every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Wednesday, February 9, 2011

Espresso Brownies

“Kamu kenapa?“
Ya ampun, aku malu sekali!
Terpergok sedang menangis menggerung-gerung di satu sudut parkiran kampus oleh seorang mahasiswa.
Aku buru-buru menyeka air mataku dengan tangan, namun sayangnya itu tidak cukup, air mataku masih deras mengalir.
“Nih, pakai ini,“ dia mendekat, memberikan sesuatu padaku.
Handuk.
Aku mengangkat wajahku, menatap handuk, ragu-ragu.
“Belum aku pakai kok,” dia menambahkan.
Aku tidak berani mengambilnya.
“Dasar aneh, nih, pakai aja,“ cowok itu berjongkok, menyeka air mataku dengan handuknya, tidak kasar. “Ngapain nangis di sini? Jangan nangis dong.“
Huwaaa, mendengar kalimat begitu, tangisanku malah membanjir.
“Eh, eh, kok malah nangis lagi?!?!“ dia terdengar panik.
Bodo! Pokoknya aku mau nangis sepuas hati!
“Aduuh, jangan nangis dong, nanti dikira aku yang membuatmu menangis.“
Aku tidak menghiraukannya. Kebingungan, dia tidak tahu harus melakukan apa.
“Hei, tunggu di sini,“ katanya tiba-tiba. “Aku segera kembali.“
Tangisanku agak mereda saat cowok itu kembali entah dari mana.
Dia memberiku sesuatu berbungkus plastik. “Makan aja, bisa bikin tenang kok.“
Pikiranku masih kacau, kuturuti saja perkataannya. Bahkan tanpa melihat apa bendanya, aku menggigitnya. Memang kelaparan juga sih.
Kue cokelat? “Apa ini?“ aku bertanya padanya, benar-benar melihatnya sekarang.
Cowok itu menyahut enteng, “Espresso brownies. Enak kan?“
“Pahit,” ujarku. “Beli di mana?“
Cowok itu terkekeh pelan. “Masih agak pahit ya? Aku yang buat.“
Gak mungkin, cowok bikin kue? Aku lantas tertawa. “Bohong.”
“Tuh, bagusan kamu ketawa,“ dia nyengir.
Ah. Aku tertegun. Barusan itu aku dihibur?
“Gini ya, aku bukannya mau ikut campur, tapi jangan nangis sendirian. Di tempat kayak gini lagi. Kamu tahu ini jam berapa? Ini sudah jam enam sore. Kalau mau menangis, di rumah saja, jangan di sini. Bahaya.“
Aku sebal, tidak suka dinasihati. Dengar alasanku saja belum, sudah diceramahi.
Aku cemberut. Dia malah mendengus geli.
“Hei, dengar ini,“ katanya, berdiri. Aku langsung melihatnya, mencari tahu apa maksudnya dengan kata ‘dengar ini’. Oh, dia membawa terompet. Dia memakai topi, dan pakaiannya bukan pakaian untuk kuliah. Seperti pakaian untuk latihan.
Kemudian aku mendengar sebuah lagu. Lagu yang biasanya jadi nada tunggu di telepon zaman dulu. Tapi dia memainkannya dengan baik. Suara yang keluar dari terompet itu bersih, tegas, ceria. Membuatku merasa gembira.
Saat dia selesai, aku bertepuk tangan, spontan.
“Keren.“
“Makasi,“ cengiran merekah. Cengiran yang agak berpuas diri juga usil.“Merasa baikan?“
Jujur saja, “Ya. Trims.“
Kenyataannya dia membuatku melupakan masalah-gak-pentingku-yang-menyebalkan tadi sama sekali. 
Dia melirik jam tangannya lalu berseru kaget, “Sudah jam segini! Aku pergi dulu ya! Habiskan itu brownies dan segera pulang! Awas kalau tidak!“ ancamnya, berlalu pergi tergesa.
Kugigit browniesku. Pahit, tapi semakin lama semakin manis.
Iya, manis.
Aku baru ingat kalau handuknya masih kubawa.
Sialan.
Aku harus kembalikan ke dia!!

Aku tahu kampusku ini terdiri dari banyak fakultas.
Wajar saja sih kalau tidak mudah menemukan dia.
Menyebalkan.
Aku belum mengucapkan terima kasih dan belum mengembalikan handuknya.
Kira-kira dia ada di fakultas mana ya?

Aku melintasi parkiran kampus saat aku mendengar sayup-sayup suara terompet.
Suara itu menarik perhatianku.
Aku mengikuti arah datangnya suara dan menemukan seseorang sedang bermain terompet, sendirian di ujung lain lapangan parkir.
Sosoknya familier.
Itu dia bukan ya? Aku menyipitkan mataku.
Dan tiba-tiba saja dia berhenti main terompet dan menoleh ke arahku.
Gyaaa, kepergok lagi!
“Hai, cewek cengeng,“ dia menyapaku. “Sudah gak nangis lagi sekarang? Ngapain ke sini?“
Nada bicaranya menyebalkan sekali, bikin jengkel.
“Memangnya harus ada alasan ya?“ balasku.
“Oh, iya dong. Aaa, aku tahu. Kamu pasti nyariin aku.”
Pede banget ini orang!! GRR, dia sengaja cari gara-gara.
“Gak! Gak ada perlu apa-apa kok, kebetulan aja lewat sini,“ kataku ketus, dia nyengir. NGAPAIN DIA NYENGIR? Menyebalkan!!! “Sudah ya, aku gak ada urusan.“ aku berbalik, jalanku jadi menghentak-hentak saking sebalnya.
“Oi, oi, terus handuk di tanganmu mau kau apakan?“ suaranya mengejek.
SUARANYA MENGEJEK DAN ITU SANGAT MENYEBALKAN.
Aku balik lagi menghadap dia dan KENAPA DIA NYENGIR SELEBAR DAN SEMENYEBALKAN ITU?
“Ayolah, ngaku saja,“ dia godain aku ya?!? “kamu nyariin aku kan?“
Batas kesabaranku diuji. Sabar, sabar...
“Kamu naksir aku kan?“
GRRRR. Kulempar handuknya ke mukanya!
“Oi!“ katanya, “cantik-cantik galak amat.“
Aku malas menyahuti dia!
GRRRR.
Mending pulang saja deh!
“Hei,“ panggilnya.
Aku menoleh, menjawab galak, “APA?!“
“Besok ke sini lagi ya,“ ujarnya, sekarang dia terlihat seperti cowok baik hati yang kemarin, bukan menyebalkan seperti tadi. “Nih,“ dia melemparkan sesuatu, refleks kutangkap.
Kue itu lagi. Espresso brownies.
“Buat apa aku ke sini besok? Terus ini buat apa?“ aku menimpali, masih galak.
“Kalau masih terasa pahit, lapor ya.“
IDIH, memangnya dia siapaku?!
Melihat ekspresiku, ekspresinya berubah lembut.
“Aku pengen ketemu.“
Aku diam.
Serius atau bercanda sih?
"Dahhhh!" dia melambai penuh semangat sementara aku pergi.

Aku memutuskan untuk mencoba brownies itu.
Pahit-pahit manis.
.....
Enak.

Mungkin besok aku datangi saja lagi....

Hehe.






30-31.03.2010
12.01 pm



-Erinda Moniaga-

No comments:

Post a Comment