atau memastikan. Hanya mengucapkan.
            “Ya, aku tidak baik-baik saja.“
            Orang itu bergeser mendekat. “Aku tahu. Apa yang kamu lihat?“
            “Badai,“ jawab Ran. “Di mana pun aku melihat, yang kulihat hanya badai.“
            Cara Ran berbicara benar-benar terasa kosong. Seperti di ruang hampa udara, tidak bernada, tidak beremosi, namun kacau-balau tercampur-aduk. Kehilangan orientasi, hanya mengambang.

Hanya mengambang, bukankah hal itu justru yang paling menyakitkan? Tertahan tidak bisa berpindah, hanya bisa melihat. Terluka dan terbakar, tapi tetap tidak bisa bergerak.  Melihat waktu merangkak, berjalan, hingga berevolusi menjadi kecepatan dan perubahan. Hanya bisa melihat. Tidak berada di mana-mana sekaligus berada di mana-mana. Ketika menoleh melihat waktu sedetik yang lalu, seakan-akan telah terbang menjauh. Begitu jauh tak terjangkau.

            “Kamu ada di pusat badai, Ran,“ katanya. “Tidakkah kamu ingin melihat pelangi?“
            Untuk beberapa saat Ran tidak bersuara, hanya diam menatapi langit dengan awan mendung yang begitu rapat.
            “Rainbow? I haven’t seen my rainbow.“
            “Tunggu saja setelah hujan atau badai berhenti, Ran.“
            Ran tidak serta-merta menjawab. Dia menengadah, awan-awan terefleksikan di bola matanya.
            “I haven’t seen my sun.“

***


If only time could heal everything.


***


Orang itu memindahkan posisi duduknya di hadapanku. Sekarang dia bisa melihatku secara langsung, utuh. Aku melihatnya tersenyum lembut, satu tangannya terulur menyentuh pipiku.
            “Ran, jangan paksa dirimu.“
Tangannya begitu hangat, dan segalanya yang terpancar darinya berupa ketulusan murni tak terbantahkan. Aku bisa melihat bahwa aku bukan dikasihani. Aku telah membuatnya khawatir. Dia menyentuh hatiku persis di mana luka menganga itu berada, dan aku tahu dia tidak berniat untuk menambah irisan lain.
            “Kesedihanmu itu manusiawi,“ katanya penuh kasih, satu tangannya yang lain meraih pipiku yang lain. Betapa hangat. Betapa menenangkan. Tangan itu seperti mengangkatku dari dasar jurang, dari tengah-tengah himpitan topan badai, menyambutku. “Jangan paksa dirimu lebih lagi dari ini.“
            Dan air mataku, air mataku yang kutahan berbulan-bulan, air mata yang tak mau aku perlihatkan pada siapapun termasuk diriku sendiri, pun menetes perlahan. Butir demi butir menjatuhi pipiku, membasahi kedua tangannya. Aku tak mampu berbicara dan air mataku semakin lama semakin menderas. Dengan kelembutan yang teramat penuh kasih, dia menarikku pada pelukannya, membiarkanku menangis di sana.
“Sudah terlalu lama kamu memaksa dirimu, Ran. Air matamu ini bukan lambang kelemahanmu, bukan pula lambang kekalahanmu. Air matamu ini akan menyembuhkanmu. Menangislah.“
            Berbulan-bulan aku tersiksa akan kenangan-kenangan tentang dia. Berbulan-bulan aku terpaku di tengah badai, tidak bisa bergerak, hanya mengambang tiada arah. Berbulan-bulan aku mengunci hatiku sendiri dari segalanya. Kukuh berkata bahwa aku kuat dan tegar bertahan, tidak butuh siapapun. Aku berkata pada diriku aku baik-baik saja. Tapi itu bohong. Aku hidup seperti tidak ada apa-apa. Atau lebih tepatnya, aku hidup dalam kekosongan mutlak. Tidak mau percaya pada siapapun, tidak mau peduli apapun. Hanya kekosongan dan hati yang nampak utuh dari luar namun hancur luluh di dalam. Dan orang itu mengetahuinya.

            Dia tahu.
            “Apakah kamu membencinya, Ran, setelah apa yang dia lakukan padamu?“
            Aku menggumam di bahunya, “Aku benci.“
            “Benarkah?“ tanyanya, mengusap kepalaku.
            “Aku benci. Dia seenaknya saja bertindak seperti itu padaku, dia bilang dia suka pada gadis itu, tapi dia tidak mengizinkanku pergi! Untuk apa aku berada di sana, menyaksikan mereka berbahagia? Dia tega, dia kejam, dia... aku membencinya!“
            Hapuskan!

Lenyapkan!

Benci!
            “Sungguhkah kamu membencinya? Bukankah kalian sahabat?“
            Aku membisu. Ingatan persahabatan itu muncul lagi di kepalaku.
            Sungguhkah?
            “Aku ingin lupa! Aku tidak mau mengingat dia lagi!“
            “Ran,“ dia melepas pelukannya, menatapku persis di dua manik mata, “you should learn how to let go.“
            “... apa?“
Aku tidak mengerti.
            “Semua yang kamu rasakan saat ini adalah karena kamu tidak mau merelakan dia pergi. Jauh dalam hatimu kamu masih berharap ada kesempatan untuk bertemu. Makanya kamu membencinya. Sekaligus membenci dirimu sendiri karena tahu dirimu berharap. Semakin kamu membencinya, semakin kamu tidak akan bisa lupa. Belajarlah untuk melepaskannya. Benar-benar melepaskannya. Kemudian maafkanlah dia, juga dirimu.“
            Terdengar mustahil. “Aku tidak bisa,“ kataku. Bagaimana mungkin aku bisa?
            
          Dia menggeleng. “Kamu bukannya tidak bisa. Kamu tidak mau mencobanya.“
            Aku tidak mengerti...
            “Kalau kamu tidak mau mencoba untuk melepaskannya, sampai selamanya kamu akan terjebak seperti ini. Galau dan galau tiada habis. Sok tegar di luar namun merapuh nyaris luluh.
Hanya hati yang sudah sedemikian sakit yang bisa memikirkan orang sampai seperti itu. Tapi kamu tidak mau seperti itu bukan?“

            Aku masih diam.

            Dia menatapku penuh kesabaran.
            “Apakah kamu menyesal sudah menyukainya?“ tanyanya lembut.
            Aku berpikir sejenak. “Aku... tidak tahu...“
“Tanyakanlah pada hatimu,“ katanya seraya meletakkan kedua tangannya tepat di tengah-tengah dadanya. “Lihatlah ke dalam hatimu.“
            Dan aku melihat senyumnya yang penuh keteduhan.
            
Kupejamkan mataku. Aku pun turut meletakkan kedua tanganku tepat di tengah dadaku.
            
Kilasan-kilasan masa lalu berkelebat. Waktu-waktu lalu. Senyumanku. Senyumannya. Tawa kami bersama. Kemarahan kami. Kekonyolan kami. Kebaikannya. Segalanya. Semua itu bukan bohong. Matanya saat itu, kilauan yang terpancar dari matanya sudah menyatakan kenyataan.
            “Ketika tidak ada lagi penyesalan, tidak ada gunanya terus-menerus menyakiti hatimu sendiri, Ran. You should learn how to let go...“

            I should learn how to let go...
            How to really let it go...
            Let him go...

            “Maafkan. Sungguh-sungguhlah memaafkan. Dan lupakan.“

            Bagaimana aku bisa menyalahkan perasaannya? Aku ingat dia sudah meminta maaf padaku...
            Apa gunanya tetap memikirkan kesalahan apa yang telah ia lakukan padaku? Apa faedahnya? Apa gunanya aku tetap memikirkan dirinya? Atau lebih tepatnya... apa gunanya aku menyiksa diriku dengan harapan semu? Yang harus kulihat adalah... masa kini. Bukan masa yang telah lewat. Bukan mengkhawatirkan apa yang telah lewat. Bukan pula mengkhawatirkan apa yang akan terjadi nanti padaku atau padanya.
            Kebencian tidak akan mengantarku ke mana-mana. Kebencian justru mengurungku di tengah badai.
            Kemudian aku sadar.

Dia benar.

Dia benar sekali. “Aku tidak menyesal,“ kataku, mengangguk kecil. Air mata menggenang lagi di pelupuk mata.
            Tidak ada yang perlu disesali...
            Kedua tangannya meraih pipiku kembali. “Waktu mampu menyembuhkan semua luka, Ran, asal dirimu mengizinkannya. Bukalah matamu, sembuhkan dirimu.“
            “Terima kasih,“ bisikku sungguh-sungguh.
            Dia tersenyum, selalu tersenyum. Lembut. Hangat. Penuh keteduhan.
            “Peliharalah kasih di dalam dirimu, jangan kebencian.“
            Seraya berkata begitu, dia mendekat, mengecup keningku penuh kasih.
            “Terima kasih,“ ujarku. Aku merasa ribuan kata terima kasih tidak akan sanggup menggambarkan betapa aku sungguh-sungguh berterima kasih.
I’ve been saved.
I’ve been saved.
Dan dari arah berlawanan dengan gumpalan awan-awan gelap itu, seberkas sinar matahari menyeruak.
            “There you go, that’s your sun,“ katanya, menunjuk langit. “You see there? That is your rainbow.“
            Air mataku menggenang lagi. “I know...“ suaraku jadi terbata-bata. Busur tujuh warna itu muncul. Benar-benar ada. “Finally... I see it, my rainbow. Thank you very much.“
            “Aku senang,“ katanya gembira, menggenggam erat tanganku. Teguh. “Aku senang bisa melihat seluruh jiwamu tersenyum lagi.“


***




Thank you for saving me... 

Thank you for leading me back to the right way.

Thank you for Your Rainbow.




God.






June 4, 2011 - 1.14 am
Erinda Moniaga

5 comments:

  1. ouccchhh.... without i realized... my tears run down riiin :") touching bgt, aku paling suka waktu si Ran sadar klo ga ada gunanya trs2an stuck dlm kesedihan, God always beside u :D

    ReplyDelete
  2. serius Risty? serius Risty kek berurai air mata gitu????

    ReplyDelete
  3. terus berkarya rin , terus semangat !!!!

    ReplyDelete
  4. thank you so much Douglas!!!
    smangaaaaat!!!!!

    ReplyDelete
  5. iyya, aku sdah mengerti..
    bukan benci..
    dan kasih itu adalah kamu sebelum sampai ke Tuhan..

    ReplyDelete