every word, every move, every expression has its own meaning. here I'm noting it.

Friday, November 28, 2014

Mahajivanagita

SLOKA 1
Esha Vairocana



      Esha melirik dari ujung matanya ke arah jam dinding yang tak pernah lelah berdetak. Pukul lima kurang lima menit. Dia berusaha, sangat berusaha, untuk tidak nampak gelisah; akan tetapi dari posisi duduknya yang setiap lima menit terus-terusan berubah, rekan-rekan sekerjanya tentu mau tidak mau memperhatikan gelagatnya.
      Desain lay-out yang sedang dikerjakan Esha di depan komputernya sudah tidak nampak menarik lagi, walaupun sejujurnya, dia tidak pernah menikmati pekerjaannya lagi sejak dua tahun lalu. Sebentuk garis dengan warna yang berbeda dengan warna kulit di sekitar matanya terasa sangat gatal, garis selebar jari kelingking yang melintang di bawah bola mata kiri sampai pertengahan hidung. Ini pertanda seseorang sedang membicarakannya, itu keyakinan absurd yang selalu dipegang Esha.
      Sekarang pukul 16.59 dan jarum detik sedang berjalan penuh irama konstan menuju angka dua belas. Esha sekali lagi mengubah posisi duduknya, mulai menutup semua program yang sedang dikerjakannya; tangan kirinya otomatis dengan cekatan memencet tombol-tombol tertentu di keyboard. Tanpa terasa ia semakin mahir menggunakan mesin ini. Sudah dua tahun teknologi serasa mundur beberapa ratus tahun, dia mulanya tidak terbiasa menggunakan keyboard. Dia hanya mengetahui keyboard, beserta saudaranya layar komputer yang berbentuk seperti boks dari museum. Beruntunglah ia tidak harus bekerja menggunakan mesin ketik (dan demi Tuhan, apa itu mesin ketik?). Sudah dua tahun...
      Sekali lagi dia melirik jam dinding. Tepat pukul lima sore. Alarm kantor penanda jam kerja telah usai pun berbunyi di gedung percetakan tiga lantai tersebut. Berkebalikan dengan seluruh kegelisahan yang sedari tadi nampak sewaktu bekerja, setelah alarm berdering, Esha justru tidak buru-buru membereskan perlengkapannya. Dia malah santai-santai saja, meregangkan otot-otot lengannya seraya menguap. Kelima rekan sekerjanya menatapnya. Satu yang paling penasaran, seorang gadis berparas lembut dengan rambut selegam arang menjuntai lurus di punggung, membuka mulut untuk bertanya, “Kak Esha gak jadi pulang?“
      Tak menyahut, Esha hanya memberi tatapan keras penuh tanya pada si gadis.
      “Daritadi kakak gelisah, kusangka kakak sudah gak tahan ingin pulang...“ jawabnya.
    Esha mengabaikannya. Walaupun emosinya tidak nampak di permukaan, sesungguhnya gadis ini membuatnya merasa tidak nyaman.
      “Pulang bareng yuk, kak?“ dengan polos gadis itu melanjutkan pembicaraan satu-arahnya.
      Lagi-lagi Esha tidak mengacuhkannya, pura-pura sibuk membereskan buku sketsa dan kotak pensilnya, sengaja belum mematikan komputer.
      “Dia masih punya sedikit pekerjaan yang harus dilakukan untukku,“ suara lain yang menjawab ajakan si gadis. “Beberapa desain untuk iklan propaganda yang dipesan. Maaf ya, Malika sepertinya dia tidak bisa menemanimu pulang.“
     Gadis itu berbalik menghadap lelaki yang duduk di tengah-tengah ruangan, ekspresinya cemberut, “Kalau begitu izinkan aku lembur juga, Bos!“
      Senyum mafhum si bos terukir, “Malika, kau tahu nanti pasti akan ada serangan malam. Meskipun kita tidak berada di area serangan, kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi selama perang berlangsung. Aku tidak bisa membiarkan anak gadis berada dalam bahaya,“ dengan tenang ia menjelaskan. “Kau harus pulang, Nak. Biarkan Krisnayaka yang mengantarmu sampai ke rumah.“
      Setelah beradu argumen beberapa kali, mengajukan berbagai tawaran yang terus ditolak oleh bosnya, diselingi rayuan-rayuan kecil nan imut yang sayangnya juga gagal, akhirnya Malika menyerah. Melengos kecewa, dia pun pulang diantar Krisnayaka, bukannya incarannya.
      Setelah si gadis rewel menghilang (ditemani langsung oleh si bos sampai pintu bawah), si bos masuk kembali ke ruang staf desainer, berdecak tidak sabar, “Esha, aku mengerti situasinya, tapi setidaknya kamu harus pintar berakting di depan Malika. Dia karyawan baru, bagaimana kalau dia mengetahui rahasia yang kita sembunyikan di kantor ini?“

***

      Semua pekerja telah pulang saat rembang petang mewarnai langit. Kelima orang staf desainer tidak satupun ada yang pulang kecuali karyawan baru, Malika. Seusai memastikan bahwa ruangan produksi tidak lagi ditempati, si bos kembali ke ruang kerjanya, mengedarkan pandang seraya mengangguk. Keempat stafnya mengerti. Mereka mematikan semua lampu ruangan, kemudian dengan langkah berjingkat perlahan menuju ke ujung koridor lantai dua. Di sisi kanan terdapat sebuah tangga ke lantai tiga. Esha sekali lagi mengintip melalui jendela. Dikerlingnya keempat rekannya, pertanda aman. Satu per satu dari mereka menaiki tangga, sangat hati-hati, seolah-olah memastikan agar tidak seorang pun dapat mengetahui keberadaan mereka.
      Lantai tiga yang berada di ujung anak tangga teratas berupa ruangan kecil berfunitur sebuah lemari dua pintu dan rak buku. Di satu sisi, terdapat sebuah jendela dengan korden tertutup. Esha mendekati jendela, menyingkap sedikit kordennya dan melihat bahwa di halaman kantor mereka kosong melompong. Beberapa orang berlalu tergesa-gesa di gang belakang, semuanya ingin segera sampai di rumah masing-masing. Mengingat situasi yang ada itu dapat dimaklumi. Dengan jempolnya Esha memberi tanda oke, si bos lalu mendekati lemari dua pintu yang ada di pojok seberang ruangan. Lemari itu cukup besar, sisi kirinya menyimpan beberapa tumpuk kertas yang diperlukan untuk staf produksi serta sejumlah tinta cetak. Sisi kanannya menyimpan dua buah kemeja putih. Si bos membuka pintu di sisi kanan, menjangkau ke dalam lemari kemudian mengetuk dinding lemari yang menempel ke sudut ruangan. Bunyi ketukannya berirama, dua kali ketukan cepat diikuti tiga kali ketukan lambat.
      Selewat beberapa saat, ketukan pada lemari itu akan nampak tidak masuk akal jikalau ada orang lain selain kelima orang staf desainer yang melihat. Apa gerangan yang mereka lakukan, tentu hal itulah yang menjadi pertanyaan. Esha menahan napas. Baru saja ia ingin berbisik pada bosnya, bertanya, bunyi dan irama yang sama terdengar membalas dari dalam lemari, diikuti bunyi engsel berderit. Dinding lemari itu membuka ke arah dalam, memperlihatkan sebuah lorong cukup gelap. Seorang wanita tua pendek gemuk berdiri di sana, ekspresinya yang semula sedikit waspada langsung menjadi rileks.
      “Kukira kalian tidak akan datang hari ini!“ serunya dalam bisikan girang, sinar matanya yang tua berkilau senang penuh ketulusan. “Ayo, ayo, cepat masuk! Jangan lama-lama mengantri di sana seperti bebek mengantri masuk kandang!“
      Esha yang paling terakhir menyelinap masuk ke dalam lemari, sebelum dia menutup pintu rahasia, ditutupnya pintu lemari terlebih dahulu. Kemudian dia memutar tubuhnya, menyusul kelima rekannya yang telah memasuki ruangan rahasia di mana mereka menyembunyikan empat orang sisa-sisa dari keluarga Kerajaan Bali yang diincar oleh pemberontak penyebab perang saudara di Indonesia.
      Wanita tua yang tadi menyambut mereka di pintu rahasia sudah beralih sibuk di dapur kecil, tampak sedang mengaduk-ngaduk sesuatu dalam panci bersama seorang wanita lainnya yang jauh lebih muda sekitar empat puluh tahunan. Dari wangi yang menguar dalam ruangan kecil dua lantai itu, sepertinya sup balung sapi. Dia berkata pada semua orang yang ada dalam ruangan, “Sebentar lagi waktunya makan malam,“ menoleh pada si bos yang kini telah berdiri di sampingnya, “dan sebaiknya kau tunggu saja, Yoga, tidak usah repot membantuku, aku tahu kau lelah bekerja sehari ini. Krisnayaka, duduklah dulu di kursi, biarkan Bodhi yang menyiapkan meja.“
      “Yang bener aja, biarkan aku ngebantu Bodhi, Bu Prami,“ keluh Krisnayaka, pemuda pertengahan dua puluh tahun dengan rambut keriting yang diikat dalam ekor kuda, bersikeras, sudah setengah jalan membereskan permukaan meja makan yang sangat berantakan, berhias kupasan kulit bawang, wortel, kentang, jeruk, dan apel.
      Esha mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Terakhir kali dia berkunjung kemari adalah seminggu yang lalu, dan saat itu situasinya tidak menyenangkan. Dan tidak begitu banyak perubahan signifikan pada ruangan terbatas ini. Meskipun memiliki banyak jendela, semua ditutup, bahkan kainnya menggunakan warna hitam. Lampu dengan cahaya temaram tergantung di langit-langit. Dapur darurat dengan peralatan masak seadanya, tak jauh dari sana meja makan yang cukup untuk enam orang duduk berhadapan. Beberapa barang seperti buku dan majalah bekas berserakan di dekat sofa yang tak jauh dari pintu masuk. Terdapat dua pintu lain yang ketika dibuka akan menunjukkan kamar tidur kecil dengan kasur bertingkat dua di dalamnya. Ruangan ini berupa duplex, dan terdapat satu tangga kecil yang akan membimbing menuju atap, di mana para penghuni ruangan rahasia ini menyimpan persediaan makanan sekaligus menjemur pakaian.
      Di atap itu biasanya...
      Esha teringat lagi masalah yang terjadi minggu lalu. Bukan berarti dia membuat masalah dengan semua orang yang mereka lindungi di sini, hanya saja...
      “Esha?“ wanita muda berparas keibuan yang berdiri di sisi lain Prami berdeham penuh arti. “Bisakah kau membantuku membawakan sup ini ke atas? Dia belum makan dari tadi siang, seharian mengurung diri di atap.“
      Esha tak bergerak. Kembali wanita muda itu berbicara, kali ini ditambah senyuman, “Kalau boleh kukatakan, dia menunggumu.“
      Tanpa berkomentar apa-apa juga tanpa memasang raut wajah tertentu, Esha mengambil semangkuk sup yang disodorkan Sakya. Sempat bergeming saat tangannya menerima nampan mangkuk, meragu. Sakya tersenyum menyemangatinya. Mengembuskan napas yang seakan bermakna ‘apa-boleh-buat’, dengan dua mangkuk sup panas mengepul Esha melangkah menuju tangga ke atap.
      Pandangan mata sisa penghuni ruang tamu mengikuti punggung Esha, sorot masing-masing menunjukkan rasa ingin tahu yang sangat besar. Bodhi, satu-satunya laki-laki penghuni ruang rahasia, kakak dari Sakya, angkat bicara, “Ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka berdua?“
      Pertanyaannya menyebabkan bola mata yang lain berputar, tak sabar. “Kau sudah dua tahun bersembunyi di sini, sudah mengenal Esha selama bertahun-tahun, masih juga tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi antara mereka berdua?“ Sakya geleng-geleng kepala, disambut cengiran tanpa rasa bersalah Bodhi.
      Yoga tersenyum simpul, “Masa muda.“
      “Bagaimana situasi di luar sana?“ tanya Prami, mengalihkan pembicaraan, dia telah selesai menuangkan sup ke dalam mangkuk sesuai jumlah orang yang berada dalam ruang rahasia.
      Si kembar Uttara dan Uttari, dua orang staf desainer yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara dan duduk di atas lantai kayu di depan salah satu pintu kamar, menjawab kompak, sendu, “Tidak ada tanda-tanda perang akan berakhir.“
      “Jatah kupon beras sepertinya akan dikurangi lagi,“ gumam Krisnayaka dari kursinya, getir, “Kalau aku berhasil mendapat lebih dari pasar gelap, akan kuusahakan.“
      “Apakah kalian tidak apa-apa?“ Sakya bertanya, gugup. Meskipun mereka berhasil bersembunyi dari kejaran pasukan pemberontak sampai dua tahun lamanya, tidak pernah sehari pun mereka sungguh-sungguh merasa aman.
    “Tidak usah khawatirkan kami,“ kata Krisnayaka, menenangkan, “Kantor ini milik pasukan pemberontak, kemungkinan mereka menebak kalian ada di sini kecil.“
      “Kemungkinan ketahuan itu ada,“ bantah Uttara, “kita harus selalu waspada. Tapi kalian tidak perlu mengkhawatirkan kami.“
       “Besok akan kubawakan jeruk kintamani yang banyak,“ imbuh Uttari bersemangat, kentara sekali ingin mencerahkan suasana yang menjadi semakin muram, “Uttara dan aku mendapatkan lebih dari yang kami minta. Ah, dan nanas juga ada. Tunggulah besok.“
      “Ngomong-ngomong,“ tiba-tiba Yoga berujar serius, lebih kepada stafnya, bukan para penghuni ruang rahasia, “kalian harus berhati-hati terhadap Malika.“
      “Siapa Malika?“ kata Bodhi, seperti biasanya selalu bereaksi cepat jika mendengar hal-hal berbau wanita disebut-sebut.
      “Pegawai baru, kiriman dari kantor pusat,“ sahut Krisnayaka, tidak suka. “Gelagatnya mencurigakan. Aku merasa dia mengintai kita, terutama Esha.“
      “Benar, kemungkinan dia mata-mata itu besar. Sehari sebelum dia datang kantor kita kebobolan maling,“ Yoga mengingat-ingat, bersandar di sofa dengan satu lengan terangkat, “Dua minggu sesudahnya kita kebobolan maling lagi… Rasanya hari itu dia izin tidak masuk bukan?“ di seberangnya, Krisnayaka mengangguk mengiyakan. “Terlalu banyak hal ganjil yang menyertai keberadaannya di sini. Belum lagi kondisi perang belakangan ini semakin memburuk... Belum ada tanda-tanda kapan perang ini akan berakhir... Kejahatan-kejahatan kecil semakin merajalela...“
      Situasi menjadi semakin depresi setelah Yoga selesai berbicara. Sebenarnya dia sama sekali tidak bermaksud untuk membuat kegelisahan dan keresahan para penghuni ruang rahasia meningkat, hanya saja dia merasa lebih baik untuk membeberkan fakta yang ada daripada terus-terusan menutupi. Lagipula Yoga yakin bahwa mereka pun telah mengetahui perkembangan perang dari radio...
      Prami menepukkan tangannya sekali memecah keheningan¾semua kepala yang semula tertunduk lesu terangkat kaget, “Ayo, ayo, waktunya makan malam, jangan sia-siakan kehangatan sup balung ini. Jangan ada lagi yang berbicara soal perang ketika sedang makan. Setelah selesai, akan kujamin kalian semua kembali ceria.“
      Sakya tersenyum lemah dari kursinya. Uttari menghampirinya lalu menepuk pundaknya, “Kita semua masih hidup di sini dan bisa makan bersama-sama, bukankah itu yang terpenting sekarang?“

***

      Esha merasakan tujuh pasang mata penasaran mengikuti punggungnya yang perlahan-lahan menghilang di balik atap, tapi dia tidak mempedulikannya. Dia bisa mencium wangi asam buah stroberi serta wangi manis buah wani saat angin semilir bertiup dari atap, bercampur dengan harum sup balung yang menguar dari nampan yang dibawanya.
      Atap masih sama berantakannya dengan yang terakhir dilihatnya minggu lalu, boks kayu dan tong-tong berisi persediaan makanan berjejal-jejal di sisi kiri atap dan terdapat beberapa pakaian dijepit di tali-tali pengait jemuran yang melintang dari satu pojokan dinding ke dinding lain. Jendela di atap mengindikasikan bahwa langit telah berubah gelap seutuhnya meskipun jendela di dinding tertutup korden hitam. Satu-satunya penerangan buatan adalah dari lampu minyak yang berkedip dan bergoyang suram di pojokan atap. Seraya menunduk melewati tali-tali, kedua tangannya tetap stabil membawa nampan, Esha berjalan menuju pojok kanan atap. Seorang gadis kurus bersandar, matanya terpejam, dadanya naik turun dalam irama napas yang teratur. Di pangkuannya terdapat sebuah buku¾seperti diari, pulpen, pensil, dan berlembar-lembar kertas bertebaran di lantai. Otomatis sorot pandang matanya yang semula cuek berubah. Bagaimana menjelaskan perasaannya, dia sendiri tidak tahu. Rumit, layaknya teka-teki silang.
      “Aktingmu payah,“ kata Esha, sinis, “aku tahu kamu cuma pura-pura tidur. Cepet bangun, waktunya makan malam.“
      Satu mata si gadis terbuka, bibirnya mencibir, “Ini pertemuan kita yang pertama setelah seminggu kau menghindariku. Gak ada salam yang lebih menyenangkan daripada itu?“
      “Aku gak menghindarimu,“ Esha tidak bergerak dari tempatnya berdiri, sekitar tiga meter dari tempat si gadis duduk. “Dan memang benar kan, aktingmu payah. Kenapa kau tidak makan dari pagi?“ nada suaranya naik.
      “Oh, memangnya apa urusanmu kalau aku belum makan?“
      “Prami dan Sakya khawatir,“ jawab Esha enteng.
      “Lalu kamu?“
      “Aku cuma mengantarkan sup ini.“
      Ekspresi si gadis semakin berkerut sebal mendengar jawaban Esha. “Kamu saja yang makan, aku gak kepingin makan.“
      Mendengar ini, Esha bergegas menghampirinya, meletakkan nampan di lantai kayu kemudian ikut duduk di lantai. “Terserahmu sih,“ diambilnya satu mangkuk, mulai menyendok kuahnya, mendekatkan ke bibir dan menyeruput dengan berisik, “Wah ini enak sekali. Kalau kamu gak mau makan, ya aku saja yang makan.“
      Tambah mendongkol si gadis. Mulanya dia tidak menghiraukan Esha yang sibuk menelan kuah dan mengunyah sedikit daging yang ada di dalam supnya, namun sepertinya sup itu benar-benar enak. Dia belum makan dari pagi, menghabiskan pagi hari dengan mengupas kentang dan siang hari menggambar. Mendadak perutnya berbunyi, mana keras pula suaranya. Spontan wajahnya memerah.
      Esha menurunkan sendok dan mangkuknya yang sudah kosong, meletakkannya di nampan. Dengan seringai sok menghiasi wajahnya, dia mengangkat mangkuk sup yang satunya, mendekatkan tubuhnya dan berbisik pada si gadis, “Kalau kamu pingin disuapin makannya, aku gak keberatan kok.“
      Setelah berkata demikian, wajah Esha tertutup kertas dan mangkuk berpindah tangan. Wajah gadis di sebelahnya semerah kepiting rebus, Esha diam-diam tersenyum jahil. Sambil melepas kertas dari wajahnya, dengan suara dalam dan serius Esha berkata, “Berhentilah membuatku khawatir, Padmé.“
      Si gadis tidak menyahut, terlihat berkonsentrasi penuh menelan dan mengunyah makanannya.
      “Kita tidak tahu apa yang akan terjadi... Dalam kondisi seperti ini... Makanlah ketika kamu bisa makan, jangan membuat dirimu tambah sakit... Hanya seminggu berlalu aku tidak menjumpaimu, tapi lihat, kamu jadi kurus begini.“
      Padmé meletakkan mangkuk di atas pahanya, wajahnya menunduk, “Aku minta maaf tidak mengikuti nasihatmu... Kau tahulah, soal perampokan di bawah sana minggu lalu...“ sesalnya. Esha membuka mulutnya untuk mulai berbicara, tapi Padmé memotong, “Aku tahu, aku tahu apa yang akan kau katakan! Apa yang kulakukan itu berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Tidak memikirkan akibat selanjutnya, bisa membuat tempat persembunyian ini ketahuan dan kalian tertangkap... Hanya saja,“ dia menggigit bibir,  “aku tidak bisa membiarkan pencuri itu seenaknya...
      “Lalu kamu marah... Aku tidak pernah melihatmu semarah itu... Dan kamu menghindariku, selama seminggu...“ di titik ini suara Padmé bergetar, “dan serangan udara tiga malam yang lalu sangat-sangat menakutkan... Kukira...“ bicaranya semakin tersendat, “Kukira sa-saat itu kami semua di-di sini akan m-mati... Mana waktu itu k-kita bertengkar... Aku takut...takut tidak b-bisa lagi bertemu denganmu...“
      Suaranya pecah dan air mata mengalir, butir demi butir berjatuhan di atas lantai kayu.
      “Padmé, Padmé,“ Esha memindahkan posisinya, kini setengah berlutut di depannya, kedua tangannya meraih wajah Padmé, seraya mengangkatnya, Esha menatapnya lurus-lurus di bola mata. “Aku di sini kan? Kamu juga di sini,“ ekspresinya saat ini memperlihatkan keteduhan tak terperi, sesuatu yang tidak bisa didapatkan Malika, sekeras apapun dia berusaha untuk bisa melihatnya, “Semuanya akan baik-baik saja. Kita akan hidup sampai semua ini selesai.“
      “Kita gak tahu, Esha...“ Padmé tergagap, “semuanya bisa terjadi, “ ia tidak berniat untuk bersikap pesimis, hanya realistis. “Aku takut tiap saat. Bagaimana nasib kami, bagaimana jika perang ini tidak berujung... Bagaimana kami telah menyeret-nyeret kalian dalam masalah besar... Kalian mempertaruhkan hidup kalian untuk kami. Membayangkan apa yang akan kalian terima seandainya persembunyian ini ketahuan¾
      “Hei, Padmé, dengar,“ Esha menghentikan ocehannya, menggenggam lebih erat wajah Padmé, “Aku sudah pernah bilang kan, jangan memusingkan apa yang akan terjadi pada kami. Kalau kamu bahas itu lagi, aku sungguhan bakal marah. Murka.“
      Tangisan si gadis berhenti, meninggalkan pipi sembab bekas aliran air mata plus mata yang sangat merah.
      “Aku takut, Esha,“ gumamnya, tangannya meraih tangan Esha yang memegang kedua pipinya, gemetaran, “Apakah aku dan saudara-saudaraku bisa hidup sampai perang usai? Bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di kepalaku. Apa aku masih bisa berjalan di bawah sinar matahari? Bisakah suatu saat nanti aku kembali berjalan di atas pasir, merasakan angin bertiup yang menerbangkan rambutku? Bisakah suatu saat nanti aku pergi ke gunung dan melihat pemandangan danau berkabut? Bisakah aku melanjutkan cita-citaku menjadi seorang penulis sekaligus illustrator?“ dia nampak sangat nelangsa dan menderita. “Sering sekali aku berpikir... apakah aku dan saudara-saudaraku tidak berhak hidup?“
      “Lalu bagaimana denganku?“ bisik Esha, menanggapi, “Aku dan staf desainer bekerja untuk pasukan pemberontak¾kami bekerja untuk orang jahat! Kami membuat berita-berita persuasif palsu untuk memikat rakyat agar bergabung menjadi pembunuh saudaranya yang lain. Apakah aku, orang jahat ini, berhak hidup?“
      Padmé nampak shock mendengar perkataan Esha. “Bukan itu maksudku! Kalian dipaksa dan diancam¾
      “Maka dari itu, jangan pertanyakan soal siapa yang berhak hidup atau tidak, Padmé. Kami melakukan ini karena kami percaya akan pengharapan. Kami yakin bahwa masa-masa sulit ini akan berakhir, dan bahwa apa yang kami lakukan sekarang ini, membantu kalian bertahan hidup, adalah benar,“ kali ini dia tersenyum menguatkan, “Percayalah, Padmé, semuanya akan baik-baik saja. Kita akan hidup.“
      Kepercayaan, keyakinan, dan keteguhan; Padmé melihat Esha memiliki semua itu. Dia tidak pernah berkata-kata seolah membual maupun menyombongkan diri, ataupun mengucapkan kata-kata manis tetapi penuh dusta. Tidak, dia tidak pernah seperti itu. Keberadaan serta kehadirannya memberikan ketenangan tersendiri, entah mengapa itulah yang dirasakan Padmé.
      Terdengar suara langkah kaki mendekat dari tangga, langsung saja mereka berdua melepaskan diri dari posisi semula, kembali bersandar di dinding, berupaya bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Padmé menyisir rambutnya dengan jari-jarinya, menghilangkan rasa canggung.
      “Hoi, Esha,“ kepala Uttara menyembul dari balik jemuran, tersenyum polos, “kalian sudah selesai makan?“
      “Ya,“ jawabnya sambil menyusun dua mangkuk sup kosong itu menjadi satu tumpuk di atas nampan, “Aku baru mau turun ke bawah.“
      “Aih, gak usah repot-repot!“ ganti kepala Uttari muncul dari balik punggung kakaknya, senyum menggoda serta menuduh menghiasi bibirnya, “Kalian lanjutkan saja obrolan kalian!“ rambutnya yang panjang bergelombang berkibar saat dia berlari-lari kecil menuju tempat Esha dan Padmé untuk mengambil nampan. “Kami pulang duluan ya, Padmé. Santai-santai saja di sini, Esha,“ tambahnya, mengedip usil, lalu kabur turun ke bawah bersama saudara kembarnya.
      Suasana menjadi kikuk setelah si kembar menghilang. Esha bisa mendengar sayup-sayup suara mereka berdua memberi salam pada semua orang di lantai bawah sebelum akhirnya keluar melalui pintu rahasia. Begitu fokusnya beralih, kembali ke tempatnya duduk, dia menoleh dan melihat Padmé asyik menggoreskan pensilnya di atas kertas. Dinding di pojok kanan itu hampir seluruhnya tertutup oleh kertas gambar, yang semuanya dibuat oleh Padmé. Mata Esha menyusuri kembali kertas-kertas tersebut satu per satu, melihat gambarnya dengan lebih seksama.
      Ilustrasi pemandangan perbukitan dan pantai yang bisa dilihat dari balik korden hitam. Taman luas beserta kolam-kolam dengan bunga teratai dan lotus yang terapung-apung. Matahari yang bersinar. Pegunungan serta danau. Sebuah rumah. Lanskap perkotaan lengkap dengan taman. Sketsa wajah-wajah orang. Semakin diteliti, Esha mengenali wajah-wajah yang ada di atas kertas putih tersebut. Sepasang perempuan dan laki-laki yang diketahuinya sebagai orangtua Padmé. Di kertas lain terdapat sketsa paduka raja yang sebelumnya, paman Padmé sekaligus ayah Sakya dan Bodhi. Banyak gambar-gambar anggota keluarga kerajaan lainnya. Sekumpulan gadis-gadis yang sepertinya adalah sahabat-sahabat Padmé. Prami dan Yoga yang sedang tertawa. Bodhi yang sedang tertidur. Sakya yang sedang membaca. Uttara dan Uttari dengan cengiran mereka yang sama persis. Sketsa dirinya sendiri, dengan tulisan tertera di bawah gambar berupa demikian: “Teman dan keluarga adalah kekuatanku. Sesederhana itu.“
      Melihat semua ini, Esha memahami, sungguh memahami bagaimana perspektif Padmé. Dunianya yang terbatas oleh tembok dan korden hitam. Malam dan siang ditemani rasa horror dan takut akan kemungkinan terbongkarnya tempat persembunyian mereka. Teman-temannya yang dulu begitu mudah ditemui namun kini tidak lagi. Orangtua yang selamanya tidak lagi bisa dijumpai. Kebebasan yang terenggut. Berusaha dan bersabar, bertahan hidup di dalam kurungan juga keterbatasan. Serta kerinduan yang amat sangat untuk dapat kembali menjejakkan kaki di atas tanah. Penantian selama dua tahun... yang begitu panjang. Bahkan tidak diketahui kapan berakhir.
      “Kamu tahu gak,“ kata Padmé memutus perenungan Esha, tangannya tetap bekerja, “aku belum punya gambarmu terpajang di sana.“
      “Oh, benar juga,“ Esha menimpali, setuju, terkekeh.
    “Boleh aku menggambarmu sekarang?“ tanyanya, berpaling menatap Esha. Sketsa yang barusan dikerjakannya sudah selesai¾gambar empat ekor burung yang sedang terbang menuju pelangi. Di sisi kanan atas kertas terdapat tulisan, “Siang ini pun langit begitu indah. Suatu hari nanti, kami pun pasti akan bebas.“
      Tanpa menjawab, Esha berdiri, memindahkan posisi duduknya ke hadapan Padmé. Kemudian dia turut mengeluarkan buku sketsa dari dalam tasnya sendiri. “Aku juga mau menggambar. Gak apa-apa kan?“
      Selama beberapa saat mereka berdua diam, tenggelam dalam dunia gambar masing-masing. Sekali-kali mengangkat dagu, memperhatikan objek gambar dengan tajam. Padmé-lah yang pertama kali memecahkan kesunyian.
      “Nanti... kalau aku sudah bisa keluar...“ ujarnya, menyimpan harap dalam suaranya, “Kamu mau temani aku berjalan-jalan di Taman Ujung di sebelah gak?“
      Diliriknya si gadis. Warna merah perlahan merambati wajahnya.
      Esha tidak mampu menahan senyumnya, “Iya.“
      “Beneran?!“ Padmé terlihat sangat girang.
      “Iya,“ Esha mengangguk-angguk, “Sebenarnya... aku ingin mengusulkan sesuatu padamu dan semua teman-teman lain. Ini tentang tempat persembunyian.“
      “Apa itu?“ tiba-tiba Padmé bereaksi panik, “Apa tempat persembunyian ini ketahuan?“
     “Bukan itu,“ Esha berhenti menggambar. Ditatapnya Padmé dengan serius, “Dengar, aku dan Krisnayaka sejak beberapa bulan lalu menjalin kontak dengan orang-orang yang sama seperti kami, sambil mengumpulkan informasi. Kamu tahu kan, sejak kita kedatangan pegawai baru di kantor, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kami berhasil mendapatkan informasi bahwa di Borobudur sebagian besar anggota keluarga kerajaan Yogyakarta, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan bersembunyi.“
      “Di Borobudur?“ mata Padmé melebar kaget. Meskipun begitu, tangannya tidak berhenti bekerja, masih tetap asyik menari-nari di atas kertas.
      “Ya. Supaya tidak ketahuan, mereka menggunakan sihir.“
      “Tapi!“ sela Padmé, lebih terkejut, “sihir itu kan terlarang! Ilmu terlarang!“
      Esha berdecak tak sabar, “Menyembunyikan anggota kerajaan juga terlarang, bukan?“ dia melanjutkan penjelasannya, “Aku yakin Yoga sudah menjelaskan pada mereka semua di bawah tadi. Rencanaku adalah memindahkan kalian berempat ke sana. Dengan menggunakan sihir.“
      “Dengan sihir? Tidak ada di antara kita yang pernah mempelajari sihir!“
      “Ada,“ bantah Esha.
      “Konsekuensinya besar!“ Padmé tidak terlihat senang. “Nyawa mereka yang menggunakan sihir akan terancam, bahkan mungkin mati! Tidak, aku tidak setuju. Lebih baik aku diam di sini dan menunggu perang selesai!“
      “Padmé,“ Esha berusaha membujuk.
      “Gak, Esha, aku gak mau. Kalian sudah mempertaruhkan nyawa dengan menyembunyikan kami di sini. Aku tidak berhak merampas¾
      Terdengar suara dentuman keras dari kejauhan. Perdebatan kecil mereka terpaksa terhenti. Tak lama, terdengar suara mesin-mesin pesawat berdenging.
      “Serangan malam!“ bisik Padmé, benar-benar ketakutan. “Tidak, aku¾kita harus turun¾“ belum selesai ia berbicara, terdengar suara ledakan-ledakan besar. Dari jendela atap, Esha melihat kilatan-kilatan pesawat tempur yang terbang melintasi mereka. Padmé meringkuk ketika suara yang seperti pesawat jatuh terdengar berdebam sangat keras, tidak jauh dari lokasi persembunyian mereka. Ia merintih. “Ki-kita harus turun ke bawah,“ dia berusaha berdiri, kakinya gemetar keras. “Kita harus sembunyi¾
      DUAAAAAAAAAAAAAAAAAR.
      Bangunan bergetar. Esha mendadak gelisah. Daerah ini meskipun cukup dekat dengan area perang, tapi tidak semestinya efek dan getaran yang terasa sekeras ini. Bekas luka di bawah matanya terasa gatal. Ada apa gerangan...?
      Padmé hendak berlari menuju tangga, sayangnya karena ia gemetar begitu hebatnya, ia pun limbung dan terjatuh. Kertas-kertas berterbangan. Ledakan lagi. Cahaya merah-jingga mencerahkan kelamnya langit malam. Dalam kekacauan itu, saat Padmé membuka matanya, ia mendengar Esha berbisik, “Bukankah aku telah berjanji akan menyelamatkanmu? Walau harus mati sekalipun, aku akan menyelamatkanmu.“
      Lengan Esha telah melingkupinya, memeluknya.
      “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya,“ kata Esha, suara dentuman dan tabrakan melatari ucapannya. “Itu kalimat favoritmu kan? Kau mengajarkannya padaku, Padmé. Aku pasti akan menyelamatkanmu.“
      Dalam dekapan Esha, Padmé menggeleng-geleng. Mendengar ucapannya barusan, ia merasa Esha sedang mengumumkan kesiapannya untuk mati. Demi dirinya. Begitu mudahnya dia berkata begitu. Mengapa? Tidak. Jangan. Ia ingin berteriak, mengalahkan deru mesin yang berkecamuk, debum benda-benda keras yang berjatuhan, serta kilatan cahaya yang membutakan dari langit, mengatakan pada Esha bahwa¾
      BLAAAAAM.
      Suara pintu terbanting diikuti derap langkah kaki. Begitu banyak langkah kaki. Disusul bunyi tembakan. Sontak Esha dan Padmé membeku. Suara berikutnya yang berbicara membuat jantung mereka terlonjak, “Nah. Sudah waktunya permainan petak umpet ini diselesaikan, bukan?“
      Suara itu lantang, mampu mengalahkan keriuhan yang terjadi di luar sana. Walaupun nada bicaranya terdengar keras dan kasar, mereka mengenali dengan baik warna suaranya. Tidak pernah dalam mimpi terburuk sekalipun Esha membayangkan akan skenario seperti ini, sama sekali tidak. Tanpa melepaskan tangan Padmé, ia bergegas berlari menuruni tangga.
      Di pertengahan anak tangga, kakinya terhenti. Jikalau boleh, Esha ingin tidak perlu mempercayai penglihatannya, ingin menganggap bahwa orang yang berdiri di depan daun pintu yang sudah diledakkan itu hanyalah sekadar bayang-bayang dan fatamorgana padang pasir. Tapi ini bukan padang pasir, ini ruang rahasia. Seringai licik terukir pada wajah yang biasanya diketahui mereka sebagai wajah naif dan polos. Penampilannya dengan kostum serba-biru ala tentara pemberontak begitu gagah, di punggungnya pun tersandang sebuah senapan besar. Di belakangnya berdiri delapan orang tentara lain dengan masker dan gugel menyembunyikan wajah mereka¾semuanya pun turut membawa senapan, sementara di deretan paling belakang, berdiri seorang gadis yang juga berpakaian serba-biru. Sekali lagi, bangunan bergetar hebat.
      “Uttara,“ gumam Yoga, terdengar lebih seperti geraman.
      Padmé tidak bisa berkata-kata. Orang yang barusan menyapanya, orang yang selama dua tahun ini selalu membantunya dan keluarganya, membawakan buah-buahan serta membantu menyelundupkan beberapa majalah juga kertas baginya untuk digunakan menggambar. Orang yang sangat dipercayainya, yang selalu menghiburnya dengan kebaikan dan kepolosannya, kini berdiri di sana layaknya orang asing.
      Bodhi telah berdiri di hadapan Prami dan Sakya, sedangkan kedua orang itu sama shock-nya seperti yang lain. Krisnayaka membelalakkan matanya lebar-lebar, sedangkan secara instingtif Esha mengambil posisi bertahan, satu tangannya yang bebas meraih ke belakang sakunya, mencari-cari pisau lipat yang tak pernah alpa dibawanya.
      “Kita tidak ingin ada yang terluka, bukan?“ kata Uttara ringan, seakan-akan mereka masih berada dalam situasi persembunyian dan mereka mendiskusikan strategi yang tepat untuk menyiapkan dan mencari bahan makanan untuk persediaan selama beberapa minggu. “Untuk informasi saja, gedung ini sudah dikepung oleh pasukan pemberontak di segala arah dan perimeter sepanjang tiga ratus meter. Rasanya tidak perlu kuingatkan bahwa tidak ada gunanya kalian mencoba kabur atau mencoba mengaktifkan benda yang akan kalian gunakan untuk mengungsikan para tahanan kerajaan ini.“
      Rahang Yoga mengeras, “Mana Uttari?“
      “Rasanya aku tidak perlu memberikan informasi apapun untuk pengkhianat,“ jawab Uttara dingin.
      Yoga kehilangan kontrol dirinya, ia menerjang maju seraya berteriak, “KAU KIRA SIAPA YANG PENGKHIANAT DI SINI?!“
      Dia berhasil menjatuhkan Uttara hingga terbaring di atas lantai, sementara itu secara simultan, gadis yang sedari tadi berdiam diri di balik bayangan tentara lain telah maju ke depan, mengacungkan moncong pistol kecil di pelipis Yoga.
      “Lepaskan Kapten Uttara atau mati, pilih mana?“
      Yoga menggertakkan giginya, “Malika...“
      “Jauhkan moncong pistolmu dari Yoga atau mati, pilih mana?“
     Mendengar pertanyaan itu, Malika terkaget-kaget, tidak menyadari bahwa Sakya telah berdiri di belakangnya, dengan jari telunjuk dan tengah mengarah tepat pada lehernya. Ada aura mengerikan menguar keluar dari Sakya, pandangan matanya yang selalu lembut berubah menjadi sekeras berlian¾keindahan yang kokoh dan tajam.
     Terdengar suara senapan terangkat dan bunyi pelatuk yang siap menembak. Sakya mengedarkan pandangan matanya dan melihat empat dari delapan orang telah mengambil posisi di samping Prami, Bodhi, Krisnayaka, dan Esha sementara empat moncong senapan mengarah tepat ke padanya.
      “Jangan gegabah, Tuan Putri Sakya Munidewi,“ dari bawah pitingan Yoga, Uttara berkata tenang, “Sudah kubilang bukan, tempat ini telah dikelilingi pasukan. Aku tidak sebodoh itu tidak mengantisipasi keahlianmu. Pasukan yang kubawa masuk ke sini adalah orang-orang pilihan. Salah langkah sedikit saja, keluargamu akan mati. Kusarankan kau menyerahkan diri.“
      Padmé memegang tangan Esha erat-erat ketika melihat semua kejadian yang sedang berlangsung di hadapannya. Mereka kalah jumlah, dan dia tahu sekuat apapun Sakya, sekalipun mereka semua berhasil melarikan diri dari gedung ini, mereka masih harus melewati berodongan peluru yang akan menyambut mereka nanti di pintu depan. Suara-suara perang masih terdengar ribut ricuh di kejauhan akan tetapi ia sekarang memahami bahwa segala ledakan yang terjadi di sekitar bangunan ini merupakan pengalih perhatian agar mereka yang bersembunyi tidak menyadari bahwa lokasi persembunyian ini telah terkepung.
      Dari seberang ruangan, Prami dan Bodhi memberi anggukan kecil pada Padmé dan Sakya. Berjuta emosi tersampaikan melalui anggukan kecil itu. Kelelahan, kekuatiran, ketakutan, ketegangan, keputusasaan, kehilangan, kesedihan, serta kebahagiaan. Tidak bisa dipungkiri, meskipun hanya secuil; hanya seukuran sebuah atom, meskipun kebebasan itu semu, kebahagiaan berupa dapat kembali menghirup udara luar itu muncul. Walaupun akhir dari perjalanan panjang itu sudah dapat terlihat akhirnya seperti apa.
      Sakya menurunkan tangannya seraya mundur, membiarkan Malika berdiri kemudian memborgol tangannya. Yoga, Prami, Bodhi, dan Krisnayaka mendapat perlakuan yang sama. Padmé melepaskan tangannya dari genggaman Esha. “Sudah selesai,“ bisiknya.
      Esha menundukkan wajahnya.
      “Pilihan yang bijaksana,“ kata Uttara datar setelah ia menegakkan diri, tanpa berekspresi menatap kolega-koleganya, menangkap penghuni ruang rahasia beserta orang-orang yang membantunya. Esha dan Padmé belum diborgol¾saat salah satu tentara mendekati mereka, sedangkan tahanan lain sudah setengah didorong paksa untuk keluar dari ruang rahasia, terjadilah ledakan besar. Ruangan mereka diserbu meriam.
      Kekacauan terjadi. Asap dan abu memenuhi udara. Bau hangus. Serpih-serpih kayu berjatuhan. Selamat dari situasi membahayakan jiwa tersebut, Esha kemudian memanfaatkan keadaan tersebut dengan berlari kembali ke atap beserta dengan Padmé.
      “Esha, sudahlah, kita harus menyerah¾
      “Tidak, Padmé.“
      Mereka telah sampai di puncak tangga. Padmé memaksa untuk melepaskan genggaman Esha dari tangannya, “Tapi lihat situasinya¾
      Esha berbalik, “Saya tidak mau menyerah, Yang Mulia! Saya tidak bisa!“ dia berlutut, “Saya mohon, biarkan saya menyelamatkan Anda. Saya sudah bersumpah akan menyelamatkan Anda apapun yang terjadi!“
      “Esha, jangan begini...“
      “Dengan segala hormat, biarkan saya menyelamatkan Anda, Tuan Putri Padmani Agnikana.“
      Bangunan dan tiang penyangga atap merapuh akibat ledakan tadi, pelan-pelan lantai dan atap mulai rontok berjatuhan. Padmé memandang sedih pada sekelilingnya. Atapnya yang selalu menjadi tempat pelariannya, tempatnya bersembunyi, tempatnya menuangkan kegelisahan. Dipandanginya dinding di pojokan tempat gambar-gambarnya terpajang. Tidak lama lagi api akan melalapnya habis. Di kakinya dia melihat buku sketsanya dengan gambar Esha terpampang, telah selesai sejak tadi sebelum serangan udara dimulai. Dia tersenyum lalu mengambilnya.
      “Berdirilah, Ksatria Esha Vairocana,“ gumamnya seraya merobek lepas kertas gambar tersebut. Ada wibawa dalam suaranya dan itu membuat Esha sungguh berdiri tanpa melawan. Semakin banyak atap yang berjatuhan, di satu sisi dinding kayu telah penuh dirayap api. Mereka saling bertatapan, “Aku tidak bisa membiarkanmu mati melakukan sihir demi menyelamatkanku, Esha. Tidak ada kasih yang lebih besar... Aku tahu itu. Tapi aku tidak akan membiarkanmu mati demi aku. Tanpa perlu kau mati aku sudah tahu sebesar apa kasihmu padaku.“
      Padmé menciumnya.
      “Jangan mati demi aku, Esha,“ bisiknya tegas, meletakkan kertas terlipat persegi pada tangan Esha, “Hiduplah, demi kita berdua.“
      Suara letusan pistol. Beruntun. Empat kali.
      Malika telah muncul di puncak tangga.
      Padmé melihat dengan ngeri saat darah mulai muncul di kaus Esha dan celananya. Dunia terasa seperti berputar.
      Jeritan pilu membelah malam.
      Air mata mulai merembes, Padmé segera meraih Esha yang terjatuh, namun Malika merenggutnya dari sana dengan kekuatan yang bisa dikatakan tidak normal, bahkan bisa dibilang ia setengah menyeret Padmé ke dalam nyala api. Berontak sekuat bagaimanapun tidak dapat membebaskannya.
      Kutukan atau caci maki apapun yang ingin ia lontarkan pada Malika rasanya tidak akan mampu mengobati rasa perih yang mendera dalam hati Padmé. Pengkhianatan serta kepedihan yang terjadi pada malam ini telah melukai hatinya sedemikian dalam, dan kini dia tanpa daya menyaksikan Esha tertimbun kayu dan api. Mati.
      Mati. Mati. Mati. Mati.
      ...mati...
      Sembari melewati api yang membakar seluruh gedung, Malika¾yang secara misterius mampu melangkah melewatinya dengan aman, begitu pula dengan Padmé yang diseretnya¾ berkata dingin pada earphone di telinganya, “Berhasil mengamankan sang tuan putri. Ksatria sudah tewas, sesuai perintah.“
      “Kerja bagus, Malika,“ kata Uttara, mengawasi gedung percetakan yang terbakar dengan aman dari dalam vimananya. “Segera kemari, kita harus kembali ke kantor pusat. Pekerjaan belum usai.“
      “Siap.“

***

      Gedung percetakan itu telah terbakar seutuhnya. Tidak ada seorangpun yang berniat memanggil pemadam kebakaran. Tidak ada seorang pun yang mempedulikan gedung tersebut. Para penduduk sekitar telah mendengar cerita bahwa kebakaran itu disebabkan oleh pasukan pemberontak, itu berarti lebih baik membiarkan saja gedung tersebut hangus dan hancur.
      Di tengah nyala api jingga di suatu tempat di dalam gedung yang berantakan, terdapat sebuah tubuh yang anehnya tidak terbakar, padahal api menari-nari di sekelilingnya, melahap habis segalanya yang mampu dibakar. Dia terbaring di atas genangan darahnya sendiri. Luka-luka tembaknya secara ajaib berangsur-angsur sembuh. Tubuhnya terbungkus sinar putih kebiruan.
      Terbatuk pelan, dia membuka matanya. Pupilnya telah berubah, menyempit seperti pupil ular. Bahkan warna matanya yang semula hitam berubah menjadi biru. Dengan sangat perlahan ia bangkit berdiri. Melemaskan otot-ototnya. Kemudian dia menyadari bahwa dalam genggamannya terdapat kertas terlipat. Ia membukanya dan mendapati sketsa wajahnya terlukis di sana. Satu kalimat tertulis di bawahnya: “Untuk Yang Terkasih.”
      Jari-jarinya yang bebas mengepal. Tidak akan lalai lagi, dia berjanji.
      Akhirnya dimulai, dihelanya napas panjang.
      “Padmé, tunggulah aku.“

To be continued...




Written script © Erinda Moniaga 2013
Denpasar, October 4 2013

1 comment: