every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Sunday, August 21, 2011

Sunshine


Sinar matahari mulai terasa menyengat dari balik pelupuk mata, maka aku pun membuka mata.
      Ah, betapa indah hari ini! Kutatap matahari yang sudah terbit di langit timur. Warnanya indah sekali, kuning jingga keemasan, sementara warna langit perlahan berubah menjadi biru muda. Tidak ada perasaan yang lebih menenangkan daripada ini. Kuhela napas dalam-dalam menikmati udara pagi.
Sadar akan waktu, aku bergegas bangkit berdiri, kembali masuk ke dalam kamarku. Sudah menjadi ritual pagiku untuk semedi selama tiga puluh menit, menunggu saat-saat matahari terbit sebelum memulai aktivitas pagi. Seperti yang sudah kubilang tadi, saat-saat menunggu langit biru gelap berubah menjadi biru muda diselingi semburat kuning jingga merupakan sebuah pengalaman yang sangat spesial. Terasa begitu personal.
Kembali ke kamar, aku segera menuju kamar mandi. Hari ini kelasku mulai pukul delapan tiga puluh pagi, setidaknya tiga puluh menit sebelumnya aku sudah harus berada di kelas. Kata terlambat tidak pernah ada dalam kamusku.
Selesai memakai pakaian, aku menuju cermin dan menyisir rambut, mengikatnya rapi menjadi kuncir ekor kuda. Aku memastikan supaya tidak ada sehelai rambut pun yang tidak berada tidak pada tempatnya.
Puas dengan penampilanku, aku melihat jam dinding. Pukul delapan masih satu jam lagi, karena itu kuputuskan untuk memasak. Ah, aku memiliki dapur di kamar kosku ini. Yah, walaupun secara teknis kamar ini sebenarnya adalah kamar apartemen, aku lebih suka menyebutnya kamar kos. Kedengarannya lebih nyaman dan hangat. Aku membuka pintu kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan yang kuperlukan untuk sarapanku.
Tidak ada yang bisa mengalahkan kelezatan Caesar Salad untuk sarapan!
Aku baru mulai untuk menyuapkan suapan pertama saat pintu kamarku terbuka dengan keras, disusul langkah-langkah berat diseret, dan diakhiri dengan sapaan datar yang terdengar menyebalkan, “Selamat pagi, Sunshine.“
Pagiku yang damai, indah, dan teratur hancur sudah.
“Hoi!“ teriakku, “Sudah berapa kali tak bilang, hilangin kebiasaan jelekmu itu!“ kutunjuk cowok yang sekarang berdiri di depanku, tampangnya acak-acakan dan muka bantal, dengan garpu yang kugenggam.
Dengan cueknya dia hanya menggaruk-garuk kepalanya yang aku yakini sudah beberapa hari tidak dikeramas, “Please, gak usah berlebihan begitu, Sunshine,“ dia kemudian menguap lebar-lebar, “dan jangan nunjuk-nunjuk pake garpu, bahaya, tauk.“
“Gimana aku gak berlebihan?“ kataku, agak sewot sementara dia dengan santainya malah menghampiriku dan duduk di seberang meja makan, “kamu tahu ini tindakan apa namanya? Ini namanya pelecehan. Pelecehan! Seenaknya masuk ke kamar seorang gadis tanpa permisi!“
Dia malah merebut piring Caesar Salad-ku tanpa ba-bi-bu, “Ya ampun, sejak kuliah kamu jadi berlebihan, Sunshine.“
Kutarik kembali piringku, aku sungguh-sungguh merebutnya! “Dan sejak kapan namaku jadi ‘Sunshine‘? Kamu juga tambah aneh sejak kuliah, Luke.“
Tak kuduga dia akan berdiri, menghampiriku. “Panggil aku, L, jangan Luke.“
Alisku spontan naik. Aku menatapnya lekat-lekat, berharap dia hanya bercanda. Aku berharap wajah sok cool yang ada di depanku ini segera berubah, meleletkan lidah atau semacamnya, berteriak bahwa dia hanya asal ngomong dengan ekspresi jenaka, tapi ternyata ekspresinya tidak berubah.
“Kamu... salah makan ya?“
Itu perkataanku, ngomong-ngomong.
Jeda beberapa detik. Dan aku baru sadar aku salah ngomong, dia kan belum makan. Mestinya aku tanya apa dia salah makan obat atau apa gitu...
      “Ah, sudahlah,“ gerutunya, menjauhkan diri, kembali duduk di seberang sana. “Ngomong sama kamu gak pernah nyambung.“
Kok jadi aku yang salah sih? Aku ingin protes, tapi saat menyadari waktu yang terbuang percuma sudah begitu banyak, aku memutuskan untuk diam dan memakan Caesar Salad-ku.
      “Kalau kamu mau, ada lebih di meja pantry,“ tawarku.
Dia bangkit dan berjalan ke dapur sambil mengacak-acak rambutnya. Well, sejujurnya, itu memang bagiannya. Aku memang sudah mempersiapkan bagiannya, sejak menyambangi kamarku untuk meminta sarapan pagi menjadi kebiasaan(buruk)nya.
Tenang, dia memakan Caesar Salad buatanku, bahkan tanpa berkomentar apa-apa.
Seusai makan, aku membawa piring kotor ke dapur. “Nanti jangan lupa minum susu dan cuci piringmu ya,“ kataku. Dia hanya menggumamkan suara tidak jelas dari kerongkongannya sebagai sahutan. Raja cuek memang orang satu ini.
Kuambil tas dan helm-ku. Sebelum aku keluar kamar, sekali lagi aku menoleh, “Ya sudah, aku pergi dulu. Ingat kunci pintuku, kamu masih menyimpan kuncinya kan, Lukasz?“
Dia berpaling sejenak dari piring salad-nya. “Ya, Abigail. Tenang sajalah.“
Dan sekarang tiba-tiba dia memanggil namaku dengan benar lagi. Ini orang benar-benar gak bisa ditebak maunya apa.
Aku tersenyum. “Baguslah,“ aku melangkahkan kakiku melewati ambang pintu.
“Abigail?“
Aku berhenti.
“Ya?“
“Hati-hati di jalan.“
Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya. Tanpa menoleh lagi, aku pergi, melambaikan tanganku.

***

Suara-suara keramaian semakin menjauh saat aku sedang sibuk membaca ulang agendaku hari ini. Semua acaraku hari ini berjalan sesuai dengan waktunya: kuliah sudah, rapat panitia acara ulang tahun kampus sudah, kursus bahasa Prancis juga sudah, kerja sambilan mengajar sudah, setelah ini aku mesti belan---ponselkuku bergetar di saku celana.
      Nama dan foto yang terpampang di layar: Lukasz. Ada apa lagi ini?
      “Ya, halo?“
      “Abigail, kuliahmu sudah selesai?“
      “Sudah daritadi siang, Luke,“ aku mendengus. “Kenapa?“
      “Habis ini kamu mau ke mana? Ada acara lagi?“
      “Aku mau pergi belan---
      Belum selesai aku berbicara, sudah dipotong olehnya, “Aku tunggu di Ambrosia satu jam lagi, tidak ada acara belanja-belanja.“
      “Tapi, itu buat besok pa---
      “Tidak ada alasan, Abigail. Satu jam lagi. Ambrosia.“
      KLIK. Sambungan diputus. Olehnya.
      Aku bahkan belum mengiyakan atau apa!!!
      Dasar Lukasz BEGO!!!!!!

***

Seandainya saja ada orang yang berbaik hati mau menggetok kepala si bego yang sekarang dengan cueknya berdiri cengar-cengir, cengengesan seperti orang bodoh di depanku!
      “Kau bilang tadi aku harus berada di sini berapa jam lagi?“ tanyaku, dengan suara berat.
      “Satu jam.“
      “Lalu kau sendiri butuh waktu berapa jam ke sini?“
      “Astaga, Sunshine, aku kan cuma telat lima menit!“
      “Waktu adalah uang, tauk!“ kataku, tanpa sadar berteriak. “Lima menit itu berharga, siapa tau kalo ternyata dalam lima menit itu---
      Dia menjulurkan sesuatu. Sebuah kantong plastik.
      “Apa ini?“ tanyaku sangsi. Plastik itu berukuran cukup besar, tapi aku tidak bisa menebak apa isinya, plastiknya berwarna hitam. Mengingat sifat Lukasz, aku curiga jangan-jangan isinya benda-benda mencurigakan. Sesuatu yang bakal membuatmu pingsan ketika membukanya, mungkin.
      Dia hanya menggoyang-goyangkan kantong plastik itu, menyuruhku mengambilnya.
      “Tiramisu...?“ aku terbata. Yang ada di dalam plastik itu ternyata kotak berukuran sedang, dan di dalamnya berisi tiramisu. Aku menatap Lukasz, dengan bertanya. “Tapi aku kan gak ulang tahun atau apa…“
      Dia tersenyum lembut. “Memangnya harus ada alasannya? Ini kejutan. Itu kue favoritmu kan, Abigail?“
      Astaga, orang ini.
      Tanpa kusadari, senyumanku tertarik. Aku memang tidak bisa menang dari orang ini...
      “Nah, kau duluan saja pergi ke meja kita. Aku ke mobil sebentar, ponselku ketinggalan di sana,“ ujarnya, berbalik menuju pintu keluar.
      Meja kita, katanya. Di restoran Ambrosia ini, bisa dibilang kami punya meja favorit, ada di ujung teras yang menghadap ke timur. Aku beranjak dari tempatku sekarang, kursi di dekat kasir tempat orang menunggu, berjalan ke meja kami dan duduk manis. Ambrosia ini adalah restoran milik keluarganya, ngomong-ngomong, for information. Jadi yah, walaupun acara makan ini mendadak, sebagai tuan muda, tidak ada yang tidak mungkin kan?
      Lukasz melangkah masuk kembali, dan, otomatis, akan ada banyak mata yang diam-diam melirik atau wajah yang menoleh dan terpaku menatapnya. Dia jenis laki-laki yang pada awalnya akan membuat para gadis mencibir dan mengatainya, namun pada akhirnya justru malah terpikat. Penampilannya cuek, apa adanya, tidak pernah dibuat-buat, tapi menarik. Ada sesuatu dalam tindak-tanduknya yang membuat mata para gadis tidak bisa berpaling. Akan tetapi, Lukasz akan selalu bersikap cuek dan tidak peduli. Prinsipnya, dia akan lakukan apa yang dia inginkan, sebodo amat dengan penilaian orang lain.
      Dia memiliki dunianya sendiri.
      “Sudah pesan?“ tanyanya, aku menggeleng. Lukasz kemudian menyorongkan sebuah daftar menu padaku, sembari dia sendiri melihat-lihat daftar menunya.  Sebetulnya tanpa kulihat isinya, aku sudah tahu ingin memesan apa hari ini.
      “Are you ready to order?“ seorang pelayan menghampiri kami, bertanya dengan bahasa Inggris. Ceritanya di restoran ini pelayannya wajib berbahasa Inggris.
      “Yeah, I’d like Thai Beef Salad and mashed potato, please. Ah, and Mango juice.“
      “Very well, Ma’am. And you, Sir?“
  “Well...“ Lukasz masih sibuk membolak-balik halaman menu. “Do you have any recommendations? I can’t decide.“
      “Oh, Sir, maybe you would like to try our today’s special...“ si pelayan baru mau menunjuk ke papan menu spesial di dekat bar ketika tiba-tiba Lukasz berkata, “I’d like nasi goreng spesial, please. With double sunny egg and seafood.“
      Kutebak di dalam hati si mbak pelayan ini pasti merasa gondok. Sudah mau diberikan saran, buntutnya malah mengajukan sendiri. Kalau aku sih pasti akan kesal, kalau memang akhirnya tidak mau mendengar saran, lebih baik dari awal tidak usah bertanya. But, well, that’s Lukasz.
      “For your drink, Sir?“
      “Iced lemon tea.“
      “Trus?“ ujarku tak lama sesudah si pelayan meninggalkan kami.
      “Trus apa?“
      “Bukannya kalo kamu sudah mengajakku makan begini, di luar pula, bukan di apartemen, itu artinya kamu mau cerita sesuatu?“
      Dia nyengir lebar. “Moonlight, kamu memang temanku sejak kecil yang paling mengerti aku.“
      Aku menoleh ke luar. Langit sudah menggelap. Pantas. Panggilan anehnya padaku: Sunshine dan Moonlight itu tergantung pada siang dan malam. Aku pernah bertanya mengapa dia memanggilku begitu sejak kami kuliah dua tahun lalu, tapi dia tidak memberikan alasan yang rinci. Aku bahkan masih ingat jawaban persisnya, “Memangnya kenapa? Bagus kan? Sudah untung aku tidak memanggilmu Monyet, Babon, Gorilla, atau Lutung kan?“
      Setelah peristiwa itu, ada lebam biru gelap yang tidak hilang dari punggungnya selama beberapa hari.
      “Jadi gini, Moonlight,“ dia memulai curhatnya, “kau ingat si Helena yang baru-baru ini kuceritakan?“
      “Yang dua minggu lalu kau putuskan tanpa alasan yang jelas itu kan?“ sahutku datar.
      Luke mengangguk. “Tadi pagi dia mendatangi apartemen dan minta balik.“
      “Trus, kau apain anak orang? Dia menangis?“
      “Memohon-mohon,“ dia membenarkan terkaanku. Bukan dengan sombong atau apa, hanya sekadar berkata untuk membenarkan saja.
      “Trus kalian ceritanya balik lagi?“
      Luke menatapku lama lalu tertawa, “Abigail, kau kenal aku! Kalau sudah putus, ya artinya the end, finish, fin, tamat, selesai. Gak ada cerita balik lagi.“
      “Dasar playboy,“ sambarku, keras.
      “Whatever you say,“ balasnya, tak acuh.
      “Manusia dingin!“
      “Terserah aku dong.“
   Aku masih ingin melanjutkan perdebatan ini, sayangnya si pelayan sudah datang membawakan minuman kami dan Thai Beef Salad-ku. Berhubung aku tidak ingin merusak selera makanku dan beradu argumen yang ujung-ujungnya tidak akan berefek sama sekali pada sistem pemikirannya, aku memutuskan untuk diam.
      Lukasz adalah seorang mahasiswa desain yang kerja sambilan sebagai seorang fotografer. Sebagian besar waktunya lebih banyak dihabiskan untuk memotret daripada kuliah, dan dia bahkan sudah pernah mengikuti sebuah eksebisi fotografi gabungan. Bisa dikatakan, Lukasz sudah mulai terkenal meskipun dia masih hijau. Karena pekerjaannya itu, dia sering beredar ke mana-mana dan berkenalan dengan berbagai macam orang. Sebagian besar pacarnya ditemui karena pekerjaannya, sebagian lagi aku tidak tahu bagaimana caranya, entah berkenalan di internet atau apa.
      Pacar-pacarnya itu tidak ada yang bisa bertahan lama, contohnya si Helena yang tadi disebutnya. Seingatku, Luke mulai membicarakannya tiga minggu lalu, tapi seminggu kemudian dia bilang mereka sudah putus. Rekor terpanjang yang kutahu hanyalah selama dua bulan, sementara yang terpendek adalah tiga hari. Dan semua kisah cintanya selalu dia ceritakan padaku.
      Aku? Aku ini teman sepermainannya sejak kecil, sejak kami mulai belajar merangkak. Keluargaku adalah pelayan yang bekerja di rumah keluarga Lukasz. Kami lahir pada tahun yang sama, tumbuh besar bersama. Yeah, dia itu seorang Tuan Muda dan dia anak bungsu dari lima bersaudara. Jangan tanya padaku bagaimana sejarahnya keluargaku bisa jadi pelayan, yang pasti, sejak jaman dulu kala memang sudah begitu. Waktu kecil bahkan dia lebih egois dari sekarang, hobi memerintah-memerintah orang, dan nakalnya minta ampun. Sekarang... yah, bisa dinilai sendiri. Setidaknya sudah lebih mendingan dari yang dulu.
      Dua tahun lalu vila keluarganya terbakar. Ketika itu aku dan Lukasz kebetulan sedang mengikuti ujian masuk universitas, jadi kami tidak ikut. Yang pergi ke sana adalah kedua orangtuanya, beberapa sanak famili, beserta kedua orangtuaku dan kakak-kakakku. Bencana itu telah menewaskan mereka. Waktu itu... tidak bisa dibayangkan betapa sakitnya kepedihan yang kami rasakan. Dan sejak saat itu, sifat liar Lukasz mulai berkurang dan sudah bisa sedikit lebih bertanggung jawab.
      Kakaknya yang tertua tidak mengizinkanku ketika aku berkata akan pindah dari rumah dan tidak melanjutkan kuliah. Dia menyuruhku untuk tetap tinggal, dia bahkan berkata akan membiayai kuliahku. Aku menolak, tapi saat melihat Bella menangis dan memohon, aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bella dan kakak tertuaku, Tara, adalah sahabat dekat. Bagi Bella dan seluruh saudaranya, keluargaku tidak pernah dianggap hanya sekadar pelayan. Bagi mereka, kami adalah keluarga.
      Aku, yang sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini, sungguh-sungguh bersyukur. Aku bersyukur saat mengetahui bahwa masih ada orang yang menyayangiku. Maka dari itu aku bertekad untuk mengerahkan segala kemampuanku, agar Bella tidak kecewa.
      Akhirnya, aku  dan Lukasz diterima di universitas yang sama, walaupun berbeda fakultas. Karena jarak rumah utama kami dan kampus sangat-sangat jauh, Bella menyuruhku dan Lukasz tinggal di ruangan kosong di apartemen mereka yang letaknya tidak jauh dari kampus kami. Bisnis keluarga mereka kini dipegang oleh keempat kakak Lukasz, salah satunya restoran Ambrosia ini.
      “Hei, Moonlight, kau masih marah ya?“ Lukasz memulai pembicaraan saat makanan kami sudah habis.
      “Marah?“ gerutuku. “Hah! Kau itu memang tidak bisa mengerti nasihatku ya? Sudah berkali-kali aku bilang, jangan bersikap seperti itu! Masih untung selama ini gak ada yang bertingkah ekstrim, gimana kalo kamu diapa-apain?“
      “Diapa-apain gimana?“
      “Kena santet kek, atau diguna-guna, siapa tahu!?“
      Dia malah tertawa terbahak-bahak. “Moonlight, kau ini lucu sekali!“
      Aku merengut. Aku tidak menyahuti ucapannya.
      Dia berhenti tertawa, mengusap air mata. Ya, dia tertawa sampai keluar air mata. “Abigail, santailah sedikit. Kalau keningmu berkerut dalam begitu nanti kau cepat tua lho.“
      Kuhela napas keras-keras. “Aku khawatir.“
      “Aku tahu,“ ucapnya segera.
      Ada jeda sebentar. “Terima kasih, Abigail.“
      Aku masih merengut. Aku merasa kekhawatiranku tidak pernah dianggap serius olehnya.
      Dia malah tersenyum. Dijentikkannya jari, seorang pelayan datang membawa sebuah piring kecil beserta garpu dan pisau pemotong kue. Kotak tiramisu dihadapanku dibuka, dan si pelayan memotongkan sepotong dan meletakkannya di piringku.
      “Abigail,“ kata Luke, sambil berdiri. “Lagu yang akan kumainkan ini khusus untukmu.“
      Restoran Ambrosia memiliki sebuah grand piano hitam yang dipajang di sudut ruangan timur. Lukasz berjalan mendatanginya, dan semua orang mendadak terdiam saat dia duduk di hadapan tuts piano. Restoran berubah sunyi senyap. Semua mata tertuju padanya.
      Lagu yang dimainkan Luke adalah Piano Sonata No. 14 in C minor opus 27 No. 2 milik Ludwig van Beethoven, yang disebut oleh penciptanya ‘Quasi una fantasia‘ atau lebih populer disebut masyarakat: Moonlight Sonata.

      Moonlight Sonata.

   Bahkan malam ini pun adalah bulan purnama, dari balik jendela prancis yang ada di belakang Luke, bulan purnama sewarna putih gading keperakan itu bersinar temaram.
      Saat mendengar dentingan awalnya, aku langsung merasa terisap ke dalam sebuah dimensi lain. Dimensi di mana hanya ada aku, Luke, piano, dan bulan purnama. Dimensi di mana pergerakan waktu tidak lagi enam puluh detik sama dengan satu menit. Dimensi di mana hukum gravitasi Newton tidak lagi mengikatku ke tanah. Dimensi di mana alunan melodi itu menyihirku untuk duduk tegak tanpa berpaling sekejap pun. Dimensi di mana aku melupakan duniaku sendiri.

      Dimensi Luke.

***

      “Hei, Abigail.“
      Aku menoleh untuk melihat siapa yang berani mengganggu konsentrasiku membaca diktat kuliah.
      Ah.
      “Luke,“ gumamku datar padanya yang berdiri di depan konter kasir, sadar ada lengan seorang gadis menggandengnya mesra. Sepertinya pacar baru lagi, aku belum pernah melihat yang satu ini.
      “Sepertinya mau pergi ke mana juga, kita tetep ketemu ya,“ katanya santai.
      Aku menutup diktatku lalu meraih cangkir green tea-ku. Di siang hari yang tumben-tumbenan dingin ini, aku kabur sebentar dari kampus menuju Starbucks, sambilan menunggu kelas berikutnya yang mulai sekitar dua jam lagi. Menghambur-hamburkan uang di Starbucks sebenarnya bukan kebiasaanku, tapi hari ini aku sangat membutuhkan green tea dengan soy milk racikan temanku yang bekerja di Starbucks. Green tea yang dibuatkannya terasa beda. Aku baru menyadari bahwa Luke sering berkunjung ke mari, ini kan tempat nongkrongnya.
      “Kamu pasti minum green tea lagi kan, Abigail?“ tebaknya.
      “Yeah, aku kan memang hanya bisa minum teh, Lukasz.“
      Detik berikutnya, aku sudah berkenalan dengan pacar baru Luke yang bernama Felicia. Dari penampilannya yang chic, kutebak cewek ini juga pasti seorang model, atau paling tidak seorang peragawati. Mungkin kalau sudah lebih tua nanti, pacar Lukasz akan datang dari berbagai jenis dan bidang pekerjaan, semacam pegawai bank, pelukis, pattisier, penyayang binatang, atau pemilik toko bunga.
     “Abigail, wajahmu keliatan pucat. Kamu sakit?“ tanya Luke, mengambil meja bersebelahan dengan mejaku. Felicia sedang menunggu pesanan.
      Aku mengernyit. “Masa sih? Aku merasa baik-baik saja.“
      “Nanti pulang jam berapa?“
   Aku mengingat-ingat isi agendaku. “Mm, setelah ini kuliah, habis itu aku ada kerja sambilan, setelah itu les bahasa Jepang---
      “Mending langsung pulang aja habis kuliah,“ katanya dengan nada memerintah.
      “Yee, mana bisa begitu. Kerjaanku mau diapain? Lagian di pertemuan ini aku bakal dapet honor.“
      “Sejak kapan sih cara berpikirmu jadi money-oriented gitu?“ protes Luke. “Kamu ada perlu bayar apalagi? Kan sudah kubilang, di apartemen itu gak usah bayar!“
      “Aku kan harus siapin biaya kursus level berikutnya!“ sahutku, agak emosi. Dia gak ngerti! Aku sebetulnya gak suka memanfaatkan fasilitas keluarganya, sudah diberi tempat tinggal, kuliah dibiayai, aku bahkan diberi uang saku! Protes apapun yang aku katakan, Bella akan balik memarahiku. Apalagi yang bisa kulakukan selain belajar dengan baik,  bekerja dan menabung agar nanti aku tidak lagi merepotkan mereka?
      “Kan sudah kubilang, masalah kursus nanti yang bayar---
      “KAMU GAK ngerti, Lukasz!“ jeritku, masa bodoh jika didengar oleh pengunjung yang lain! “Aku bukan orang kaya, bukan tuan muda seperti dirimu yang bisa dengan mudah mendapatkan uang! Kalo aku gak bekerja, darimana aku bisa dapat uang untuk menabung? Aku harus bekerja! Suatu saat nanti aku harus bisa mandiri dan gak lagi manja, bergantung pada keluargamu melulu!“
      Hanya berbicara sebegitu saja, napasku terengah-engah. Gawat, dadaku mulai terasa sakit. Apa mungkin dadaku terasa sakit karena melihat ekspresi Lukasz sekarang ini?
      “Kamu...“ katanya nyaris berupa bisikan, “kamu mau pergi?“
      “Suatu saat nanti aku memang harus pergi, Tuan Muda. Kita bukan lagi anak kecil yang bisa seperti dulu, terus bermain sepanjang hari. Aku tidak bisa lagi mengurusmu seperti dulu,“ aku menarik napas. “Tidak lagi.“

      Dadaku semakin sakit. 








[continue to Moonlight]

4 comments:

  1. Keren kak...
    Bahasanya simple.. alur critanya jg aQ ska
    sygnya aQ gak pnya gambaran abigail ntu scantik apa.. Gak ad gambaran fisik..
    Jd krang brimajinasi
    hahahahah

    ReplyDelete
  2. makasi Tara :D
    ada kritikan gak?

    emm...
    si Abigail itu kek apa ya...
    anggep aja rambutnya pendek sebahu...
    bayangin yang cantik2 aja yang pasti, hahaha.

    ReplyDelete
  3. wah bwt yg nie gk ada kak..
    Critanya bgs,, membawa suasana..

    ReplyDelete
  4. okeh deh, Tara :D

    makasi banyak ya udah baca...

    semoga secepetnya kakak bisa nulis cerita baru :)

    ReplyDelete